Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Sekolah Rakyat, Cara Tepat Mengentaskan Kemiskinan?

Senin, 28 Juli 2025 | 11:01 WIB Last Updated 2025-07-28T04:01:45Z

TintaSiyasi.id -- Pemerintah melalui Kementerian Sosial meluncurkan program Sekolah Rakyat (SR) sebagai solusi untuk memutus rantai kemiskinan antargenerasi. Program ini merupakan inisiatif Presiden Prabowo Subianto dan ditujukan bagi anak-anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem yang selama ini sulit mengakses pendidikan formal yang layak. Menteri Sosial Tri Rismaharini menyebutkan, “Sekolah Rakyat menjadi bagian dari upaya Kemensos menurunkan angka putus sekolah dan kemiskinan ekstrem” (Kompas.com, 21 Juli 2025).

Tak dapat disangkal, angka putus sekolah di Indonesia memang masih tinggi, dan ini menjadi salah satu penyumbang kemiskinan jangka panjang. Namun, apakah program Sekolah Rakyat benar-benar mampu menyelesaikan akar persoalan tersebut?

Dalam pelaksanaannya, program SR masih menyisakan banyak persoalan. Salah satu kontroversi mencuat ketika Gedung SLBN-A Pajajaran Bandung, sekolah untuk anak-anak berkebutuhan khusus, digunakan secara sepihak untuk Sekolah Rakyat. Hal ini membuat proses belajar siswa tunanetra terganggu. Kepala SLBN-A Pajajaran Bandung, Jajang Jaenudin, mengungkapkan, “Aktivitas Sekolah Rakyat mengganggu kenyamanan dan konsentrasi siswa kami karena ruangan terbatas” (Pikiran Rakyat, 20 Juli 2025).

Meski Wakil Menteri Sosial menyatakan bahwa kebutuhan siswa-siswi Sekolah Rakyat telah terpenuhi dan program ini akan terus dipantau agar berjalan optimal (Detik.com, 21 Juli 2025), kenyataannya masih ada persoalan teknis dan keberpihakan anggaran yang belum merata. Bahkan Mensos Risma sempat berujar, “Kalau kamu disiplin, insyaallah kamu akan sukses” kepada siswa SR (Detik.com, 20 Juli 2025), yang seolah menyederhanakan persoalan kemiskinan hanya pada soal kedisiplinan, bukan sistem.

Di sinilah letak masalahnya: Sekolah Rakyat hanya menjadi solusi tambal sulam terhadap kemiskinan yang hakikatnya bersifat struktural. Kemiskinan dan keterbatasan akses pendidikan bukan semata karena masyarakat kurang berjuang atau kurang disiplin, tapi karena sistem kapitalisme yang diterapkan telah memproduksi ketimpangan secara sistemik. Negara dalam sistem ini tidak bertindak sebagai pengurus urusan rakyat, melainkan hanya sebagai regulator dan fasilitator kepentingan oligarki ekonomi.

Dalam sistem kapitalisme, negara hanya hadir secara reaktif untuk mengobati luka sosial—bukan mencegahnya. Ketika pendidikan dasar pun tidak dapat diakses oleh sebagian rakyat, lahirlah program-program populis seperti SR atau Makan Bergizi Gratis (MBG). Alih-alih menyentuh akar masalah, program ini justru memperlihatkan lemahnya komitmen negara dalam menjamin layanan dasar seperti pendidikan.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa PHK terus terjadi, lapangan pekerjaan menyempit, dan harga kebutuhan pokok naik tak terkendali. Di tengah kondisi itu, mustahil berharap Sekolah Rakyat menjadi solusi menyeluruh untuk memberantas kemiskinan. Bagaimana bisa siswa-siswa ini sukses jika setelah lulus pun mereka tetap masuk ke dalam sistem yang tidak memberi jaminan hidup layak?

Islam memiliki paradigma yang jauh lebih menyeluruh dalam menangani persoalan ini. Dalam Islam, pendidikan bukanlah alat promosi politik atau alat subsidi untuk rakyat miskin. Pendidikan adalah hak seluruh rakyat—kaya maupun miskin, laki-laki maupun perempuan—dan merupakan tanggung jawab penuh negara. Rasulullah SAW bersabda, “Seorang Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang diurusnya” (HR. al-Bukhari).

Negara Islam (Khilafah) akan menyediakan pendidikan bermutu untuk semua jenjang, secara gratis dan merata. Biaya pendidikan bukan dibebankan kepada masyarakat atau donatur, tetapi diambil dari sumber-sumber keuangan negara yang stabil dan sah secara syar’i: seperti fai, kharaj, zakat, jizyah, ghanimah, dan pengelolaan sumber daya alam. Negara juga wajib menciptakan lapangan pekerjaan dan menjamin kesejahteraan individu sebagai bagian dari fungsi utamanya sebagai rā’in (pengurus) dan junnah (pelindung) umat.

Pendidikan dalam Islam tidak semata-mata menghasilkan manusia terampil, tetapi juga berkepribadian Islam. Sistem pendidikan Islam akan melahirkan generasi yang bukan hanya cerdas, tapi juga bertakwa dan sadar akan tugas hidupnya sebagai hamba Allah. Mereka tak hanya siap bekerja, tapi siap menjadi penggerak peradaban.

Kesejahteraan pun bukan hasil dari proyek populis, tapi dari sistem distribusi kekayaan yang adil. Islam melarang penimbunan harta, mewajibkan zakat sebagai instrumen distribusi, dan mengharamkan sistem riba yang mencekik rakyat. Sistem Islam juga mengatur agar kepemilikan tanah dan sumber daya tidak dimonopoli segelintir elite.

Oleh karena itu, Sekolah Rakyat sejatinya adalah bukti kegagalan sistem sekuler kapitalistik dalam menyediakan pendidikan yang layak dan merata. Ia adalah solusi darurat dari negara yang abai, bukan perubahan sistemik yang visioner.

Sudah saatnya kita membuka mata, bahwa kemiskinan, pengangguran, dan keterbatasan akses pendidikan tidak akan terselesaikan selama negara tetap berfungsi sebagai pelayan oligarki. Kita membutuhkan sistem alternatif yang menjadikan rakyat sebagai subjek utama kebijakan. Islam telah menawarkan itu secara utuh: sistem yang menggabungkan kesejahteraan, pendidikan berkualitas, dan keadilan sosial dalam satu kerangka rahmatan lil ‘alamin. []


Oleh: Prayudisti S. Pandanwangi
(Aktivis Muslimah)

Opini

×
Berita Terbaru Update