TintaSiyasi.id -- Tingginya angka kasus korupsi di Indonesia mencerminkan bahwa negeri ini sedang berada dalam kondisi krisis. Para pejabat yang semestinya menjadi harapan rakyat justru menyalahgunakan wewenangnya demi kepentingan pribadi. Jika situasi ini dibiarkan, dampaknya akan sangat merugikan rakyat dan negara serta mengancam masa depan bangsa.
Contohnya, baru-baru ini publik dikejutkan oleh kasus korupsi proyek electronic data capture (EDC) di Bank BRI dengan nilai fantastis sebesar Rp 2,1 triliun. Kasus ini pun belum selesai ditangani dan terus menjadi sorotan karena banyaknya kejanggalan dalam proses hukumnya. (Beritasatu.com, 30/7/2025)
Selain itu, Kejaksaan Agung juga telah menetapkan tersangka dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook untuk program digitalisasi pendidikan periode 2019–2022 di Kemendikbudristek. Kasus ini menjerat empat tersangka, termasuk mantan staf khusus Menteri dan beberapa pejabat kementerian. Kerugian negara akibat kasus ini diperkirakan mencapai Rp 1,98 triliun. (cnbcindonesia.com, 16/7/2025)
Ironisnya, berbagai kasus korupsi ini mencuat saat pemerintah tengah menerapkan kebijakan efisiensi anggaran, yang justru berdampak pada menurunnya kualitas layanan publik dan pemangkasan dana di sektor-sektor penting, seperti jaminan kesehatan, bantuan sosial, riset, hingga pertahanan.
Padahal sudah jelas dalam A-Qur'an tindakan korupsi adalah hal yang sangat dilarang seperti pada firman Allah :
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya: "Dan janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta orang lain itu dengan dosa, padahal kamu mengetahui." (TQS. Al-Baqarah:188)
Dalam ayat tersebut mencakup dilarangnya bentuk tindakan seperti suap, kolusi, manipulasi hukum, atau mengambil harta publik tanpa hak inti dari praktik korupsi.
Sudah sangat jelas pula ancaman bagi para pelaku korupsi yang diterangkan dalam hadist berikut:
"Sesungguhnya salah satu dari kalian membawa harta hasil penggelapan, maka itu akan dibebankan kepadanya di hari kiamat.” (HR. Bukhari)
Menurut hadis ini harta korupsi akan menjadi beban berat bagi pelakunya di akhirat, bahkan bisa menghalangi masuk surga. Namun, pelaku korupsi mengabaikan larangan tersebut karena tujuan utamanya adalah demi kepentingan pribadi yang ingin hidup mewah. Sayangnya, hukuman terhadap pelaku korupsi sering kali tidak sebanding dengan kejahatan yang dilakukan. Mereka bahkan bisa mengajukan banding, membuat hukum terasa lemah dan mudah dimanipulasi. Negara pun dinilai belum menunjukkan ketegasan dalam menindak para pelaku korupsi.
Fenomena ini menampakkan kegagalan sistem sekuler kapitalistik neoliberal dalam menyelesaikan persoalan masyarakat dan tidak menjamin keadilan. Demokrasi yang dijalankan malah mendorong politik transaksional, di mana kekuasaan dijadikan alat tukar antara pejabat dan pemilik modal. Akibatnya, praktik korupsi tumbuh subur dan menjalar ke berbagai aspek kehidupan.
Hal ini sangat berbeda dengan sistem Islam. Kepemimpinan yang berlandaskan akidah mampu mendorong kehidupan masyarakat sesuai dengan aturan syariat, penuh dengan nilai moral dan amar makruf nahi munkar, sehingga keadilan dan kesejahteraan dapat terwujud. Islam memiliki seperangkat aturan yang, jika diterapkan secara menyeluruh, bisa meminimalkan kejahatan seperti korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Islam juga menjamin kesejahteraan rakyat, sehingga dapat menutup peluang terjadinya kerusakan dan pelanggaran hukum. Berdasarkan sejarah kegemilangan peradaban Islam bahwa masyarakat hidup tentram, terjaga dari tindak korupsi dan penyimpangan, ketika sistem Islam diterapkan dalam naungan daulah khilafah. Masyarakat pun hidup sejahtera tanpa tandingan.
Allahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Mukhlisatun Husniyah
(Aktivis Muslimah)