Beras oplosan adalah campuran dari berbagai jenis beras dengan kualitas berbeda, yang biasanya dilakukan untuk mendapat keuntungan lebih besar oleh oknum pedagang nakal atau mafia pangan. Pembelinya tentu kecewa. Rela mengeluarkan kocek lebih banyak demi memperoleh kualitas beras bagus, nyatanya justru dikhianati. Lebih dari itu, beras oplosan bisa menimbulkan risiko kesehatan bila dikonsumsi terus-menerus hingga berpotensi merugikan konsumen sebesar Rp 99 triliun per tahun.
Oplosan tak hanya terjadi pada beras. Sebelumnya viral Pertamax oplosan dan minyak goreng (MinyaKita) oplosan. Bahkan emas Antam palsu. Berbagai jenis kecurangan yang seolah menjadi hal lumrah dalam sistem kapitalisme sekuler saat ini. Masyarakat yang bervisi hidup mengejar kesenangan material dan berprinsip ekonomi dengan usaha sekecil-kecilnya dan hasil sebanyak-banyaknya, cenderung meniadakan nilai halal-haram dalam aktivitas hidupnya, termasuk soal jual-beli (bisnis).
Penyebab Maraknya Kasus Penipuan dalam Perdagangan
Fenomena beras oplosan yang marak dijual di pasar, diperkuat oleh temuan Kementan dan Satgas Polri, menggambarkan bahwa pengawasan dan penegakan hukum terhadap mafia pangan di Tanah Air masih lemah. Koordinator Koalisi Rakyat Untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah mengatakan, pemerintah sudah memiliki sejumlah instrumen untuk mengendalikan harga dan pasokan dari jeratan mafia.
Salah satunya, Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Beleid mengatur berbagai aspek terkait pangan, termasuk produksi, distribusi, keamanan, dan ketahanan pangan. Beberapa pasal dalam UU untuk menjerat pelaku penimbunan, oplosan, atau praktik curang lainnya sebagai tindakan mafia pangan. Namun implementasinya belum optimal. Said merujuk pada sejumlah kasus oplosan dan tindakan kejahatan lain yang sering dilakukan para mafia pangan (kompas.com, 13/7/2025).
Penemuan beras oplosan di sepuluh provinsi menjadi indikasi meluasnya praktik kecurangan. Berikut ini penyebab kasus penipuan dalam perdagangan tetap marak pada masyarakat yang melabeli diri sebagai masyarakat religius:
Pertama, lemahnya pengawasan dan penegakan hukum. Banyak kasus kecurangan yang tidak terungkap atau tidak ditindak tegas. Sanksi hukum yang tidak memberikan efek jera membuat pelaku merasa aman. Selain itu, koordinasi antarlembaga pengawas (seperti BPOM, Kementerian Perdagangan, dan kepolisian) sering tidak optimal.
Kedua, rendahnya literasi konsumen. Konsumen kurang informasi tentang cara membedakan beras asli dan oplosan. Rendahnya kesadaran konsumen terhadap hak-haknya juga membuat mereka jarang melapor atau menuntut. Selain itu, masih kurangnya edukasi publik tentang kualitas dan standar pangan.
Ketiga, tingginya motivasi ekonomi dan persaingan dagang. Pedagang tergiur keuntungan cepat dan besar, apalagi saat harga bahan pokok melonjak. Ketatnya persaingan pasar mendorong sebagian pedagang menggunakan cara curang untuk menekan biaya produksi. Selain itu, adanya oknum mafia pangan yang sudah lama menguasai rantai distribusi.
Keempat, struktur pasar yang tidak transparan. Pasar distribusi beras (dan bahan pokok lain) di Indonesia cenderung tidak transparan dan banyak perantara. Sehingga konsumen sulit menelusuri asal-usul produk yang dibelinya. Sistem logistik pangan juga belum sepenuhnya modern atau terstandarisasi.
Kelima, kurangnya akses terhadap produk berkualitas. Di beberapa wilayah, masyarakat tidak punya banyak pilihan—sehingga terpaksa membeli produk oplosan karena tidak ada alternatif. Produk yang berkualitas seringkali lebih mahal dan tidak merata distribusinya.
Dengan demikian, maraknya kecurangan seperti beras oplosan mencerminkan ketimpangan sistem perdagangan dan rendahnya perlindungan terhadap konsumen. Ketidakidealan seperti ini wajar terjadi dalam penerapan sistem kapitalisme sekuler. Ketika penguasa tak lagi berwatak pelayan dan pengurus umat. Seringkali hanya memposisikan diri sebagai regulator, bukan operator. Mencukupkan pada pembuatan kebijakan tapi dalam pelaksanaan menyerahkan pada pihak lain (swasta) yang cenderung meraih laba sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan kemaslahatan masyarakat.
Dampak Penipuan Oplosan Barang terhadap Tujuan Ekonomi Perdagangan
Penipuan dalam bentuk oplosan barang dagangan seperti beras oplosan, membawa dampak serius terhadap tujuan ekonomi perdagangan, baik dalam skala mikro (pelaku usaha dan konsumen) maupun makro (ekonomi nasional). Berikut penjelasan dampak-dampaknya:
Pertama, mengganggu kepercayaan konsumen. Konsumen merasa dikhianati karena kualitas tidak sesuai harga. Pun hilangnya kepercayaan terhadap pedagang, produk lokal, dan bahkan lembaga pengawas. Jika berlangsung lama, ini bisa menurunkan daya beli dan memicu peralihan ke barang impor.
Kedua, merusak persaingan usaha yang sehat. Pedagang nakal yang mengoplos bisa menjual lebih murah, membuat pedagang jujur kalah bersaing. Hal ini dapat memicu praktik curang massal karena tekanan untuk bertahan hidup dalam pasar yang tidak adil.
Ketiga, mendorong kerugian ekonomi nasional. Seperti disebutkan, kerugian konsumen dari beras oplosan bisa mencapai Rp 99 triliun per tahun. Nilai ini menunjukkan pemborosan pengeluaran rumah tangga, penurunan kualitas gizi, dan biaya kesehatan tambahan. Jika dibiarkan, akan menggerus PDB sektor perdagangan dan meningkatkan ketimpangan sosial.
Keempat, menghambat pencapaian tujuan ekonomi perdagangan. Tujuan ekonomi perdagangan antara lain mencakup: keadilan distribusi ekonomi, pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, perlindungan konsumen, serta stabilitas harga dan kualitas produk.
Penipuan dalam bentuk oplosan akan bertentangan dengan semua tujuan di atas: tidak adil bagi konsumen dan pedagang jujur, pertumbuhan tidak berkelanjutan karena dilandasi praktik curang, menimbulkan distorsi pasar, misalnya harga tidak lagi mencerminkan kualitas riil.
Kelima, melemahkan regulasi dan pemerintahan. Meningkatkan tekanan terhadap aparatur pengawas pangan. Jika tidak ditindak tegas, menciptakan impunitas bagi pelaku dan menurunkan wibawa hukum.
Oleh karena itu, penipuan dalam bentuk oplosan barang dagangan seperti beras berdampak negatif besar terhadap tujuan ekonomi perdagangan. Ia merusak kepercayaan, menciptakan pasar yang tidak sehat, menggerus potensi pertumbuhan ekonomi, dan menghambat pemerataan kesejahteraan.
Strategi Perdagangan yang Ideal dan Jauh dari Penipuan
Setiap bentuk penipuan dan kecurangan dalam jual beli, baik dari sisi agama, hukum, dan moral, tentu tidak dibenarkan. Terlebih dalam pandangan Islam, tadlis (kecurangan) dalam perniagaan adalah haram. Maka harus ada strategi perdagangan yang jauh dari praktik penipuan atau kecurangan seperti oplosan beras, antara lain:
Pertama, penegakan etika bisnis.
a. Transparansi produk. Pelaku usaha wajib memberikan informasi jelas dan jujur mengenai jenis, kualitas, asal-usul, dan harga barang.
b. Komitmen terhadap mutu. Menjual barang sesuai spesifikasi dan mutu yang dijanjikan.
c. Sertifikasi dan standarisasi. Gunakan standar mutu dari lembaga terpercaya seperti SNI (Standar Nasional Indonesia).
Kedua, digitalisasi dan pelacakan rantai pasok. Gunakan teknologi seperti QR Code, blockchain, atau sistem pelacakan digital untuk menunjukkan asal-usul beras dan proses distribusinya. Pun memungkinkan konsumen memverifikasi kualitas langsung dari sumbernya.
Ketiga, pengawasan dan regulasi yang ketat. Pemerintah perlu: rutin menguji sampel pasar, menindak tegas pelaku oplosan dengan hukuman yang menjerakan, mewajibkan pelaku usaha masuk dalam sistem distribusi yang terdaftar dan diawasi.
Keempat, edukasi dan pemberdayaan konsumen. Edukasi masyarakat agar: lebih kritis terhadap produk yang dibeli, mampu mengenali ciri-ciri beras oplosan, tahu hak-hak mereka sebagai konsumen, serta mendorong gerakan konsumen cerdas yang memilih produk berlabel jelas dan bersertifikat.
Kelima, kolaborasi dengan UMKM dan petani. Mendorong model perdagangan langsung dari petani ke konsumen akan memotong rantai tengkulak nakal dan memperkuat ekonomi lokal serta menjamin kualitas produk.
Keenam, penerapan prinsip perdagangan berkeadilan (fair trade). Dengan memberikan harga pantas bagi produsen (petani) dan menjamin keadilan dalam rantai distribusi. Serta mendorong transparansi dalam setiap tahap perdagangan.
Ketujuh, inovasi sistem distribusi. Bisa dengan mengunakan e-commerce terpercaya atau platform digital pertanian yang menjamin kualitas produk, seperti TaniHub, Sayurbox, dll. Serta mengurangi ketergantungan pada jalur distribusi tradisional yang rentan disusupi praktik oplosan.
Demikianlah, strategi perdagangan yang jauh dari kecurangan harus dibangun di atas pondasi integritas, akuntabilitas, transparansi, dan perlindungan konsumen. Tanpa praktik curang seperti oplosan, perdagangan dapat menjadi alat yang kuat untuk mendorong keadilan sosial, pertumbuhan ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat. Namun, mampukah keidealan ini terwujud optimal dalam penerapan sistem kapitalisme sekuler seperti saat ini? []
Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. dan Puspita Satyawati