Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Polemik Beras Premium: Ompongnya Regulasi Menjadikan Mafia Pangan Makin Kaya

Selasa, 22 Juli 2025 | 17:34 WIB Last Updated 2025-07-22T10:34:33Z

TintaSiyasi.id -- Sepertinya telinga kita sudah tidak asing lagi jika mendengar bagaimana mafia pangan di Indonesia merajalela mencurangi konsumen dengan berbagai trik licik mereka sehingga mengakibatkan kerugian yang besar. Namun anehnya negara terkesan diam, dan enggan hadir untuk menuntaskan permasalahan ini. Masyarakat rugi, mafia berjaya. Baru-baru ini, berita tentang beras premium yang dicurangi mencuat ke publik. Berita ini membuat para konsumen kecewa. Saat mereka berusaha memilih yang terbaik untuk keluarga dengan memilih beras yang katanya premium, ternyata telah dicurangi.

Dalam laporan yang dirilis metrotvnews.com (28 Juni 2025), menyebutkan bahwa baik beras premium dan medium ditemukan tidak sesuai Harga Eceran Tertinggi (HET) dan tidak memenuhi standar mutu yang ditetapkan permentan No. 31 tahun 2017. Sebanyak 85,56 persen beras premium yang diuji tidak sesuai dengan standar kualitas yang telah ditetapkan. Dan potensi kerugian konsumen bisa mencapai Rp. 99,35 triliun rupiah. Sungguh regulasi di negara ini hanyalah wacana, ibarat singa ompong yang gagal memberi efek jera. Buktinya masih saja banyak kecurangan yang dilakukan oleh mafia-mafia pangan di negeri ini. Mereka merasa sangat aman karena dilindungi negara dan tidak mendapat sanksi tegas dari apa yang mereka lakukan.

Dalam laporan MetroTV News bertajuk "Ultimatum Pengusaha Beras Nakal" (29 Juni 2025), pemerintah diketahui hanya memberikan waktu kepada pelaku usaha untuk memperbaiki mutu beras premium yang dipasarkan. Alih-alih menindak tegas, negara terkesan memberikan ruang toleransi atas pelanggaran yang nyata. Di sinilah publik patut bertanya: seberapa serius negara melindungi hak konsumen?

Bak sudah jatuh diinjak-injak pula. Di tengah ekonomi yang tidak stabil dan makin tingginya harga pangan di Indonesia, konsumen harus menanggung kerugian berlipat-lipat. Masyarakat harus merogoh kocek yang dalam untuk beras yang tidak sesuai label tertera. Bukan tidak mungkin dalam jangka panjang, kepercayaan publik terhadap sistem pangan nasional makin terkikis.

Praktek kecurangan seperti ini merupakan suatu keniscayaan dalam kehidupan yang jauh dari aturan agama. Hanya demi keuntungan, menghalalkan yang haram menjadi biasa meski harus menyalahi regulasi. Inilah salah satu cerminan dari sistem sekuler kapitalisme. Keuntungan pribadi adalah prioritas yang wajib dicapai, tidak peduli apa dampak yang terjadi dibaliknya. Persoalan seperti ini akan terus berlanjut tanpa jalan keluar yang tepat.

Pada dasarnya, persoalan pangan merupakan persoalan sistemik yang hanya bisa disolusi secara sistemik pula. Seluruh lini kehidupan sekuler turut andil dalam buruknya regulasi pangan. Misalnya, sistem pendidikan yang harusnya menjadi tempat pembentukan karakter individu yang bertakwa dan amanah, tidak lagi menjalankan perannya dengan baik. Sekolah hanya menjadi tempat mencetak individu berorientasi kapitalis. Hasilnya adalah terjunnya individu-individu kapitalis dalam pemerintahan, mereka bukanlah pemimpin yang sesungguhnya tapi pebisnis yang tengah mencari untung dari kekuasaan yang mereka terima. Mereka menutup mata dari rakyat yang sengsara karena ulah mereka.

Dalam sistem pangan dengan aturan Islam, berlandaskan keadilan, distribusi yang merata dan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok untuk seluruh rakyat. Pangan bukan hanya sekedar komoditas ekonomi, namun kebutuhan pokok yang wajib dijamin oleh negara. Pemerintah bertindak sebagai pelindung dan penanggungjawab. Memastikan tidak ada yang kelaparan dan mencegah kecurangan sistem pangan. Sistem pendidikan dalam islam yang menitik beratkan pada akhlak dan tauhid, akan mewujudkan karakter manusia yang takut pada Allah SWT dan senantiasa amanah dalam kekuasaan.

Bahkan disebutkan dalam sebuah hadis riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW bersabda, "Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya." (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadis tersebut jelas menegaskan bahwa seorang kepala negara harusnya mampu bertanggung jawab dalam segala hal untuk rakyatnya termasuk pangan. Kepribadian yang bertolak belakang dengan sistem saat ini. Di mana pemerintahnya hanya memperkaya diri sementara masyarakatnya harus bertahan agar tidak mati. Di tengah dunia yang menjadikan pangan sebagai komoditas spekulatif, Islam hadir dengan visi kemanusian yang berlandaskan akidah dan sistem yang adil. Dalam naungan khilafah, rakyat tidak akan dibiarkan kelaparan. Karena negara bukanlah pedagang tapi pelayan umat. []


Oleh: Lailiatus Sa'diah
(Aktivis Muslimah Rindu Jannah)

Opini

×
Berita Terbaru Update