TintaSiyasi.id -- Pemerintah Provinsi Banten tidak lagi menganggarkan Tunjangan Tugas Tambahan (TUTA) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Murni Tahun 2025. Akibatnya, sejak Januari 2025, ribuan guru di wilayah tersebut belum menerima TUTA yang biasanya diberikan kepada mereka yang menjalankan tugas tambahan seperti wali kelas, kepala perpustakaan, atau pembina ekstrakurikuler.
Tunjangan ini dinyatakan akan dihapus karena dianggap sebagai pendapatan ganda bersamaan dengan tunjangan kinerja.
Kepala BPKAD Banten menyampaikan bahwa penghapusan TUTA didasarkan pada regulasi pusat yang menganggap tugas-tugas tambahan tersebut sebagai bagian dari beban kerja utama guru. Oleh karena itu, tidak dianggap layak untuk mendapatkan tunjangan tambahan.
Kebijakan ini menimbulkan reaksi keras dan kekecewaan dari para guru. Mereka merasa kontribusi dan kerja tambahan yang diberikan tidak lagi dihargai, padahal peran mereka sangat krusial dalam pembangunan generasi penerus bangsa. (Tangerangnews.co.id, 24/06/2025)
Kebijakan penghapusan TUTA mencerminkan penurunan perhatian negara terhadap kesejahteraan guru dan mutu pendidikan. Padahal, guru bukan sekadar tenaga kerja biasa; mereka adalah pilar peradaban yang memegang peran strategis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Sayangnya, sistem saat ini berbasis pada pendekatan kapitalistik, sehingga pendidikan tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara.
Sebagian besar urusan pendidikan diserahkan kepada swasta, dan sistem keuangan negara yang bergantung pada utang luar negeri kerap menjadikan sektor publik, termasuk pendidikan, sebagai beban yang harus dipangkas dengan dalih efisiensi dan regulasi pusat. Beban kerja tambahan guru tidak lagi dihargai secara finansial. Hal ini merupakan bentuk ketidakadilan yang terstruktur dan penurunan motivasi yang akan berdampak langsung pada kualitas pendidikan.
Dalam sejarah peradaban Islam, pendidikan justru menjadi prioritas utama negara. Para khalifah memberikan perhatian besar terhadap pendidikan rakyat, termasuk kesejahteraan para pendidiknya. Guru ditempatkan pada posisi terhormat dan diberi gaji yang layak, bahkan lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Ini menunjukkan bahwa sebuah peradaban yang maju tidak pernah mengabaikan kesejahteraan pendidiknya.
Adapun solusi yang bisa diambil untuk menuntaskan permasalahan kesejahteraan guru ini di antaranya:
1. Penegakan Hukum terhadap Korupsi
Banyak permasalahan anggaran pendidikan muncul akibat kebocoran dana atau praktik korupsi. Oleh karena itu, penegakan hukum yang tegas dan transparan terhadap pelaku korupsi harus menjadi langkah awal agar dana negara benar-benar dialokasikan untuk sektor strategis, termasuk pendidikan.
2. Reformasi Kebijakan Pendidikan
Pemerintah daerah dan pusat harus meninjau ulang kebijakan yang menghapuskan TUTA. Sebaliknya, harus ada kebijakan yang lebih berpihak pada guru, dengan mempertimbangkan beban kerja tambahan yang nyata dan signifikan terhadap keberhasilan proses pendidikan.
3. Negara Harus Ambil Peran Penuh dalam Sektor Pendidikan
Pendidikan tidak boleh hanya menjadi komoditas atau urusan pihak swasta. Negara harus mengambil peran besar dalam penyelenggaraan dan pembiayaan pendidikan, termasuk menjamin kesejahteraan guru secara menyeluruh.
4. Sistem Alternatif yang Menghargai Guru
Kita perlu menengok kembali pada sistem yang pernah menjadikan pendidikan sebagai prioritas utama negara. Dalam sistem Islam (Khilafah), guru mendapatkan penghargaan tinggi dan jaminan kesejahteraan yang luar biasa. Negara menyediakan kebutuhan dasar mereka, sehingga guru bisa bekerja secara fokus, profesional, dan penuh dedikasi tanpa terganggu oleh kekhawatiran finansial.
Permasalahan ini bukan sekadar soal tunjangan yang dihapus, tetapi menyangkut bagaimana negara memandang dan menghargai guru. Jika pendidikan ingin maju dan generasi bangsa ingin unggul, maka sudah seharusnya kesejahteraan guru menjadi prioritas utama. Mereka bukan sekadar pengajar, tapi peletak dasar peradaban.
Oleh: Fatimah Az Zahroh
Aktivis Muslimah