Tintasiyasi.ID-- Aksi penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) terjadi di tengah pembahasannya saat ini oleh DPR bersama pemerintah. Koalisi Masyarakat Sipil di Kota Semarang, Jawa Tengah, khawatir RKUHAP mengganggu aktivisme di wilayahnya sebab sejumlah aturan dinilai membatasi ruang gerak aktivis dalam menyuarakan haknya serta berpeluang untuk dikriminalisasi lebih besar (kompas.id, 9/7/2025).
Tak hanya itu. RUU KUHAP yang ditargetkan rampung pada September 2025 ini juga menuai kritik dari sejumlah akademisi. Ketua Pusat Riset Sistem Peradilan Pidana Universitas Brawijaya, Malang, Fachrizal Afandi, mengingatkan RUU KUHAP berpotensi menjadi instrumen represi bagi aparat penegak hukum.
Sementara, Fajar M Andhika, pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum Semarang memandang, dengan RKUHAP, potensi penangkapan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum (APH) akan jauh lebih besar. Aktivis atau massa aksi yang sedang menyuarakan hak-haknya, berdalih ancaman tindak pidana, bisa ditangkap sewenang-wenang oleh polisi dalam rentang waktu sangat lama. Bukan tidak mungkin, dalam proses itu mereka mendapatkan kekerasan (penyiksaan) (kompas.id, 19/7/2025).
Represifitas semestinya dihindari oleh penguasa. Negara tidak boleh main ancam dengan pengutamaan pemberian sanksi. Harusnya dahulukan aspek pembinaan bukan pembinasaan. Jadilah negara benevolen yakni negara pemurah bukan negara atau pemerintah yang berwatak bengis terhadap warganya.
Penyebab RUU KUHAP Berpotensi Disalahgunakan oleh APH untuk Bertindak represif
RUU KUHAP berpotensi disalahgunakan oleh APH untuk tindakan represif karena beberapa alasan. Pertama, RUU ini berpotensi memperkuat dominasi penyidik dan kewenangan upaya paksa, yang dapat disalahgunakan untuk menekan individu atau kelompok tertentu.
Kedua, minimnya partisipasi publik dalam penyusunan RUU ini menimbulkan kekhawatiran bahwa kepentingan masyarakat, terutama mereka yang rentan menjadi korban penyalahgunaan kekuasaan, tidak terakomodasi dengan baik.
Ketiga, beberapa pasal dalam RUU KUHP dinilai masih bermasalah dan berpotensi melanggar hak asasi manusia, seperti hak atas bantuan hukum dan perlakuan yang adil dalam proses peradilan.
Lebih rincinya, dikutip dari tempo.co, 21/6/2025, Koalisi Jaringan Masyarakat Sipil untuk Reformasi KUHAP yang terdiri dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Institut Reformasi Peradilan Pidana (ICJR), PBHI Nasional, KontraS, AJI Indonesia, dan berbagai organisasi lainnya, menilai setidaknya ada sembilan masalah yang tertuang dalam beberapa pasal RKUHAP yang perlu dipantau oleh masyarakat, yaitu:
Pertama, tak ada jaminan akuntabilitas pelaporan. Pasal yang bermasalah: Pasal 23. Koalisi menilai pasal ini tidak memberikan perlindungan hukum dan mekanisme akuntabilitas yang memadai. Akibatnya, tidak ada kejelasan mengenai tindak lanjut penanganan kasus, terutama pada kasus kekerasan seksual. Hal ini karena tidak adanya pengawasan berjenjang dalam sistem peradilan pidana.
Kedua, minim pengawasan yudisial. Pasal bermasalah: Pasal 149, 152 ayat (2), 153, dan 154. Berbagai pasal ini menunjukkan RKUHAP belum secara memadai mengatur mekanisme pengawasan oleh pengadilan atau judicial scrutiny. Oleh karena itu, ada kewenangan berlebih pada penyidik tanpa adanya pengawasan oleh pengadilan.
Ketiga, upaya paksa tanpa ukuran yang jelas. Pasal bermasalah: Pasal 85 ayat (1), 88, 89, 90 ayat (2) dan (3), 93 ayat (5), 105 huruf e, 106 ayat (4), 112 ayat (2). Koalisi berpendapat pasal-pasal upaya paksa dalam RKUHAP tidak memiliki ukuran jelas, tidak mengedepankan nilai-nilai hak asasi manusia, serta tidak menjamin adanya kepastian hukum dalam pelaksanaannya. Ada kekhawatiran potensi kesewenang-wenangan di dalam penerapan upaya paksa serta eksploitasi dari aparat penegak hukum.
Keempat, sidang elektronik tanpa mekanisme akuntabel. Pasal bermasalah: Pasal 138 ayat (2) huruf d, 191 ayat (2), dan 223 ayat (2) dan (3). Hingga saat ini, belum ada sistem yang dapat memberikan informasi kepada publik tentang keterbukaan akses menyaksikan jalannya persidangan daring.
Kelima, investigasi khusus tanpa kontrol. Pasal bermasalah: Pasal 16. Teknik investigasi khusus seperti penyadapan dan penggeledahan tak diatur dengan batasan dan syarat yang jelas dalam RKUHAP. Berpotensi pada penjebakan jika kewenangan tersebut berlangsung tanpa pengawasan di tahap penyelidikan.
Keenam, hak korban dan kelompok rentan belum operasional. Pasal bermasalah: Pasal 134-139, 168, 169, dan 175 ayat (7). Jika pasal-pasal ini disahkan, hak-hak korban, saksi, dan terdakwa berpotensi terabaikan. Lembaga bisa jadi saling lempar tanggung jawab, dan ada kemungkinan restitusi korban diabaikan.
Ketujuh, standar pembuktian yang tidak jelas. Pasal bermasalah: Pasal 85-88, 222, 224-225. Belum ada penyelesaian masalah standar pembuktian yang tidak jelas dalam RKUHAP. Selain itu juga belum ada prosedur pengelolaan bukti. Ketidakjelasan definisi “bukti yang cukup” dan standar beban pembuktian dinilai dapat membuka ruang multitafsir dan ketidakadilan dalam putusan.
Delapan, ketidakberimbangan dalam proses peradilan pidana. Pasal bermasalah: Pasal 33, 197 ayat (10), 142 ayat (3) huruf b, 146 ayat (4) dan (5), Pasal 1 angka 20 dan angka 21. Pasal-pasal ini dinilai melemahkan dan membatasi peran advokat, meniadakan pendampingan hukum bagi tersangka/terdakwa yang diancam pidana berat, serta menimbulkan kerancuan yang melahirkan ketidakpastian hukum.
Kesembilan, konsep restorative justice disamakan dengan diversi. Pasal bermasalah: Pasal 74-83. Konsep keadilan restoratif yang dikenal di Indonesia saat ini dinilai keliru, sebab diartikan sebagai penghentian perkara di luar persidangan. Imbasnya, menurut koalisi, penyelesaian perkara di luar pengadilan bisa dipaksakan oleh penyidik demi efisiensi. Hal itu bisa berujung pada pengabaian pemulihan korban serta penyalahgunaan wewenang, dan berpotensi disertai paksaan.
Demikianlah beberapa pasal dalam RUU KUHAP yang berpotensi disalahgunakan oleh APH untuk bertindak represif. Sekaligus ini menjadi bukti, UU buatan manusia seringkali berat sebelah. Jauh dari rasa keadilan serta cenderung berpihak pada penjaga kekuasaan. Bila UU dibuat justru meresahkan masyarakat, lalu untuk apa?
Dampak RUU KUHAP terhadap Penegakan Hukum yang Berkeadilan
Pembahasan RUU KUHAP oleh DPR dan pemerintah menuai perhatian publik karena beberapa pasal dinilai berpotensi mereduksi prinsip-prinsip penegakan hukum. Jika tidak dikaji dan diawasi secara kritis, RUU ini bisa berdampak negatif terhadap penegakan hukum yang berkeadilan di Indonesia. Berikut adalah beberapa dampak potensial RUU KUHAP terhadap penegakan hukum yang berkeadilan:
Pertama, peningkatan kekuasaan APH. Beberapa ketentuan dalam RUU KUHAP dinilai memberikan kewenangan lebih besar kepada polisi dan jaksa, seperti: a) perpanjangan masa penahanan tanpa pengawasan ketat dari hakim, b) penyadapan dan penggeledahan yang dilakukan tanpa izin pengadilan.
Dampaknya adalah: potensi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh APH meningkat, hak-hak tersangka/terdakwa, termasuk hak atas privasi dan perlindungan hukum bisa terlanggar, serta berpotensi menciptakan represivitas terhadap masyarakat sipil dan aktivis.
Kedua, pelemahan peran hakim dan pengadilan. RUU KUHAP cenderung meminimalkan peran kontrol dari lembaga peradilan terhadap tindakan APH, seperti: mengurangi peran hakim dalam pra-peradilan atau izin tindakan penyidikan. Dampaknya ialah: checks and balances antarlembaga penegak hukum bisa melemah, hakim kehilangan peran sebagai pengontrol legalitas tindakan penyidik atau penuntut umum, serta penegakan hukum menjadi lebih eksklusif dan tertutup, rentan disalahgunakan.
Ketiga, penyingkiran asas praduga tak bersalah. Beberapa aturan memperlakukan tersangka seolah-olah sudah bersalah, misalnya: pengungkapan identitas dan perlakuan yang mengarah pada stigmatisasi sebelum ada putusan pengadilan.
Dampaknya yaitu: merusak prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence), mengancam perlindungan HAM, khususnya bagi kelompok rentan.
Keempat, potensi kriminalisasi terhadap kebebasan berekspresi.
Dengan kewenangan penyidikan dan penuntutan yang lebih luas, APH bisa menggunakan RUU ini untuk menindak kritikus pemerintah, jurnalis, dan aktivis dengan alasan hukum formal. Dampaknya bisa mengancam kebebasan berekspresi dan berpendapat yang dijamin konstitusi, serta memperbesar celah kriminalisasi terhadap kelompok yang dianggap oposisi.
Kelima, minimnya partisipasi publik dan transparansi. Proses legislasi RUU KUHAP dinilai kurang terbuka dan minim pelibatan publik secara bermakna. Dampaknya antara lain:
krisis legitimasi hukum, karena produk hukum yang lahir tidak mencerminkan aspirasi masyarakat. Pun sulit untuk menciptakan keadilan prosedural dan substantif, jika partisipasi masyarakat dibatasi.
Demikianlah, RUU KUHAP dapat berdampak serius terhadap penegakan hukum yang berkeadilan jika tidak diperbaiki. Keseimbangan antara efektivitas penegakan hukum dan perlindungan HAM harus menjadi prioritas. Revisi aturan hukum acara pidana memang penting, tetapi harus dilakukan dengan pendekatan partisipatif, transparan, dan menjamin perlindungan hak asasi manusia.
Strategi Penanganan Perkara Pidana yang Dapat Menghadirkan Keadilan dalam Masyarakat Melalui KUHAP
Pembahasan RUU KUHAP menjadi perhatian publik karena potensi penyalahgunaan oleh APH karena dipandang tidak mengedepankan prinsip keadilan dan perlindungan hak asasi manusia. Dalam konteks ini, penting untuk merancang strategi penanganan perkara pidana yang berorientasi pada keadilan substantif, bukan sekadar formalitas hukum. Berikut adalah strategi penanganan perkara pidana yang dapat menghadirkan keadilan melalui KUHAP:
Pertama, penegakan prinsip due process of law (proses hukum yang adil). KUHAP harus menjamin hak-hak tersangka/terdakwa sejak awal proses hukum (pra-ajudikasi) hingga akhir (putusan pengadilan).
* Perlindungan hak untuk mendapatkan penasihat hukum, diberitahu atas tuduhan, tidak disiksa, dan diperlakukan secara manusiawi.
* Menyediakan mekanisme evaluasi terhadap tindakan-tindakan paksa (penangkapan, penahanan, penggeledahan) oleh APH.
Kedua, peningkatan mekanisme pengawasan terhadap APH.
* Membentuk badan independen atau menguatkan lembaga pengawas eksternal (seperti Kompolnas, Komnas HAM, Ombudsman) untuk menerima dan menindaklanjuti laporan masyarakat.
* Transparansi dan akuntabilitas dalam proses penyidikan dan penuntutan, termasuk dokumentasi proses interogasi.
Ketiga, penguatan prinsip diversi dan restorative justice.
* KUHAP dapat memasukkan atau memperluas pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) tidak hanya untuk anak, tetapi juga perkara-perkara ringan tertentu (misalnya penganiayaan ringan, pencurian sederhana).
* Fokus pada pemulihan korban dan pelaku, serta partisipasi masyarakat dalam penyelesaian perkara.
Keempat, perluasan hak korban.
* KUHAP harus memberikan ruang yang lebih besar bagi korban untuk berperan aktif dalam proses peradilan, seperti hak untuk didampingi, memberikan keterangan, meminta restitusi, dan perlindungan dari intimidasi.
* Memungkinkan partisipasi lembaga perlindungan korban atau pendamping hukum korban.
Kelima, pembatasan kewenangan tindakan paksa.
* Penangkapan, penahanan, dan penyadapan harus diatur secara ketat dengan kontrol yudisial (izin pengadilan).
* Durasi penahanan dan persyaratannya harus memperhatikan prinsip proporsionalitas dan tidak membuka celah kriminalisasi.
Keenam, digitalisasi dan transparansi proses hukum.
* Proses peradilan pidana harus terdokumentasi dengan baik dan terbuka, misalnya dengan rekaman audio-visual dalam proses pemeriksaan.
* Pemanfaatan teknologi informasi untuk transparansi berkas perkara, jadwal sidang, dan akses publik terhadap putusan.
Ketujuh, asas cepat, sederhana, dan biaya ringan.
* KUHAP harus mendorong penyelesaian perkara yang efisien dan tidak berlarut-larut.
* Mencegah praktik penundaan berlarut (undue delay) yang bisa merugikan pihak-pihak dalam perkara pidana.
Kedelapan, pendidikan hukum untuk masyarakat dan APH.
* Pendidikan publik tentang hak-hak hukum agar masyarakat bisa memahami dan membela haknya dalam proses hukum.
* Pelatihan berkelanjutan bagi APH terkait etika, HAM, dan pendekatan berbasis keadilan.
Strategi-strategi ini tidak hanya menuntut perubahan redaksional dalam KUHAP, tetapi juga komitmen politik dan pembenahan institusional dari seluruh sistem peradilan pidana. KUHAP harus menjadi instrumen yang melindungi bukan menindas, mengayomi bukan memberangus hak-hak warga negara. Namun dalam sistem hukum (peradilan) bernuansa sekuler kapitalistik, patut dipertanyakan apakah keidealan ini mampu terwujud? []
Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. dan Puspita Satyawati