Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Kerja Halal: Jalan Suci Menuju Ridha dan Cinta Ilahi

Minggu, 13 Juli 2025 | 05:59 WIB Last Updated 2025-07-12T22:59:52Z

Tintasiyasi.ID-- Refleksi Spiritual atas Nasehat Sayyid Abdul Qadir al-Jailani

“Sembahlah Allah dan mintalah pertolongan untuk beribadah kepada-Nya dengan kerja halal. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla mencintai hamba mukmin yang taat dan makan dari kerja halalnya.”
– Sayyid Abdul Qadir al-Jailani, Fathur Rabbani

Pendahuluan: Mencari Allah dalam Kerja Sehari-hari

Seringkali kita membayangkan jalan menuju Allah hanyalah dengan sujud panjang, zikir yang syahdu, dan lantunan ayat-ayat suci di tengah malam. Kita memisahkan antara kesucian masjid dengan hiruk pikuk pasar, antara ketenangan mihrab dengan suara mesin dan dagangan. Padahal, dalam pandangan para wali Allah, seperti Sayyid Abdul Qadir al-Jailani, kerja yang halal adalah bagian dari ibadah—bahkan bisa menjadi sarana untuk meraih cinta Ilahi.

Kerja bukan sekadar mencari nafkah, melainkan perpanjangan dari ibadah. Ia adalah cara kita membuktikan bahwa kita taat kepada perintah-Nya, memegang nilai kejujuran, menolak yang haram, dan menjaga diri dari ketergantungan kepada selain Allah.

1. Dimensi Tauhid dalam Kerja Halal

Allah adalah Rabb yang Maha Kaya, dan setiap rezeki yang halal adalah titipan dari-Nya. Ketika seseorang bekerja dengan cara yang benar, ia sedang bertauhid dengan amal. Ia mengakui bahwa hanya Allah yang memberi rezeki, namun rezeki itu diturunkan melalui ikhtiar yang diridhai.

Kerja halal menjadi bukti keimanan seorang hamba kepada Qada dan Qadar. Ia tahu bahwa tidak semua usaha akan membuahkan hasil duniawi, tapi selama caranya benar, ia telah sukses secara ruhani.

"Dan katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu pula Rasul-Nya dan orang-orang mukmin."
(QS. At-Taubah: 105)

2. Kehalalan: Pondasi bagi Keberkahan Hidup

Kerja halal melahirkan keberkahan, yaitu bertambahnya kebaikan yang tidak selalu tampak dari jumlah, tetapi dari manfaat. Betapa banyak orang bergaji kecil namun hidupnya tenang dan anak-anaknya saleh. Sebaliknya, tak sedikit yang bergaji besar tapi hatinya gelisah, rumah tangganya kacau, dan anak-anaknya jauh dari agama.

Sayyid Al-Jailani menekankan pentingnya kerja halal, sebab darinya mengalir makanan yang masuk ke tubuh, menjadi darah dan daging, membentuk akhlak, menentukan arah hidup.

Rasulullah SAW bersabda:
"Setiap daging yang tumbuh dari yang haram, maka neraka lebih pantas baginya." (HR. Tirmidzi)

3. Cinta Allah bagi yang Makan dari Halalnya

Allah mencintai hamba yang tidak hanya shalat, tetapi juga menjemput rezeki dengan kejujuran. Dia mencintai hamba yang rela meneteskan keringat demi nafkah halal, menolak jalan pintas yang meragukan, dan bersabar dalam kesempitan asalkan tetap bersih.

Cinta Allah tidak hanya diturunkan kepada ahli ibadah di malam hari, tetapi juga kepada ayah yang jujur berdagang, ibu yang ikhlas menjahit baju untuk anaknya, petani yang menanam tanpa menipu timbangan, buruh yang tidak mengeluh dan tetap menjaga shalat lima waktu.

4. Kerja: Wujud Tawakal, Bukan Lawan Tawakal

Sebagian orang salah memahami tawakal. Mereka mengira bahwa pasrah berarti tidak perlu usaha. Padahal para Nabi dan ulama saleh adalah pekerja keras. Nabi Muhammad SAW berdagang sejak muda. Nabi Daud AS membuat baju besi dengan tangannya sendiri. Rasulullah SAW bersabda:

"Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya Allah akan memberi rezeki kepada kalian sebagaimana burung diberi rezeki. Ia pergi pagi hari dalam keadaan lapar dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang." (HR. Ahmad)

Perhatikan, burung tetap harus terbang, bukan menunggu rezeki jatuh dari langit. Maka kerja halal adalah bagian dari tawakal yang sejati.

5. Etos Kerja dan Keteladanan Ulama Salaf

Ulama salaf tidak pernah memisahkan antara ibadah dan kerja. Imam Abu Hanifah adalah pedagang kain. Imam Malik bekerja di pasar. Imam Ahmad bin Hanbal menjahit dan membawa beban sendiri. Mereka tidak mau menggantungkan hidup kepada orang lain, bahkan sering menolak hadiah atau upah yang mencurigakan.

Sayyid Abdul Qadir al-Jailani sendiri hidup dari hasil kerja tangannya. Ia menolak hibah yang berasal dari sumber tidak jelas. Ia mengajarkan murid-muridnya bahwa satu suapan dari yang halal lebih baik daripada seribu rakaat dari hasil yang haram.

6. Kerja Halal: Benteng dari Kehinaan Diri

Ketika seseorang bergantung pada bantuan tanpa usaha, ia sedang membuka pintu kehinaan. Islam memuliakan tangan yang bekerja, bukan tangan yang meminta-minta. Nabi SAW bersabda:
"Sungguh, seseorang yang membawa tali lalu pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar, kemudian menjualnya sehingga mencukupi kebutuhan dirinya dan keluarganya, itu lebih baik baginya daripada meminta-minta kepada manusia." (HR. Bukhari)

Kerja halal mendidik diri untuk sabar, ikhlas, bertanggung jawab, dan menjaga harga diri. Inilah bagian dari pendidikan ruhani yang sejati.

Penutup: Memuliakan Kerja, Menemukan Allah di Tengah Dunia

Hidup bukan hanya tentang shalat dan zikir, tapi tentang menyatukan seluruh aktivitas dunia menjadi persembahan untuk Allah. Jika niat kita lurus, kerja pun bisa menjadi ibadah. Jika cara kita bersih, rezeki pun akan menjadi cahaya bagi hati.

Nasihat Sayyid Abdul Qadir al-Jailani adalah ajakan untuk menyembah Allah tidak hanya dalam masjid, tapi juga dalam pasar, ladang, dapur, kantor, dan pabrik. Mintalah pertolongan kepada Allah agar tetap taat, dan jangan tinggalkan kerja halal. Di situlah letak cinta-Nya.

Doa dan Renungan
“Ya Allah, berkahilah setiap usaha kami. Jadikan kerja kami sebagai ibadah yang Engkau terima. Jauhkan kami dari yang haram, dari jalan yang menipu, dan dari rezeki yang tidak Engkau ridai. Limpahkan kekuatan dan kesabaran agar kami tetap dalam jalan-Mu, meski dunia menggoda dan syetan membisikkan kelemahan.”

Oleh. Dr Nasrul Syarif M.Si. (Penulis Buku Gizi Spiritual dan Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo)

Opini

×
Berita Terbaru Update