Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Indonesia Negara Middle Power Hanya Bisa Menyerukan, Mengajak, dan Mengingatkan

Kamis, 24 Juli 2025 | 04:20 WIB Last Updated 2025-07-23T21:20:03Z

Tintasiyasi.ID -- Pakar Politik Internasional Hasbi Aswar, Ph.D. menilai Indonesia lebih senang menjadi negara middle power yang berujung lemah dan kurang berpengaruh di kancah internasional sehingga hanya bisa menyerukan, mengajak, dan mengigatkan.

 

"Indonesia lebih senang dalam posisi middle power. Kebanyakan negara-negara middle power netral, tidak bisa bertindak lebih jauh. Biasanya secara diplomasi negara-negara middle power hanya bisa menyerukan, mengajak, dan mengingatkan," ujarnya di kanal YouTube UIY Official; Negosiasi Tarif: Indonesia Kalah, AS Menang Banyak?, Senin (21/07/2025).

 

Ia menjelaskan, middle power merupakan level negara-negara secara ekonomi dan militer bukanlah negara maju, tetapi lebih condong posisi sedang. “Lantaran bukan negara super power, posisi indonesia hanya akan menjadi negara yang kurang diperhitungkan dalam kancah internasional,” tandasnya.

 

"Kecuali Indonesia bisa meningkatkan lagi power-nya atau kekuatannya di dalam internasional menjadi negara super power. Negara super power visi dan langkahnya juga harus super power. Nah, hanya itu yang bisa membuat Indonesia bisa menjadi lebih maju," terangnya.

 

Berkaca pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, Hasbi memandang saat itu presiden pertama Indonesia memiliki visi untuk menjadikan Indonesia negara super power. “Namun, sayangnya unsur-unsur dalam negeri tidak kondusif.

 

"Ditambah lagi elite-elite dalam negeri dan berbagai macam hal tidak solid yang membuat Soekarno tidak bisa berbuat apa-apa. Soekarno punya mimpi besar mendirikan Indoensia negara besar, tetapi kelihatannya itu tidak terjadi. Intinya butuh visi untuk menjadi negara super power dan diikuti dengan langkah-langkah yang berani. Menurut saya cara ini bisa meningkatkan tingkat diplomasi indonesia," jelasnya.

 

Alhasil, ia menilai lemahnya Indonesia saat ini membuat terlalu bergantung kepada Amerika Serikat (AS), yang hasilnya mau menerima berbagai tawaran-tawaran Presiden AS Donald Trump yang merugikan. “Terlebih AS merupakan target ekspor kedua setelah Cina,” tegasnya.

 

"Indonesia rugi kalau dagang dengan Cina, kalau dengan Amerika Indonesia untung. Ketergantungan Indonesia terhadap Amerika membuat Indonesia itu menjadi lemah, jadi Amerika minta apa Indonesia tidak bisa menolak,” ungkapnya.

 

“Pada akhirnya, karena saat ini Indonesia masih sangat bergantung kepada Amerika kepada target ekspornya dan Indonesia juga kelihatannya kesulitan untuk mencari wilayah-wilayah ekspor atau mitra. Jadi kita bergantung secara ekonomi ya," paparnya.

 

Hasbi menuturkan, selain bidang ekonomi, Indonesia juga bergantung dalam bidang militer. “Dalam konteks hari ini eskalasi Laut Cina Selatan yang meningkat, misalnya terkait agresivitas Cina. Dengan demikian Indonesia butuh dukungan AS untuk mengamankan kepentingan Indonesia di wilayah Asia Pasifik, khususnya Laut Cina Selatan,” bebernya.

 

"Itulah mengapa beberapa tahun terakhir indonesia menjadi tuan rumah latihan-latihan militer, di mana Amerika dan negara-negara Eropa ikut serta di sana," ungkapnya.

 

Dengan ini, Ia menyayangkan lemahnya Indonesia secara ekonomi dan militer sehingga menjadi tidak punya power atau kekuatan negosiasi untuk melawan agresifnya Cina di perairan Laut Cina Selatan. “Di sisi lain Indonesia sangat membutuhkan Cina untuk mendukung perekonomian,” ujarnya.

 

"Karena kita butuh ekonominya Cina, walaupun Cina itu melanggar perairan Natuna Utara misalnya, termasuk nelayan-nelayan Cina, Indonesia tidak bisa bersuara keras, bahkan lebih memilih pendekatan soft, kenapa? Karena Indonesia butuh investasi Cina, butuh dana-dana segar dari Cina untuk ke Indonesia," paparnya.

 

"Nah, itu membuktikan bahwa negosiasi tidak butuh sekadar diplomat ulung yang bisa berbicara dalam negosiasi,” lugasnya

 

Lanjut dikatakan, apa yang ada di belakang dan pondasi yang dimiliki, khususnya pondasi kekuatan ekonomi dan termasuk pondasi militer. “Kita lemah tidak bisa mengambil keuntungan lebih banyak dari mereka (AS dan Cina) karena kita yang butuh mereka lebih besar daripada mereka butuh kita," pungkasnya.[] Taufan

Opini

×
Berita Terbaru Update