Tintasiyasi.ID -- Pakar Politik Internasional Hasbi Aswar, Ph.D. menilai Indonesia lebih senang menjadi negara middle power yang berujung lemah dan kurang berpengaruh di kancah internasional sehingga hanya bisa menyerukan, mengajak, dan mengigatkan.
"Indonesia lebih senang
dalam posisi middle power. Kebanyakan negara-negara middle power
netral, tidak bisa bertindak lebih jauh. Biasanya secara diplomasi negara-negara
middle power hanya bisa menyerukan, mengajak, dan mengingatkan,"
ujarnya di kanal YouTube UIY Official; Negosiasi Tarif: Indonesia Kalah, AS
Menang Banyak?, Senin (21/07/2025).
Ia menjelaskan, middle power
merupakan level negara-negara secara ekonomi dan militer bukanlah negara maju,
tetapi lebih condong posisi sedang. “Lantaran bukan negara super power,
posisi indonesia hanya akan menjadi negara yang kurang diperhitungkan dalam
kancah internasional,” tandasnya.
"Kecuali Indonesia bisa
meningkatkan lagi power-nya atau kekuatannya di dalam internasional
menjadi negara super power. Negara super power visi dan langkahnya juga
harus super power. Nah, hanya itu yang bisa membuat Indonesia bisa
menjadi lebih maju," terangnya.
Berkaca pada masa pemerintahan
Presiden Soekarno, Hasbi memandang saat itu presiden pertama Indonesia memiliki
visi untuk menjadikan Indonesia negara super power. “Namun, sayangnya
unsur-unsur dalam negeri tidak kondusif.
"Ditambah lagi elite-elite
dalam negeri dan berbagai macam hal tidak solid yang membuat Soekarno tidak
bisa berbuat apa-apa. Soekarno punya mimpi besar mendirikan Indoensia negara
besar, tetapi kelihatannya itu tidak terjadi. Intinya butuh visi untuk menjadi
negara super power dan diikuti dengan langkah-langkah yang berani. Menurut
saya cara ini bisa meningkatkan tingkat diplomasi indonesia," jelasnya.
Alhasil, ia menilai lemahnya
Indonesia saat ini membuat terlalu bergantung kepada Amerika Serikat (AS), yang
hasilnya mau menerima berbagai tawaran-tawaran Presiden AS Donald Trump yang
merugikan. “Terlebih AS merupakan target ekspor kedua setelah Cina,” tegasnya.
"Indonesia rugi kalau dagang
dengan Cina, kalau dengan Amerika Indonesia untung. Ketergantungan Indonesia
terhadap Amerika membuat Indonesia itu menjadi lemah, jadi Amerika minta apa
Indonesia tidak bisa menolak,” ungkapnya.
“Pada akhirnya, karena saat ini Indonesia
masih sangat bergantung kepada Amerika kepada target ekspornya dan Indonesia
juga kelihatannya kesulitan untuk mencari wilayah-wilayah ekspor atau mitra.
Jadi kita bergantung secara ekonomi ya," paparnya.
Hasbi menuturkan, selain bidang
ekonomi, Indonesia juga bergantung dalam bidang militer. “Dalam konteks hari
ini eskalasi Laut Cina Selatan yang meningkat, misalnya terkait agresivitas
Cina. Dengan demikian Indonesia butuh dukungan AS untuk mengamankan kepentingan
Indonesia di wilayah Asia Pasifik, khususnya Laut Cina Selatan,” bebernya.
"Itulah mengapa beberapa
tahun terakhir indonesia menjadi tuan rumah latihan-latihan militer, di mana
Amerika dan negara-negara Eropa ikut serta di sana," ungkapnya.
Dengan ini, Ia menyayangkan
lemahnya Indonesia secara ekonomi dan militer sehingga menjadi tidak punya power
atau kekuatan negosiasi untuk melawan agresifnya Cina di perairan Laut Cina
Selatan. “Di sisi lain Indonesia sangat membutuhkan Cina untuk mendukung
perekonomian,” ujarnya.
"Karena kita butuh
ekonominya Cina, walaupun Cina itu melanggar perairan Natuna Utara misalnya,
termasuk nelayan-nelayan Cina, Indonesia tidak bisa bersuara keras, bahkan
lebih memilih pendekatan soft, kenapa? Karena Indonesia butuh investasi
Cina, butuh dana-dana segar dari Cina untuk ke Indonesia," paparnya.
"Nah, itu membuktikan bahwa
negosiasi tidak butuh sekadar diplomat ulung yang bisa berbicara dalam
negosiasi,” lugasnya
Lanjut dikatakan, apa yang ada di
belakang dan pondasi yang dimiliki, khususnya pondasi kekuatan ekonomi dan
termasuk pondasi militer. “Kita lemah tidak bisa mengambil keuntungan lebih
banyak dari mereka (AS dan Cina) karena kita yang butuh mereka lebih besar
daripada mereka butuh kita," pungkasnya.[] Taufan