TintaSiyasi.id -- Utusan Palestina untuk PBB, Majed Bamya, menggambarkan kehidupan di Gaza seperti "Russian roulette dengan peluru di hampir setiap ruang." Dalam sidang darurat Dewan Keamanan (DK) PBB pada Rabu, 16 Juli 2025, ia memperingatkan bahwa warga Gaza menghadapi pilihan hidup dan mati setiap hari.
Ia mengatakan, lebih dari dua juta warga Palestina, setengahnya anak-anak, sudah lebih dari 650 hari hidup tanpa tahu apakah mereka akan selamat hari ini, atau bangun keesokan paginya. Dunia mulai terbiasa dengan penderitaan yang tak tertahankan.
Ia mencatat bahwa antara 90 hingga 130 warga Palestina tewas setiap hari hanya karena identitas mereka. Ia mengutuk tindakan Israel sebagai kejahatan terhadap warga sipil dan menyoroti kegagalan dunia dalam menegakkan hukum internasional. (metrorvnews.com, 17/7/2025)
Tragedi kemanusiaan yang terjadi di Palestina, khususnya di Gaza, telah lama berlangsung namun kembali mencapai puncaknya dalam beberapa bulan terakhir. Ribuan jiwa, termasuk anak-anak dan perempuan, terbunuh secara brutal. Infrastruktur luluh lantak. Rumah sakit menjadi sasaran, dan embargo membuat bantuan kemanusiaan tertahan.
Dunia menyaksikan genosida secara terang-terangan. Namun, di tengah jeritan dan darah yang tumpah, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan negara-negara besar seperti Amerika Serikat hanya mengumbar janji kosong dan standar ganda yang menjijikkan.
PBB, yang digadang-gadang sebagai penjaga perdamaian dunia, nyatanya tak lebih dari alat politik negara-negara adidaya. Resolusi demi resolusi dibatalkan oleh veto Amerika Serikat, yang tanpa malu-malu menyebut dirinya pembela hak asasi manusia. Mereka bicara demokrasi dan perdamaian, namun tangan mereka berlumur darah warga sipil Palestina. Ketika Rusia menyerang Ukraina, dunia langsung bersatu. Namun, ketika Israel membantai Palestina, dunia memilih diam atau hanya mengeluarkan pernyataan keras yang tak lebih dari formalitas.
Sayangnya, umat Islam sendiri turut menjadi korban bukan hanya agresi zionis, tetapi juga perpecahan internal. Nasionalisme yang ditanamkan sejak keruntuhan Khilafah Utsmaniyah telah memecah-belah umat menjadi lebih dari 50 negara. Bendera, paspor, dan kepentingan politik sempit mengalahkan solidaritas akidah. Saudara seiman dibantai, tetapi masing-masing negara Muslim hanya memikirkan batas wilayah dan kestabilan kurs mata uang mereka.
Di tengah penderitaan tersebut, para penguasa negeri-negeri Islam justru sibuk berdiplomasi dengan penjajah. Mereka menjalin normalisasi dengan Israel, membuka jalur dagang, bahkan menyuplai senjata secara diam-diam. Semua itu karena mereka lebih mencintai dunia dan takut kehilangan kekuasaan daripada membela darah kaum Muslimin yang tertumpah. Mereka melupakan sabda Rasulullah Saw,
“Akan datang suatu masa, di mana umat-umat akan bersatu untuk menyerang kalian, sebagaimana orang-orang memperebutkan makanan di atas meja makan.”
Para sahabat bertanya, “Apakah saat itu jumlah kami sedikit, wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Bahkan kalian banyak, tetapi seperti buih di lautan. Allah mencabut rasa takut dari hati musuh-musuh kalian, dan menanamkan dalam hati kalian wahn.”
Mereka bertanya, “Apa itu wahn, wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Cinta dunia dan takut mati.”
(HR. Abu Dawud)
Realitas ini tidak akan berubah selama umat Islam terus tunduk pada sistem kufur yang dipaksakan oleh Barat, yaitu demokrasi, nasionalisme, kapitalisme, dan sekularisme. Solusi sejati bukanlah perundingan damai atau gencatan senjata sementara, tetapi penegakan kembali Khilafah Islamiah yang akan menyatukan umat dalam satu kepemimpinan politik berdasarkan wahyu, bukan kepentingan negara asing.
Khilafah bukan utopia. Ia adalah sistem pemerintahan Islam yang telah terbukti selama lebih dari 13 abad mempersatukan bangsa, menjaga kehormatan kaum Muslim, dan membebaskan negeri-negeri tertindas.
Dalam sistem ini, darah Muslim adalah kehormatan yang tak bisa ditawar. Khilafah tidak akan berpangku tangan menyaksikan Gaza dihancurkan. Sebagaimana dahulu para khalifah mengirim pasukan ke Andalusia, Syam, hingga Asia Tengah demi menolong yang terzalimi.
Kini saatnya umat Islam menyadari bahwa jalan keluar bukan di tangan PBB, bukan pula pada lobi diplomatik penguasa munafik yang hanya menjadi antek asing. Jalan keluar ada pada kembalinya institusi politik Islam, yaitu Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah.
Sebagaimana firman Allah Swt dalam Al-Qur'an surah Al-Maidah ayat 49
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.”
Dan sabda Nabi Muhammad Saw yang diriwayatkan oleh Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu ‘anhu,
"تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا اللَّهُ إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ، فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا اللَّهُ إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا، فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا اللَّهُ إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً، فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا اللَّهُ إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ."
ثُمَّ سَكَتَ.
“Akan ada masa kenabian di tengah-tengah kalian selama Allah menghendakinya. Kemudian Allah akan mengangkatnya jika Dia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah (sesuai metode kenabian), dan akan berlangsung selama Allah menghendakinya. Kemudian Allah akan mengangkatnya jika Dia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian akan ada kerajaan yang menggigit (mulkan ‘addhan), lalu akan berlangsung selama Allah menghendakinya. Kemudian Allah akan mengangkatnya jika Dia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian akan ada kerajaan yang memaksa (mulkan jabriyyah), lalu akan berlangsung selama Allah menghendakinya. Kemudian Allah akan mengangkatnya jika Dia menghendaki untuk mengangkatnya. Lalu akan ada kembali Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah (Khilafah yang mengikuti metode kenabian) kemudian beliau diam.
Kebangkitan umat tidak bisa ditunda. Persatuan umat Islam adalah kewajiban syar’i, dan khilafah adalah institusi pelindung umat yang hilang. Maka, mari kita buang sekat nasionalisme, singkirkan loyalitas pada musuh Islam, dan bergerak menuju tegaknya kembali perisai umat, Khilafah Islamiah. Allahuakbar! []
Nabila Zidane
(Jurnalis)