Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Pengangguran Tinggi: Jadi TKI Bukan Solusi

Minggu, 20 Juli 2025 | 08:24 WIB Last Updated 2025-07-20T01:25:03Z

TintaSiyasi.id -- Menteri P2MI, Abdul Kadir Karding, mendorong penurunan angka pengangguran terbuka di Jawa Tengah dengan mendorong masyarakat untuk bekerja di luar negeri secara resmi.

Ia menyebut, secara nasional, angka pengangguran di Indonesia telah melampaui 70 juta orang. Dalam kondisi seperti ini, bekerja sebagai Pekerja Migran Indonesia (PMI) terampil disebutnya sebagai salah satu solusi utama untuk mengurangi pengangguran.

Karding juga menyampaikan keyakinannya bahwa pengiriman PMI ke berbagai negara bisa menjadi sarana Indonesia untuk menanamkan pengaruh secara global. Sehingga nilai-nilai ke-Indonesiaan itu menyebar ke seluruh dunia. (kompas.com, 2/7/2025)

Lagi-lagi bertambahnya angka pengangguran di Indonesia kembali menjadi sorotan. BPS (Badan Pusat Statistik) melaporkan bahwa jumlah pengangguran di Indonesia pada Februari 2025 mencapai 7,28 juta jiwa. Angka ini meningkat dibandingkan dengan Februari 2024 yang tercatat 7,20 juta jiwa. Angka tersebut belum termasuk pekerja informal dengan penghasilan tidak layak atau pekerja yang terpaksa menerima pekerjaan di luar bidang keahliannya demi bertahan hidup. 

Ironisnya, solusi yang sering diambil oleh masyarakat dan bahkan difasilitasi oleh negara adalah menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri, meski harus menanggung berbagai risiko, termasuk perlakuan tidak manusiawi, eksploitasi, dan minimnya perlindungan hukum.

Padahal, bekerja di luar negeri bukan solusi jangka panjang. Itu hanyalah bentuk pelarian dari realita dalam negeri yang tidak mampu menyediakan lapangan kerja yang layak. Ini adalah potret kegagalan sistem ekonomi dan pendidikan kita dalam memberdayakan potensi rakyatnya.

Lebih menyedihkan lagi, pendidikan tinggi yang diharapkan menjadi jembatan menuju kesejahteraan, justru menjadi beban. Biaya kuliah yang kian mahal menjadikan pendidikan hanya bisa diakses oleh kelompok tertentu. Sementara itu, lulusan sarjana yang berhasil menyelesaikan pendidikannya pun banyak yang menganggur atau bekerja tidak sesuai bidang. 

Pendidikan tinggi yang seharusnya mencetak generasi ahli, justru menjadi ‘Pabrik ijazah’ tanpa arah jelas. Ini membuktikan bahwa sistem pendidikan saat ini tidak sinkron dengan kebutuhan lapangan kerja dan tidak mampu menyelesaikan masalah pengangguran.


Akar Masalah: Kapitalisme Sekuler yang Gagal

Sistem kapitalisme-sekuler yang diterapkan di Indonesia telah menjadikan negara abai terhadap tanggung jawabnya dalam menciptakan kesejahteraan rakyat. Mengapa? Karena dalam sistem ini, fungsi negara dipersempit hanya sebagai regulator dan fasilitator bagi kepentingan korporasi.

Negara tidak benar-benar hadir sebagai pelindung dan penjamin kesejahteraan rakyat. Lapangan kerja tidak lagi menjadi tanggung jawab negara secara penuh. Pemerintah menyerahkan pengelolaan sumber daya alam dan sektor-sektor strategis kepada swasta dan asing. Akibatnya, potensi ekonomi yang seharusnya dapat menyerap banyak tenaga kerja lokal, justru dinikmati oleh segelintir pemilik modal. Sementara itu, rakyat hanya mendapat remah-remah dari kekayaan negeri sendiri.

Kebijakan ekonomi yang bertumpu pada utang luar negeri, liberalisasi pasar, dan privatisasi aset-aset publik, telah membuat negeri ini terjajah secara ekonomi. Inilah akar masalah pengangguran yang sesungguhnya. Sebuah sistem yang tidak berorientasi pada kemaslahatan rakyat, melainkan pada keuntungan individu dan korporasi.


Solusi Islam dalam Mengatasi Pengangguran

Islam memiliki sistem yang menyeluruh dan adil dalam mengatasi pengangguran, mulai dari sistem pendidikan, ekonomi, hingga peran aktif negara dalam menjamin kesejahteraan.

Dalam Islam, negara wajib menciptakan lapangan pekerjaan untuk rakyatnya. Negara adalah penanggung jawab utama dalam memenuhi kebutuhan dasar rakyat, termasuk menyediakan pekerjaan. 

Rasulullah Saw bersabda,

Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat, dan ia bertanggung jawab terhadap urusan mereka.” 
(HR. Bukhari dan Muslim)

Negara dalam sistem Islam akan mengelola sumber daya alam secara mandiri dan hasilnya dikembalikan untuk kepentingan rakyat, termasuk menciptakan lapangan kerja produktif. Sektor pertanian, industri, dan perdagangan akan dihidupkan berdasarkan prinsip syariah yang adil dan menjauhi riba, monopoli, serta praktik eksploitasi.

Adapun pendidikan Islam fokus pada pembentukan karakter dan kecakapan hidup. Sistem pendidikan Islam tidak sekadar mencetak sarjana, tetapi membentuk manusia yang bertakwa dan produktif. Kurikulumnya disusun berdasarkan akidah Islam dan disesuaikan dengan kebutuhan umat. 

Pendidikan tinggi tidak menjadi ladang bisnis, melainkan sarana untuk menyiapkan pemimpin dan ahli di berbagai bidang kehidupan. Pendidikan adalah hak rakyat, bukan komoditas. Sehingga negara wajib membiayainya dari harta milik umum dan kas baitul mal.

Pada masa Kekhilafahan Abbasiyah dan Utsmaniyah, pendidikan tinggi seperti di Baghdad, Damaskus, dan Kairo tidak memungut biaya sedikit pun, bahkan disediakan asrama gratis, makan dan beasiswa serta kitab dan guru-guru terbaik dunia. Bahkan orang dari Eropa datang belajar ke dunia Islam karena akses gratis dan kualitasnya tinggi.

Selain itu, sistem ekonomi Islam memberdayakan rakyat. Islam menata perekonomian berbasis distribusi kekayaan, bukan akumulasi oleh segelintir orang. Negara akan memfasilitasi rakyat untuk memiliki akses terhadap tanah, modal, dan teknologi, agar bisa mandiri dan produktif. Praktik seperti bagi hasil (mudharabah, musyarakah), pembebasan pajak bagi usaha kecil, serta larangan monopoli dan riba akan mendorong aktivitas ekonomi yang sehat dan merata.

Islam melarang penyerahan pengelolaan sumber daya kepada asing. Dalam sistem Khilafah, kekayaan alam seperti tambang, air, dan energi merupakan milik umum yang dikelola oleh negara untuk kepentingan rakyat. Dengan demikian, pendapatan negara meningkat dan bisa digunakan untuk menciptakan pekerjaan, membangun infrastruktur, dan menyejahterakan masyarakat.

Sudah saatnya kita menyadari bahwa pengangguran yang kian meningkat bukanlah sekadar persoalan teknis ekonomi, tetapi buah dari sistem sekuler yang gagal menyejahterakan rakyat. Mengirim rakyat menjadi TKI hanyalah solusi instan yang menunda kehancuran. 

Solusi hakiki hanya bisa terwujud jika sistem Islam diterapkan secara menyeluruh dalam bingkai negara, sehingga negara benar-benar menjadi pelindung dan pelayan umat, bukan pelayan investor.

Dengan Islam, pekerjaan bukan hanya cara mencari nafkah, tetapi juga jalan untuk beribadah dan berkontribusi membangun peradaban yang mulia. []


Nabila Zidane
(Jurnalis)

Opini

×
Berita Terbaru Update