Tintasiyasi.ID -- Direktur The Economic Future Institute (TEFI) Dr. Yuana Tri Utomo, S.E.I., M.E.I. mengatakan bahwa menurut teori ekonomi politik, janji besar tanpa roadmap, dan tanpa mekanisme yang akuntabel itu bisa dikategorikan sebagai manipulasi publik.
“Menurut teori ekonomi politik, janji besar tanpa roadmap,
dan tanpa mekanisme yang akuntabel itu bisa dikategorikan sebagai manipulasi
publik,” lugasnya di kanal YouTube Khilafah News bertema Sedang
Mencari 19 Juta Lapangan Kerja, Ahad (20/07/2025).
"Karena memang tidak berdasar pada data,
kapasitas fiskal juga tidak real, terus kemudian juga tidak disertai oleh
instrumen kebijakan yang jelas, ya misalnya skema anggaran, reformasi
ketenagakerjaan, atau program-program pelatihan tenaga kerja," terangnya.
Dr. Yuana mengatakan, pernyataan semacam itu bisa
disebut sebagai manipulasi retoris yang berdampak pada turunnya kredibilitas
institusi negara ini.
"Ya paling tidak menurunkan kepercayaan publik,
kan. Termasuk opini memakzulkan Gibran itu kan di antaranya bukti bahwa
masyarakat tidak percaya pada kredibilitas dia, gitu kan. Publik justru malah
meragukan kejujuran dan kapabilitasnya," sambungnya.
"Jadi sebenarnya janji-janji lapangan kerja sudah
banyak diomongkan oleh rezim ini, bukan hanya lapangan kerja, ada narasi
hilirisasi, narasi ekonomi digital, green jobs, peluang emas bonus
demografi, dan lain sebagainya, tetapi semua itu kan hanya omon-omon saja,”
lugasnya.
Imbuhnya lagi, parahnya retorika kosong itu bergantung
pada asumsi bahwa SDM Indonesia itu sudah siap menyerap peluang-peluang
tersebut, padahal faktanya di lapangan yang konkrit itu sangat kontradiktif.
Bukan tak berdasar, menurutnya, pemangkasan anggaran
turut menyumbang turunnya kualitas SDM.
"APBN 2025 itu memang 20 persen porsi anggaran masih
ada dan ini amanat undang-undang memang. Cuma alokasinya kan terus mengalami
pemangkasan ya. Belanja pendidikan itu bukan untuk pelatihan ketenagakerjaan,
bukan untuk melatih skill , bukan untuk transformasi ketrampilan, tetapi
banyaknya terserap untuk birokrasi saja," paparnya.
Sedangkan mengenai hilirisasi, ia juga mengatakan
bahwa hal itu juga tidak berpotensi menyerap tenaga kerja. “Hal ini dikarenakan
saat ini proses hilirisasi selalu dikuasai oleh oligarki tambang, bukan BUMN
ataupun koperasi,” ulasnya.
"Lihat saja di Morowali dan Konawe, itu kan
proyek hilirisasi nikel. Di sana itu menyerap ribuan tenaga kerja tetapi
mayoritas level tenaga kasar, tenaga rendah, tidak membentuk ekosistem
teknologi lokal, gitu loh. Bahkan isu-isunya justru malah yang banyak kan
tenaga rendah yang dari China" jelasnya.
Tak berbeda jauh dengan program UMKM yang menurutnya
juga bukan solusi penciptaan lapangan kerja, karena tidak didukung oleh sistem
permodalan yang adil bahkan regulasi yang memberatkan.
"Jadi kalau ada festival UMKM itu hanya festival
saja yang sifatnya untuk ditonton, insidental, seremonial saja itu,"
terangnya.
"Karena apa? Sistemnya tadi. Sistemnya memang
tidak berpihak pada UMKM, sistem tidak berpihak pada keadilan, pada pemerataan.
Jadi sistem itu tetap membuat kesenjangan. Ini kan karakter kapitalisme memang
seperti itu," lanjutnya menerangkan.
Berbicara mengenai sistem demokrasi yang saat ini
diterapkan, ia mengatakan secara de jure demokrasi memang berjalan. “Hal
ini terlihat dengan adanya pemilu, kampanye, partai politik. Namun secara de
facto, janji-janji yang disampaikan oleh penguasa hanya janji palsu bahkan
minim tanggung jawab,” sesalnya.
"Pemilu hanya sebagai pencitraan saja, bukan
pertarungan konsep, bukan pertarungan gagasan, bukan memberikan solusi, tetapi
hanya untuk elektabilitas dan elektoral saja,” tandasnya.
Ia menambahkan, pemilu hanya rebutan proyek bahkan
rebutan kekuasaan saja. “Sampai kapan umat ini akan jatuh ke lubang yang sama?
Saatnya umat ini membuka sudut pandangnya dengan sistem Islam, sistem khilafah
yang berbasis akidah, mengedepankan tanggung jawab, karena ini merupakan
amanah," jawabnya.
Ia juga menjelaskan bahwa pemimpin tak harus dipilih
berdasarkan legitimasi suara terbanyak. “Dalam Islam, pemimpin senantiasa
menjalankan amanah berdasarkan visi misi penciptaan,” sebutnya.
Dalam sistem khilafah, lanjutnya, pemimpin itu mengemban
amanah penciptaan, visi misi penciptaan. “Jadi merasa menjalankan ibadah yang
diperintahkan oleh Allah Swt, sehingga pemimpin tidak hanya diaudit secara
politik tetapi dia juga punya tanggung jawab moral dan bertanggung jawab secara
syar'i.
“Pemimpin merasa diawasi Allah Swt. karena nanti akan
dihisab setelah meninggal dunia, bahkan dia siap dimakzulkan jika berkhianat
terhadap hukum syarak, jika syarat-syarat menjadi pemimpin itu tidak dipenuhi.
Dia siap untuk meninggalkan jabatan bukan mempertahankan dengan
retorika-retorika palsu," tandasnya.[] Hima