Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Direktur TEFI: Janji Besar Tanpa Roadmap dan Akuntabel Adalah Manipulasi Publik

Minggu, 27 Juli 2025 | 18:51 WIB Last Updated 2025-07-27T11:51:25Z

Tintasiyasi.ID -- Direktur The Economic Future Institute (TEFI) Dr. Yuana Tri Utomo, S.E.I., M.E.I. mengatakan bahwa menurut teori ekonomi politik, janji besar tanpa roadmap, dan tanpa mekanisme yang akuntabel itu bisa dikategorikan sebagai manipulasi publik.

 

“Menurut teori ekonomi politik, janji besar tanpa roadmap, dan tanpa mekanisme yang akuntabel itu bisa dikategorikan sebagai manipulasi publik,” lugasnya di kanal YouTube Khilafah News bertema Sedang Mencari 19 Juta Lapangan Kerja, Ahad (20/07/2025).

 

"Karena memang tidak berdasar pada data, kapasitas fiskal juga tidak real, terus kemudian juga tidak disertai oleh instrumen kebijakan yang jelas, ya misalnya skema anggaran, reformasi ketenagakerjaan, atau program-program pelatihan tenaga kerja," terangnya.

 

Dr. Yuana mengatakan, pernyataan semacam itu bisa disebut sebagai manipulasi retoris yang berdampak pada turunnya kredibilitas institusi negara ini.

 

"Ya paling tidak menurunkan kepercayaan publik, kan. Termasuk opini memakzulkan Gibran itu kan di antaranya bukti bahwa masyarakat tidak percaya pada kredibilitas dia, gitu kan. Publik justru malah meragukan kejujuran dan kapabilitasnya," sambungnya.

 

"Jadi sebenarnya janji-janji lapangan kerja sudah banyak diomongkan oleh rezim ini, bukan hanya lapangan kerja, ada narasi hilirisasi, narasi ekonomi digital, green jobs, peluang emas bonus demografi, dan lain sebagainya, tetapi semua itu kan hanya omon-omon saja,” lugasnya.

 

Imbuhnya lagi, parahnya retorika kosong itu bergantung pada asumsi bahwa SDM Indonesia itu sudah siap menyerap peluang-peluang tersebut, padahal faktanya di lapangan yang konkrit itu sangat kontradiktif.

 

Bukan tak berdasar, menurutnya, pemangkasan anggaran turut menyumbang turunnya kualitas SDM.

 

"APBN 2025 itu memang 20 persen porsi anggaran masih ada dan ini amanat undang-undang memang. Cuma alokasinya kan terus mengalami pemangkasan ya. Belanja pendidikan itu bukan untuk pelatihan ketenagakerjaan, bukan untuk melatih skill , bukan untuk transformasi ketrampilan, tetapi banyaknya terserap untuk birokrasi saja," paparnya.

 

Sedangkan mengenai hilirisasi, ia juga mengatakan bahwa hal itu juga tidak berpotensi menyerap tenaga kerja. “Hal ini dikarenakan saat ini proses hilirisasi selalu dikuasai oleh oligarki tambang, bukan BUMN ataupun koperasi,” ulasnya.

 

"Lihat saja di Morowali dan Konawe, itu kan proyek hilirisasi nikel. Di sana itu menyerap ribuan tenaga kerja tetapi mayoritas level tenaga kasar, tenaga rendah, tidak membentuk ekosistem teknologi lokal, gitu loh. Bahkan isu-isunya justru malah yang banyak kan tenaga rendah yang dari China" jelasnya.

 

Tak berbeda jauh dengan program UMKM yang menurutnya juga bukan solusi penciptaan lapangan kerja, karena tidak didukung oleh sistem permodalan yang adil bahkan regulasi yang memberatkan.

 

"Jadi kalau ada festival UMKM itu hanya festival saja yang sifatnya untuk ditonton, insidental, seremonial saja itu," terangnya.

 

"Karena apa? Sistemnya tadi. Sistemnya memang tidak berpihak pada UMKM, sistem tidak berpihak pada keadilan, pada pemerataan. Jadi sistem itu tetap membuat kesenjangan. Ini kan karakter kapitalisme memang seperti itu," lanjutnya menerangkan.

 

Berbicara mengenai sistem demokrasi yang saat ini diterapkan, ia mengatakan secara de jure demokrasi memang berjalan. “Hal ini terlihat dengan adanya pemilu, kampanye, partai politik. Namun secara de facto, janji-janji yang disampaikan oleh penguasa hanya janji palsu bahkan minim tanggung jawab,” sesalnya.

 

"Pemilu hanya sebagai pencitraan saja, bukan pertarungan konsep, bukan pertarungan gagasan, bukan memberikan solusi, tetapi hanya untuk elektabilitas dan elektoral saja,” tandasnya.

 

Ia menambahkan, pemilu hanya rebutan proyek bahkan rebutan kekuasaan saja. “Sampai kapan umat ini akan jatuh ke lubang yang sama? Saatnya umat ini membuka sudut pandangnya dengan sistem Islam, sistem khilafah yang berbasis akidah, mengedepankan tanggung jawab, karena ini merupakan amanah," jawabnya.

 

Ia juga menjelaskan bahwa pemimpin tak harus dipilih berdasarkan legitimasi suara terbanyak. “Dalam Islam, pemimpin senantiasa menjalankan amanah berdasarkan visi misi penciptaan,” sebutnya.

 

Dalam sistem khilafah, lanjutnya, pemimpin itu mengemban amanah penciptaan, visi misi penciptaan. “Jadi merasa menjalankan ibadah yang diperintahkan oleh Allah Swt, sehingga pemimpin tidak hanya diaudit secara politik tetapi dia juga punya tanggung jawab moral dan bertanggung jawab secara syar'i.

 

“Pemimpin merasa diawasi Allah Swt. karena nanti akan dihisab setelah meninggal dunia, bahkan dia siap dimakzulkan jika berkhianat terhadap hukum syarak, jika syarat-syarat menjadi pemimpin itu tidak dipenuhi. Dia siap untuk meninggalkan jabatan bukan mempertahankan dengan retorika-retorika palsu," tandasnya.[] Hima

Opini

×
Berita Terbaru Update