Tintasiyasi.ID -- Perhimpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI) melalui Laporan Kebijakan (Policy Brief) Nomor 001 yang diterbitkan pada 01 Agustus 2025, menyoroti minimnya perlindungan yang diterima korban kecelakaan tunggal dalam sistem layanan kesehatan di Indonesia.
“Masih minim perlindungan yang
diterima korban kecelakaan tunggal dalam sistem layanan kesehatan di Indonesia,”
sebut HILMI kepada Tinta Siyasi.ID, Jumat (01/08/2025).
Kelompok seperti pengendara motor
yang jatuh akibat jalan berlubang di malam hari, ujarnya, merupakan pihak yang
paling rentan, namun seringkali kesulitan mendapatkan akses perlindungan.
HILMI menyebut, ketika korban
kecelakaan tunggal datang ke rumah sakit, mereka seringkali ditolak oleh BPJS
Kesehatan karena dianggap sebagai tanggung jawab Jasa Raharja.
“Ironisnya, Jasa Raharja hanya dapat
memberikan santunan jika terdapat bukti formal dari kepolisian, yang sangat
sulit diperoleh, terutama jika kejadian tidak disaksikan, korban sendirian,
atau tidak sempat mendokumentasikan tempat kejadian perkara (TKP). Akibatnya,
korban terpaksa menanggung biaya pengobatan sendiri,” rilis HILMI.
Akar Masalah
Pertama, dualisme
tanggung jawab antara BPJS dan Jasa Raharja tanpa adanya sinkronisasi prosedur
dan kriteria verifikasi.
Kedua, bukti TKP
yang tidak praktis juga menjadi kendala utama, sebab korban yang terluka tidak
mampu mendokumentasikan atau melapor tepat waktu.
Ketiga, tidak
adanya dana darurat alternatif jika klaim asuransi tidak dapat dipenuhi.
Keempat, tidak
adanya skema akuntabilitas infrastruktur publik, padahal kerusakan jalan bisa
menjadi penyebab utama kecelakaan.
Pandangan Islam
HILMI menyitat sabda Rasulullah saw.:
Barang siapa yang memudahkan
kesulitan seorang Muslim, maka Allah akan memudahkannya di dunia dan akhirat. (HR Muslim)
Dari perspektif Islam, HILMI
menegaskan bahwa penguasa adalah pengayom dan pelayan rakyat, bukan penghisab
manfaat.
HILMI mengutip sabda Rasulullah saw.,
"Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai
pertanggungjawaban atas rakyatnya," yang mendasari etika bagi negara
untuk hadir secara aktif melindungi warga yang mengalami musibah di jalan umum,
termasuk korban kecelakaan tunggal yang tidak memiliki daya advokasi diri.
“Situasi ini sebagai uji integritas
sistem sosial, di mana negara tidak boleh abai terhadap warga yang menjadi
korban bukan karena kesalahan mereka, melainkan karena kelalaian kolektif dan
buruknya tata kelola infrastruktur,” beber HILMI.
Rekomendasi Kebijakan
Melihat urgensi permasalahan tersebut,
HILMI merekomendasikan lima kebijakan utama untuk reformasi sistem:
Pertama, sinkronisasi
regulasi BPJS & Jasa Raharja. “Korban dapat diterima dahulu dengan
pembiayaan BPJS darurat, disusul penagihan silang ke Jasa Raharja bila bukti
dikumpulkan belakangan. Tambahkan klausul "pengecualian pelaporan"
jika kondisi darurat,” saran HILMI.
Kedua, digitalisasi
pelaporan kecelakaan dan verifikasi TKP. “Buat aplikasi nasional yang dapat
dipakai korban atau saksi untuk pelaporan kecelakaan (meliputi lokasi GPS,
foto, suara, dan kronologi). Aplikasi ini juga dapat memanfaatkan CCTV dan
kecerdasan buatan (AI) lalu lintas sebagai verifikator independen TKP,” usul
HILMI.
Ketiga, dana
kontinjensi sosial pemerintah daerah (Pemda). “Pemda menyediakan skema
"Biaya Pertolongan Pertama" bagi korban yang tidak memiliki akses
klaim formal,” HILMI menyarankan.
Keempat, reformasi
prosedur rumah sakit. “Petugas rumah sakit perlu dilatih untuk
mendokumentasikan pasien kecelakaan lalu lintas tunggal sebagai data awal
klaim, serta melibatkan Rukun Tetangga (RT), Dinas Perhubungan (Dishub), atau
Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dalam validasi awal kejadian,” advis
HILMI.
Kelima, penegakan
akuntabilitas pemerintah terhadap infrastruktur. “Bangun mekanisme pelaporan
jalan rusak dan kompensasi kepada korban jika terbukti kecelakaan terjadi
karena kelalaian pemeliharaan,” HILMI menganjurkan.
“Sudah saatnya reformasi sistem
dimulai untuk memastikan perlindungan yang layak bagi korban kecelakaan Tunggal,”
tandas HILMI.[] Rere