TintaSiyasi.id -- Hakim Konstitusi periode 2003–2008, Maruarar Siahaan, mengungkapkan keprihatinan atas kondisi peradilan yang dinilainya sudah masuk fase “gawat darurat”. Hal ini ia sampaikan dalam podcast di kanal YouTube Mahfud MD Official (12/5/2025), menanggapi tertangkapnya tiga hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena kasus suap. Dari Januari hingga April 2025, tercatat tujuh hakim terjerat dugaan suap dengan modus mengubah putusan. Data ICW menunjukkan bahwa sejak 2011 hingga 2024, sebanyak 29 hakim telah menjadi tersangka korupsi.
Sepanjang 2025, kasus suap oleh aparat penegak hukum semakin terkuak. Ketua Mahkamah Konstitusi terbukti menerima suap dalam perkara besar. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui operasi tangkap tangan (OTT) menangkap pegawai Mahkamah Agung, advokat, panitera, dan hakim agung. Di PN Jakarta Selatan, seorang hakim diduga menerima suap Rp60 miliar untuk membebaskan korporasi dalam kasus korupsi minyak goreng. Di PN Surabaya, tiga hakim ditangkap karena menerima suap Rp4,67 miliar. Empat hakim dari PN Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat menerima suap Rp22,5 miliar terkait ekspor minyak kelapa mentah (CPO).
Data publikasi ICW (16/4/2025) menyebutkan bahwa total nilai suap yang diterima para hakim mencapai Rp107.999.281.345 (seratus tujuh miliar, sembilan ratus sembilan puluh sembilan juta, dua ratus delapan puluh satu ribu, tiga ratus empat puluh lima rupiah). Fenomena ini menunjukkan kronisnya praktik jual-beli vonis yang merusak independensi peradilan. Vonis dimanipulasi demi keuntungan pribadi, bukan keadilan hukum.
Ketua MA, Sunarto, menyoroti gaya hidup mewah sebagian hakim sebagai faktor pemicu korupsi. Dalam pembinaan hakim di Gedung MA (23/5/2025), ia memperingatkan agar para hakim tidak tergoda hidup mewah dari hasil korupsi. Banyak hakim kini pamer mobil Porsche, tas Louis Vuitton, hingga jam tangan miliaran rupiah, padahal gaji mereka sekitar Rp23–27 juta.
Peneliti Pukat UGM, Zaenurrohman, menilai gaya hidup hedonis menormalisasi budaya suap di lingkungan peradilan. Ketika biaya hidup melampaui penghasilan sah, hakim rentan tergoda uang suap. Hedonisme menjadi pintu masuk korupsi sistemik.
Realitas ini memperkuat fakta bahwa hukum di Indonesia telah dijadikan komoditas. Akibatnya, muncul industri hukum. Vonis tak lagi ditetapkan berdasarkan kebenaran, melainkan negosiasi uang. Hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas. Hanya yang punya uang yang bisa mendapatkan keadilan.
Pandangan ini sejalan dengan pernyataan Prof. Mahfud MD (2020), saat menjabat Menko Polhukam, bahwa hukum kerap dijadikan industri. Proses hukum bisa disesuaikan demi kepentingan tertentu. “Yang salah jadi benar, yang benar dibuat salah,” katanya. Bukti bisa disembunyikan, pasal dipelintir sesuai keinginan.
Jika pengadilan menjadikan hukum sebagai komoditas, harapan rakyat terhadap keadilan akan sirna. Rakyat pun akan kehilangan kepercayaan kepada hukum dan mengambil jalan sendiri melalui main hakim sendiri. Ini sangat berbahaya bagi ketertiban sosial.
Berbagai upaya telah dilakukan Mahkamah Agung untuk menekan praktik korupsi di tubuh peradilan. Ketua MA mengambil langkah-langkah seperti menasihati hakim agar tidak “menjadi setan”, membuat profil hakim yang dicurigai culas, mengejar hakim bermobil mewah, mendorong pelaporan antarsesama hakim, hingga memutasi hampir 200 hakim se-Indonesia.
Namun, semua itu hanya menyentuh permukaan. Tidak adanya nilai transendental—kesadaran hubungan dengan Allah Swt. dan pemahaman tentang halal-haram—menjadi akar masalah utama. Sistem hukum sekuler kapitalisme telah memisahkan agama dari kehidupan. Ini melahirkan aparat hukum yang tak lagi takut pada hukuman akhirat.
Dalam sistem sekuler kapitalisme, hukum diciptakan oleh akal manusia yang lemah dan dapat diintervensi pemilik modal. Hukum dijadikan alat kekuasaan dan disesuaikan untuk melayani kepentingan elite. Mereka memahami celah-celah hukum dan mengeksploitasinya demi keuntungan pribadi.
Berbeda halnya dengan Islam, di mana otoritas hukum hanya milik Allah Swt. Manusia tidak berhak mengubah hukum Allah. Hakim dalam Islam wajib memutus perkara berdasarkan syariat. Sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Māidah ayat 44, 45, dan 47, bahwa orang yang tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah termasuk orang-orang kafir, zalim, dan fasik.
Menurut Wahyudi (2025), seandainya aparat penegak hukum memiliki iman dan takwa, mereka akan takut melakukan pelanggaran, baik yang terbuka maupun yang tersembunyi. Mereka tidak akan tergoda suap karena sadar bahwa itu melanggar perintah Allah. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Allah melaknat pemberi suap, penerima suap, dan perantara antara keduanya.”
(HR. Ibnu Mājah)
Oleh karena itu, solusi nyata dalam membersihkan peradilan dari mafia hukum bukan sekadar perbaikan sistem administratif atau mutasi hakim, tetapi perubahan mendasar pada sistem hukum itu sendiri. Hanya sistem yang bersumber dari wahyu Allah-lah yang dapat menegakkan keadilan sejati, memutus rantai suap, dan menciptakan aparat yang takut kepada Tuhan, bukan hanya kepada lembaga pengawas.
Oleh: Syamsir
Pemerhati Islam Ideologis