TintaSiyasi.id -- Belum lama ini, Satpol PP Kebumen mendapat penghargaan tingkat Jawa Tengah dengan predikat terbaik ketiga dalam kategori penegakan perda (Gakda). Hal ini diraih karena keberhasilan mereka mengamankan 5.989 botol miras. Penghargaan ini diklaim sebagai bagian dari indikator keberhasilan Satpol PP dalam upaya penegakan hukum dengan pendekatan persuasif. Hal ini senada dengan yang disampaikan Juniadi Prasetyo, Kabid Gakda Satpol PP Kebumen (16-05-2025).
Dalam hal ini, upaya dan kinerja Satpol PP dalam pemberantasan miras tentu patut diapresiasi. Akan tetapi, hal itu tetap tidak cukup untuk menghentikan peredaran miras.
Bahaya Miras
Sudah menjadi rahasia umum bahwa bahaya miras terbukti secara medis dan sosial dalam meningkatkan angka kriminalitas. Data World Health Organization (WHO) yang dirilis pada tahun 2018 menyatakan bahwa lebih dari tiga juta kematian setiap tahun terjadi akibat konsumsi alkohol. Selain itu, alkohol juga memengaruhi fungsi otak. Karena itu, konsumsi minuman beralkohol saat berkendara sering kali menjadi penyebab banyaknya kecelakaan lalu lintas. Lebih dari itu, pengaruh alkohol juga meningkatkan angka kriminalitas—misalnya tingginya kasus pembunuhan yang acap kali dilakukan pelaku di bawah pengaruh alkohol.
Kapitalisme Liberal, Biang Masalah Peredaran Miras
Merajalelanya miras tidak lepas dari dampak ekonomi liberal yang diterapkan oleh sistem. Sekalipun telah dibuat banyak regulasi hukum untuk pemberantasan miras, hal ini tidak akan pernah cukup karena kapitalisme meniscayakan legalisasi miras itu sendiri. Di Indonesia, legalisasi keberadaan miras tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 20 Tahun 2014 yang mengatur pengendalian dan pengawasan terhadap pengadaan, peredaran, dan penjualan minuman beralkohol.
Selain itu, adalah hal yang wajar dalam sistem kapitalisme bila miras terus beredar di tengah masyarakat selama permintaan terhadap miras masih ada. Sebab, sistem kapitalisme dengan ekonomi liberalnya memiliki kaidah: “Di mana ada permintaan, di sana ada penawaran.” Maka, wajar jika para pengusaha dan penguasa saling berkolaborasi untuk mendapatkan keuntungan, baik dalam bentuk laba penjualan bagi pengusaha maupun pendapatan pajak untuk penguasa. Karena itu, distribusi miras tetap masif, terutama di kawasan wisata untuk menarik wisatawan asing.
Dengan demikian, sekalipun dilakukan berbagai upaya pemberantasan, jika negara masih melegalkan miras, maka upaya tersebut tidak akan pernah cukup.
Islam Solusi Tuntas Berantas Miras
Dibutuhkan solusi tuntas untuk menghentikan peredaran miras di tengah masyarakat, karena miras adalah barang haram yang wajib diberantas. Islam memiliki hukum tegas dalam penyelesaiannya.
Allah Swt. berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.” (QS. Al-Ma'idah [5]: 90)
Rasulullah Saw. bersabda:
“Allah melaknat khamr, peminumnya, penuangnya, penjualnya, pembelinya, pemerasnya, orang yang mengambil hasil (keuntungan) dari perasannya, pengantarnya, dan orang yang meminta diantarkan.”
(HR. Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah)
Islam memiliki standar halal dan haram yang bersifat pasti untuk menentukan baik dan buruk. Dan keharaman miras dalam Islam adalah jelas. Maka, Islam memiliki regulasi dan sanksi tegas dalam pemberantasannya.
Pertama, negara dalam Islam—yakni Khilafah—memiliki tugas dan kewajiban untuk menyejahterakan rakyat serta menerapkan seluruh hukum syarak di tengah masyarakat. Negara bertanggung jawab dalam memberikan akses terhadap kebutuhan pangan halal bagi seluruh lapisan masyarakat daulah.
Kedua, negara wajib membina keimanan dan ketakwaan setiap individu, baik penguasa maupun masyarakat sipil, melalui sistem pendidikan berbasis akidah Islam. Sistem ini akan melahirkan syakhsiyah islamiyah (kepribadian Islam) sebagai upaya pencegahan dari perbuatan maksiat.
Ketiga, negara dalam Islam memiliki sanksi tegas bagi pelaku maksiat, termasuk peminum khamr, sebagaimana termaktub dalam hadis:
“Rasulullah Saw. mencambuk peminum khamr sebanyak 40 kali. Abu Bakar juga 40 kali. Sedangkan Usman 80 kali. Semuanya sunah. Namun yang ini (80 kali) lebih aku sukai.”
(HR. Muslim)
Selain peminum khamr, negara juga akan memberlakukan hukum ta'zir, yaitu hukuman yang ditetapkan oleh khalifah berdasarkan syariat Islam.
Terakhir, Khilafah menerapkan sistem ekonomi Islam yang pengelolaannya melalui baitulmal demi kesejahteraan umat.
Jelas bahwa sistem kehidupan Islam diperlukan untuk menyelesaikan berbagai problematika kehidupan, termasuk pemberantasan miras—bukan demi penghargaan semata, tetapi karena dorongan ketakwaan. Wallahu a‘lam.
Oleh: Lulita Rima Fatimah
(Aktivis Muslimah)