Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Terlambat dalam Shalat, Terlambat Menjumpai Cinta-Nya

Kamis, 19 Juni 2025 | 09:24 WIB Last Updated 2025-06-19T02:24:45Z

TintaSiyasi.id -- Renungan Spiritual tentang Kedekatan Hamba dengan Allah
Di antara karunia terbesar dalam hidup seorang mukmin adalah kesempatan untuk berjumpa dengan Allah dalam shalat. Ia bukan sekadar ritual lima waktu, tetapi merupakan puncak komunikasi ruhani, pertemuan penuh cinta, dan detik-detik paling suci di mana seorang hamba bisa menyatu dengan Rabb-nya.

Namun, betapa sering karunia itu kita tunda. Betapa sering azan hanya menjadi latar suara di kejauhan, dan shalat dianggap beban yang bisa ditunda-tunda. Padahal, menunda pertemuan dengan Sang Pencipta adalah pertanda bahwa cinta kita kepada-Nya belum sepenuh jiwa.

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Fathur Rabbani memberi peringatan tegas:
"Jika kalian berlambat-lambat untuk sholat, terputuslah sholat kalian dengan Allah Azza wa Jalla."
(Nasihat Al-Jailani dalam Fathur Rabbani).

Dan beliau mendukungnya dengan sabda Rasulullah ﷺ:
“Keadaan paling dekat seorang hamba dengan Tuhannya adalah saat ia bersujud.”
(HR. Muslim).

Shalat: Titik Kedekatan yang Tidak Tertandingi
Mengapa shalat begitu penting? Karena di sanalah letak puncak kedekatan ruhani, sebagaimana sabda Nabi. Dalam sujud, manusia merendah serendah-rendahnya di hadapan Allah, dan justru saat itulah ia berada setinggi-tingginya dalam derajat kehambaan.

Namun, ketika shalat dilambat-lambatkan, ditunda, dilakukan di ujung waktu atau bahkan tergesa-gesa seperti sekadar rutinitas kosong, maka, ruh dari shalat itu hilang. Bukan sekadar kehilangan pahala, tetapi terputusnya hubungan dengan Allah Azza wa Jalla, sebagaimana diingatkan oleh Al-Jailani.

Apakah kita rela kehilangan momen terindah dalam sehari hanya karena urusan dunia yang fana?

Sikap Kita Terhadap Shalat, Adalah Cermin Cinta Kita kepada Allah
Bayangkan dua orang yang saling mencintai. Jika salah satunya mengulur-ulur waktu bertemu, acuh saat diajak bicara atau bahkan hanya hadir secara fisik tanpa hati, mungkinkah cinta itu benar-benar tulus?

Begitu pula dengan Allah. Shalat bukan sekadar “perintah wajib”, tetapi undangan cinta dari Dzat yang menciptakan kita, merawat kita, dan menunggu kita kembali kepada-Nya lima kali sehari. Setiap azan adalah panggilan kasih: “Marilah menuju keberuntungan.”

Namun, jika kita menundanya, bahkan lebih memilih melanjutkan pekerjaan atau urusan dunia, itu adalah sinyal bahwa hati kita belum merasa cukup dengan Allah. Dan dari situlah kelengahan lahir, hati mulai kering, jiwa mulai gelisah, dan cahaya mulai redup.

Sujud: Saat Jiwa Bertemu Kekasihnya

Rasulullah ﷺ menyatakan bahwa sujud adalah momen paling dekat seorang hamba dengan Tuhannya. Dalam sujud, kita tak butuh kata-kata indah, cukup air mata dan kerendahan hati. Karena Allah melihat keikhlasan, bukan kefasihan.

Sujud adalah bahasa cinta yang paling jujur.

Dan tidak ada tempat di dunia yang lebih suci daripada tempat sujud seorang hamba yang hatinya penuh kerinduan pada Rabb-nya. Maka, jangan terburu-buru dalam sujud. Panjangkan doamu. Biarkan hatimu tenggelam dalam rasa cinta. Itulah puncak dari semua penghambaan.

Tepat Waktu: Disiplin Ruhani yang Menentukan Kedekatan

Shalat pada waktunya adalah simbol kedisiplinan jiwa, bukti bahwa kita menjadikan Allah sebagai prioritas utama. Itulah sebabnya para salafush shalih begitu menjaga waktu shalat. Bukan hanya karena takut dosa, tetapi karena mereka rindu kepada-Nya.

Dalam kitab-kitab para wali, disebutkan bahwa tanda-tanda orang yang dekat dengan Allah adalah:
• Segera menjawab panggilan shalat
• Merasa rugi jika kehilangan satu rakaat di awal waktu
• Menikmati sujud lebih dari menikmati dunia
Mereka menjadikan shalat bukan sekadar kewajiban, tetapi tempat berlindung dari dunia.

Shalat yang Ditinggal Ruhnya

Hari ini banyak yang shalat, tetapi tak merasa dekat dengan Allah. Ini karena shalatnya kehilangan ruh, sebabnya bisa karena tergesa-gesa, lalai dalam waktu, tidak khusyuk atau dilakukan sebagai kebiasaan kering. Jika ingin shalat kita benar-benar menjadi mi’raj ruhani, maka jangan hanya datang di waktu terakhir, jangan hadir hanya jasadnya, dan jangan biarkan hati terus mengembara ke urusan dunia saat berdiri di hadapan Rabbul ‘Alamin.

Kesimpulan: Kembali pada Janji Cinta

Jika saat ini kita masih suka menunda shalat, masih merasa berat untuk berdiri di hadapan-Nya, maka jangan tunggu sampai Allah benar-benar menjauhkan hati kita dari-Nya. Jangan biarkan cinta itu padam hanya karena kita menunda pertemuan.
Ingatlah, yang kita tunda bukan sekadar aktivitas ibadah, tetapi pertemuan dengan Kekasih Sejati, Allah Azza wa Jalla.

Mari kita mulai lagi. Tepat waktu, dengan hati, dengan cinta, dan dengan rasa rindu.

“Ya Allah, karuniakan kami hati yang selalu rindu pada-Mu, kaki yang ringan melangkah menuju-Mu, dan sujud yang panjang dalam dekapan cinta-Mu.”

Dr. Nasrul Syarif M.Si.  
Penulis Buku Gizi Spiritual. Dosen Pascasarjana  UIT Lirboyo

Opini

×
Berita Terbaru Update