Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Pernikahan Anak: Antara Hukum, Budaya, dan Krisis Moral Bangsa

Kamis, 19 Juni 2025 | 15:14 WIB Last Updated 2025-06-19T08:14:35Z

1. Polemik di Lombok Tengah: Hukum dan Budaya Berbenturan

TintaSiyasi.id -- Kasus pernikahan anak di Lombok Tengah yang berujung pada pelaporan ke pihak berwajib mencerminkan benturan antara norma budaya lokal dengan sistem hukum nasional. Di satu sisi, masyarakat memiliki tradisi tersendiri terkait pernikahan, yang kadang dipengaruhi faktor adat, ekonomi, bahkan ketakutan terhadap pergaulan bebas. Di sisi lain, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 telah menegaskan batas usia minimal perkawinan adalah 19 tahun baik bagi laki-laki maupun perempuan.

Dari kacamata hukum, pernikahan anak termasuk dalam kategori pelanggaran yang dapat berdampak serius, bahkan masuk dalam ranah eksploitasi seksual terhadap anak. Namun, penegakan hukum semata tanpa pendekatan kultural dan edukatif justru dapat memicu resistensi dan krisis kepercayaan terhadap negara.

Solusi hukum harus seimbang dengan pendekatan sosial dan budaya yang mencakup:

Edukasi masyarakat tentang hak-hak anak,

Penyuluhan agama yang menyentuh akar persoalan,

Keterlibatan tokoh adat dan agama untuk mendorong transformasi budaya menuju perlindungan anak tanpa meninggalkan kearifan lokal.

2. Apakah Hukum adalah Solusi Final?
Hukum berperan sebagai pagar pelindung nilai dan hak anak. Namun, dalam realitas sosial, hukum tidak bisa bekerja sendirian. Kasus pernikahan anak berkaitan erat dengan sejumlah persoalan yang saling terkait:

Kemiskinan dan rendahnya pendidikan,

Ketakutan terhadap pergaulan bebas,

Tradisi patriarki dan dominasi adat,

Lemahnya kontrol sosial dan pengawasan orang tua.

Tanpa reformasi sosial dan moral, hukum hanya akan menjadi alat represi yang membungkam gejala tanpa menyentuh akar masalah.

3. Kontradiksi Kebijakan: Tolak Nikah Anak, Tapi Bebaskan Seks Bebas?
Inilah ironi besar kebijakan modern: di satu sisi negara menolak pernikahan dini, namun di sisi lain membiarkan bahkan memfasilitasi maraknya pornografi dan seks bebas. Misalnya:

Akses konten pornografi yang semakin mudah,

Aplikasi kencan yang menyasar remaja,

Wacana pendidikan seks yang liberal tanpa berbasis nilai agama,

Kurikulum nasional yang lemah dalam kontrol moral dan spiritual.

Pertanyaannya: apakah negara lebih takut terhadap pernikahan dini yang sah secara agama, dibanding seks bebas yang justru nyata merusak masa depan generasi?

4. Akar Ideologis: Sekularisme dan Liberalisme
Jawaban atas kebingungan arah kebijakan ini berakar pada ideologi yang mendasarinya. Sekularisme telah mencabut peran agama dari kebijakan publik dan sistem pendidikan. Sementara liberalisme menjadikan kebebasan individu sebagai nilai tertinggi, termasuk dalam hal seksualitas.

Dampaknya sangat nyata:

Seks bebas dianggap hak pribadi, bukan pelanggaran moral.

Nikah dini dianggap pelanggaran hukum, meskipun diniatkan untuk mencegah zina.

Negara lebih gencar mendorong edukasi seks daripada edukasi nikah islami.

Padahal, dalam Islam, pernikahan adalah ibadah suci dan solusi untuk menjaga kemuliaan akhlak.

5. Islam: Menikah Adalah Perlindungan, Bukan Pelanggaran
Islam tidak menetapkan usia mutlak untuk pernikahan, tetapi menekankan kesiapan fisik, psikologis, dan kematangan akhlak. Tujuan utamanya adalah menjaga kehormatan, menghindari zina, dan membentuk keluarga sakinah.

Rasulullah SAW bersabda:

“Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian mampu menikah, maka menikahlah. Karena sesungguhnya menikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam konteks modern, solusi bukanlah larangan mutlak, tapi:

Bimbingan pra-nikah yang komprehensif,

Pendampingan pendidikan bagi pasangan muda,

Jaminan hak pendidikan tetap berjalan pasca menikah,

Peneguhan nilai-nilai tanggung jawab dan akhlak.

6. Penutup: Menuju Solusi Islami dan Humanis
Kita membutuhkan pendekatan yang seimbang dan beradab: hukum yang melindungi, budaya yang mendidik, dan agama yang menuntun.

Langkah bijak yang perlu diambil:

Tegakkan hukum demi perlindungan anak, tanpa mematikan solusi syar’i berupa pernikahan yang sah dan bertanggung jawab.

Perkuat pendidikan karakter dan spiritual agar anak tidak terjerumus pergaulan bebas.

Aktifkan kembali peran keluarga dan masyarakat sebagai benteng moral anak-anak.

Tinjau ulang arah kebijakan negara yang terjebak dalam ideologi liberal sekular yang menormalisasi kebebasan seksual tanpa tanggung jawab.

“Jika zina dilegalkan, maka pernikahan dimusuhi. Jika aurat dipamerkan, maka adab dicemooh. Jika agama disingkirkan, maka kehancuran tinggal menunggu waktu.”

Dr. Nasrul Syarif, M.Si. (Pakar Sosial Keislaman dan Pemerhati Generasi Muda)

Opini

×
Berita Terbaru Update