TintaSiyasi.id -- Secara fitrah, seorang ibu tentu memiliki kasih sayang yang tidak terhingga bagi anak-anaknya. Sebagaimana ungkapan, kasih ibu tak terhingga sepanjang masa. Begitu pun ayah, seseorang yang selalu siap menjadi tameng bagi keluarga, mendidik, dan melindungi seluruh anggota keluarganya. Dari sini tergambar bahwa orang tua akan rela berkorban dan berjuang demi kebaikan anak-anaknya. Tentu menjadi suatu hal yang abnormal apabila terbesit dalam diri orang tua untuk menyakiti, menganiaya, apalagi sampai membunuh buah hatinya.
Terlebih lagi dalam Islam, anak adalah amanah yang harus dijaga dan kelak akan dimintai pertanggungjawaban perihal cara pengurusannya. Namun, sungguh ironi. Di negara Indonesia, negara dengan penduduk mayoritas Islam, dijumpai banyak sekali kasus kekerasan terhadap anak dengan motif yang tidak pernah terbayangkan sekalipun. Parahnya, kasus-kasus kekerasan terhadap anak yang ditemukan bukan hanya kekerasan fisik, tetapi juga sampai pada kekerasan seksual. Pelakunya juga bukan hanya dari pihak luar, melainkan dari anggota keluarga sendiri, misalnya seperti kasus inses oleh anggota keluarga, dan seperti beberapa kasus berikut ini.
Dikutip dari kompas.com, di Riau telah ditemukan suami istri menyiksa bayi berusia 2 tahun hanya karena rewel. Kejadian ini berawal dari teman (ibu kandung korban) yang menitipkan buah hatinya kepada sepasang suami istri dengan tujuan untuk memancing kehamilan pada pernikahan pasutri ini. Bagaikan tidak memiliki hati nurani, akibat bayi yang dititipkan rewel, sang suami menyiksa bayi tersebut hingga tewas, sementara istrinya merekam aksi biadab yang dilakukan suaminya sambil tertawa.
Penganiayaan terhadap anak juga terjadi di kawasan Pasar Kebayoran Lama belum lama ini (Rabu, 11/6/2025). Anak berinisial M tidak hanya dianiaya oleh kedua orang tuanya, melainkan juga ditelantarkan oleh ayahnya di Pasar Kebayoran Lama dalam keadaan sang anak berada di atas kardus dan tertidur di lorong pasar. Akhirnya anak tersebut dibawa ke RS Polri Kramat Jati untuk menjalani perawatan intensif, sementara ayahnya tengah diburu oleh pihak kepolisian (Tirto.id, 13/06/2025).
Kedua kasus kekerasan atau penganiayaan terhadap anak di atas merupakan sedikit dari banyaknya kasus yang terjadi dalam kehidupan saat ini. Tidak menutup kemungkinan akan ditemukan lebih banyak kasus kekerasan terhadap anak yang belum terungkap. Lagi-lagi, kondisi ekonomi menjadi faktor penyebab tertinggi, diikuti faktor-faktor lainnya, seperti emosi yang tidak terkendali, lemahnya iman, dan pemahaman akan fungsi serta peran sebagai orang tua.
Namun, faktor-faktor tersebut baru muncul ketika kehidupan ini diatur oleh sistem sekular-kapitalis. Sistem sekular merupakan sistem yang memisahkan agama dari kehidupan, sementara sistem turunan dari sekularisme, yaitu kapitalisme, merupakan sistem yang menempatkan keuntungan dan kepuasan materi di atas segalanya. Sistem ini berhasil membentuk pemahaman pada setiap individu bahwa anak tidak lagi dianggap sebagai amanah yang harus dijaga dan bahwa mengurusnya merupakan aktivitas yang mulia, melainkan sebagai aset investasi untuk masa depan orang tua. Dalam arti lain, jika anak tidak tumbuh sesuai ekspektasi orang tua, maka mengurusnya dianggap sebagai beban. Bahkan, terdapat sebagian masyarakat yang memutuskan untuk tidak memiliki anak akibat pemahaman yang salah ini.
Sistem ini pula menciptakan lingkungan yang tidak sehat. Banyak sekali penayangan konten kekerasan dan tidak senonoh yang berkeliaran di berbagai media. Hal ini disebabkan karena negara dalam sistem kapitalis akan tetap mengizinkan penayangan konten, bahkan film yang mengandung unsur kekerasan atau seksual sekalipun, selama penayangannya dapat memberikan keuntungan bagi negara. Negara seolah-olah mengabaikan salah satu faktor pemicu kekerasan pada anak berupa faktor lingkungan dan media. Tidak hanya itu, sistem sekular-kapitalis juga dapat menghilangkan sikap peduli di antara masyarakat, sehingga memudahkan terjadinya kekerasan pada anak.
Meski di Indonesia telah diberlakukan regulasi/undang-undang terkait perlindungan anak, negara belum mampu menjamin kehidupan yang aman bagi anak. Sebaliknya, kasus kekerasan terhadap anak semakin sering bermunculan dengan versi yang lebih parah, tidak manusiawi, bahkan tidak masuk akal. Hal ini membuktikan bahwa sistem yang diemban negara pada saat ini tidak mampu menyelesaikan permasalahan apa pun, termasuk masalah keluarga, justru terbukti menambah masalah baru seperti semakin banyak bermunculan figur orang tua yang sadis.
Saatnya kembali pada sistem Islam yang memiliki solusi tuntas untuk semua masalah, termasuk keluarga. Sehingga, permasalahan apa pun dapat terselesaikan sampai pada akar-akarnya, bukan hanya sebatas permukaan atau sebatas masalah cabangnya saja. Dalam sistem Islam, negara harus menerapkan aturan Islam di seluruh aspek kehidupan, baik itu ekonomi, pendidikan, kesehatan, politik, maupun aspek kehidupan lainnya. Melalui sistem ini, negara akan mengedukasi rakyatnya terkait fungsi dan peran keluarga yang sesungguhnya.
Dengan menerapkan sistem ekonomi Islam, mudah saja bagi negara mengurus dan memenuhi seluruh kebutuhan dasar rakyatnya, seperti menyediakan pendidikan Islam yang berkualitas secara gratis. Pendidikan ini bertujuan mencetak anak didik yang memiliki kepribadian Islam, sehingga terciptalah generasi yang kokoh keimanannya, bertakwa, dan memiliki kekuatan mental, serta mengetahui peranannya di dunia sebagai hamba Allah. Kepribadian Islam akan mendorong mereka untuk melaksanakan perannya secara optimal sesuai ajaran Islam, sebab mereka yakin kelak akan dimintai pertanggungjawaban atas peran, tanggung jawab, dan amanah yang diberikan kepada mereka selama di dunia.
Dalam sistem Islam, negara juga wajib menyaring setiap konten yang akan ditayangkan. Tentunya, hanya konten yang menguatkan keimanan atau mengandung kebaikan saja yang akan diizinkan untuk tayang. Sedangkan negara akan melarang penayangan konten-konten yang tidak pantas dan tidak bermanfaat, serta memberikan hukuman yang tegas bagi pembuat dan penyebar konten-konten yang tidak senonoh. Sehingga dari sini, negara mampu menciptakan lingkungan yang sehat dan melenyapkan berbagai faktor pemicu kekerasan pada anak.
Oleh: Sabila Herianti
Aktivis Muslimah