TintaSiyasi.id -- Umat Islam di seluruh dunia bersuka cita merayakan Hari Raya Iduladha. Iduladha merupakan hari raya besar yang menjadi bagian dari rangkaian ibadah haji. Hari yang dikenal juga sebagai Hari Raya Kurban ini tidak hanya dirayakan oleh mereka yang sedang menunaikan ibadah haji di Tanah Suci, tetapi juga oleh umat Islam di seluruh penjuru dunia.
Iduladha diperingati sehari setelah puncak ibadah haji, yaitu wukuf di Arafah. Momentum ini memiliki makna historis dan spiritual yang sangat mendalam bagi umat Islam karena berkaitan langsung dengan kisah Nabi Ibrahim a.s. dan putranya, Ismail a.s. Ketika Allah Swt. memerintahkan Nabi Ibrahim untuk menyembelih anaknya, beliau tidak ragu dan tidak tawar-menawar dalam melaksanakannya. Meski perintah tersebut menjadi ujian yang sangat berat baginya, beliau tetap taat secara total memenuhi seruan-Nya. Begitu juga dengan kesabaran Ismail dalam menjalankan perintah Allah kepada ayahnya. Ketaatan Nabi Ibrahim dan Ismail inilah yang kemudian menjadi simbol dari sebuah ketaatan total seorang hamba kepada Rabb-nya.
Suatu hal yang penting bagi umat Islam adalah memahami esensi dari momentum Iduladha ini, sehingga umat tidak berhenti pada dimensi simbolik ibadah kurban semata. Iduladha seharusnya menjadi momentum reflektif untuk menggali dan menghayati kembali makna ketaatan total—ketaatan yang harus diwujudkan tidak hanya terbatas pada ibadah ritual, tetapi juga meliputi seluruh aspek kehidupan. Hal ini karena Islam bukan sekadar agama yang mengatur hubungan spiritual antara hamba dan Tuhan, melainkan sistem hidup yang paripurna, yang mengatur akidah, ibadah, muamalah, hukum, ekonomi, politik, sosial, dan budaya.
Sayangnya, jika kita cermati kondisi umat Islam saat ini, mereka sangat jauh dari ajaran Islam. Ajaran Islam cenderung hanya dijalankan dalam lingkup individu, yaitu akidah dan ibadah. Namun, dalam aspek kehidupan publik seperti sosial, hukum, ekonomi, dan politik, sistem yang digunakan bukanlah sistem Islam, melainkan sistem kapitalisme sekuler. Sistem ini memisahkan agama dari kehidupan, sehingga menjadikan Islam tidak lebih dari sekadar agama ritual.
Kita dapat menyaksikan berbagai fakta tidak diterapkannya Islam dalam kehidupan saat ini. Dalam sosial, kehidupan masyarakat sangat liberal, yang menormalisasi perilaku menyimpang dari aturan Islam seperti budaya pacaran atau pergaulan bebas, gaya hidup hedonis dan konsumtif. Dalam ekonomi, terlihat praktik riba, monopoli, eksploitasi sumber daya alam, serta ketidakadilan dalam distribusi kekayaan. Begitu juga dalam politik, kepemimpinan kerap dijalankan tanpa berlandaskan nilai-nilai Islam, melainkan demi kepentingan golongan dan kekuasaan. Hukum yang berlaku pun mengacu pada hukum buatan manusia, bukan pada hukum syariah yang berasal dari Allah.
Jelaslah bahwa umat Islam saat ini tidak menerapkan ajaran Islam secara menyeluruh dalam kehidupan mereka. Hal ini memberikan dampak buruk langsung pada kondisi umat secara keseluruhan, seperti maraknya kezaliman, kemiskinan struktural, krisis moral, dan lemahnya peran umat Islam dalam percaturan global. Padahal sejarah mencatat bahwa kejayaan umat Islam terwujud ketika Islam diterapkan secara kaffah (menyeluruh) dalam seluruh aspek kehidupan, sebagaimana yang terjadi pada masa Kekhilafahan Islam.
Oleh: Sri Mellia Marinda
Aktivis Muslimah