TintaSiyasi.id -- Sengketa pulau baru-baru ini ternyata bukan yang pertama kali terjadi. Setidaknya ada 43 pulau di Indonesia yang berada dalam persengketaan, baik antar kabupaten maupun antar provinsi.
Apabila kita cermati, mencuatnya persoalan sengketa pulau bisa jadi disebabkan karena adanya ketidakjelasan batas wilayah perairan antara satu daerah dan daerah yang lain. Hal inilah yang memicu konflik di berbagai daerah. Ditambah dengan adanya status otonomi daerah (otda), ruang persengketaan semakin terbuka lebar karena ada kepentingan ekonomi yang melatar belakanginya. Dari sinilah kita bisa memahami, mengapa ada begitu banyak keributan untuk mendapatkan klaim kepemilikan atas suatu pulau tertentu.
Memiliki tambahan pulau sama dengan memiliki tambahan sumber daya alam (SDA), sedangkan potensi SDA yang bertambah sama dengan menambah potensi pendapatan daerah. Harapannya, kekayaan alam yang tersedia dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan daerah. Wajar, jika hari ini semakin banyak daerah yang berusaha mengklaim kepemilikan pulau demi kepentingan ekonominya.
Diakui atau tidak, konsep otda ini dapat menciptakan kesenjangan ekonomi dan kecemburuan sosial antara satu daerah dengan daerah yang lain. Daerah yang kaya SDA akan menikmati pendapatan asli daerah (PAD) yang tinggi, sementara yang lain tidak. Kesenjangan inilah yang akhirnya memicu konflik sengketa pulau, hingga menimbulkan ancaman disintegrasi.
Sungguh, kasus sengketa pulau yang kini menjadi polemik merupakan problem sistemik hasil dari penerapan sistem kapitalisme sekuler. Buktinya, kasus sengketa pulau tidak hanya ada satu atau dua kasus saja. Jumlahnya semakin hari semakin banyak. Ini menjadi bukti bahwa kasus sengketa pulau bukan problem yang kasuistik, melainkan problem sistemik.
Dulu, pada masa penjajahan Belanda, desentralisasi (otda) dilakukan dengan memanfaatkan penguasa lokal sebagai komprador untuk menjalankan pemerintahan Belanda di daerah. Namun, tujuan desentralisasi tersebut bukanlah untuk kepentingan atau kesejahteraan rakyat pribumi, melainkan untuk memperkuat kendali Belanda atas wilayah jajahannya.
Kini, kebijakan desentralisasi warisan Belanda itu terus ada berkat demokrasi yang mengembangkannya melalui berbagai undang-undang dan amandemen UUD 1945. Meskipun penjajahan Belanda telah lama usai dan aktivitas penjajahan secara fisik tidak lagi ada, namun penjajahan terus terjadi. Pasalnya, meskipun zaman telah berubah, tapi watak penjajah tidak pernah berubah. Demikianlah karakter dasar kapitalisme yang selalu menjajah. Dengan menggunakan kekuasaan dan undang-undang, kapitalisme mengeruk kekayaan alam kemudian menjadikannya milik segelintir orang. Hal ini berbeda dengan sistem pemerintahan dalam Islam.
Islam adalah agama yang sempurna yang diturunkan Allah Swt. kepada seluruh umat manusia. Islam memiliki seperangkat aturan yakni syariat Islam yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Karena itulah, Islam sebagai sistem kehidupan, jika diterapkan secara kaffah oleh negara, akan menjadi solusi atas seluruh problematika umat, termasuk dalam problem sengketa pulau yang terjadi hari ini.
Islam telah mensyariatkan adanya pemimpin atau imam yang disebut khalifah. Khalifah sebagai kepala negara memegang kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan dan kepemimpinan. Keputusan khalifah berlaku bagi seluruh warga negara di seluruh wilayah Daulah Islamiyah (negara Islam). Sifat pemerintahan yang sentralistik ini, akan meminimalisir kekuasaan raja-raja kecil di dalam wilayah negara.
Dalam kitab Nidhamul Hukmi Fil Islam, (Taqiyuddin An Nabhani dan Abdul Qadim Zallum) disebutkan bahwa salah satu wewenang khalifah adalah mengadopsi hukum-hukum syarak, yang dengan itu khalifah menyusun anggaran pendapatan dan belanja negara sekaligus menentukan rinciannya, berikut pengeluaran yang diperlukan untuk masing-masing pos, baik yang berkaitan dengan pemasukan maupun pengeluaran. Sementara itu, jabatan wali yang setara dengan gubernur, berfungsi sebagai wakil khalifah yang diutus untuk suatu wilayah tertentu. Mereka memiliki wewenang yang sama seperti khalifah yakni untuk menegakkan syariat Islam di wilayahnya, kecuali urusan harta, peradilan dan militer.
Adapun SDA dalam pandangan Islam termasuk harta kepemilikan umum. Harta milik umum, harus dikelola negara untuk dikembalikan kepada rakyat. Negara bertanggung jawab untuk melakukan distribusi kekayaan secara adil dan merata kepada seluruh individu rakyat. Negara wajib bersikap adil dan bijaksana dalam mengurus rakyatnya tanpa memandang batas-batas wilayah antara satu daerah dengan daerah yang lain. Karena pandangan Islam terhadap kaum Muslim adalah pandangan yang sama, maka kebutuhan dasar seluruh warga dipandang sebagai satu hal yang integral yang wajib dipenuhi oleh negara sampai pada level individu.
Dengan demikian, kasus sengketa pulau tidak akan terjadi dalam negara Islam. Pasalnya, setiap daerah tidak perlu berlomba untuk menjadi daerah kaya, karena kesejahteraan daerah menjadi tanggung jawab negara. Semua wilayah dalam negara Islam diperlakukan sama dalam distribusi kekayaan dan mendapatkan hak riayah yang sama, sehingga tidak membutuhkan klaim atas kepemilikan pulau atau SDA. Pemahaman yang benar terhadap konsep kepemilikan akan menutup celah penguasaan SDA oleh individu atau perusahaan. Hal ini akan menutup pintu kecemburuan dan kesenjangan sosial dalam masyarakat. Wallahu a’lam. []
Oleh: Desy Noor Wulandari
Aktivis Muslimah