TintaSiyasi.id -- Salah satu bentuk perang pemikiran (ghazwul fikr) yang ditanamkan oleh penjajah Barat adalah nasionalisme. Ide berbahaya yang mereka sebarkan ke dunia Islam. Paham ini mengajarkan umat agar mencintai bangsa dan negaranya masing-masing bukan lagi mencintai Islam dan umat secara keseluruhan.
Gerakan Global March to Gaza diluncurkan oleh koalisi internasional sipil yang dikenal sebagai International Coalition Against the Israeli Occupation, yang dipimpin oleh aktivis Palestina-Spanyol, Saif Abukeshek. Pada 12 Juni 2025 ribuan orang berkumpul di Kairo dan berangkat menuju batas Rafah, mengekspresikan semangat solidaritas kemanusiaan, dengan hasil pada 15 Juni 2025 aktivisme damai di perbatasan Rafah.
Pemerintah Mesir telah mengusir lebih dari 30 aktivis yang berencana ikut serta dalam Global March to Gaza, sebuah aksi damai menentang blokade yang diberlakukan oleh Israel di Gaza. Mereka ditangkap di hotel dan di Bandara Internasional Kairo karena dianggap tidak memiliki izin resmi dari Global. Di samping itu, 170 orang ditahan saat mendaftar dan berkumpul di Kairo. (Kompas.Tv, 12/06/2025)
Ali, seorang aktivis menyatakan bahwa Global March to Gaza adalah perpanjangan dari sejumlah aksi kemanusiaan yang telah dilakukan sebelumnya, termasuk misi kapal Madleen yang terhenti di tengah lautan. Dia berpendapat bahwa penutupan Gerbang Rafah oleh pihak Mesir sebenarnya telah memicu kesadaran dunia, dan mengutuk keras tindakan penahanan serta pengusiran para peserta konvoi. Menurutnya, jika mereka yang hanya membawa air dan obat-obatan saja diusir, hal ini menandakan betapa rendahnya nilai-nilai kemanusiaan saat ini. Ali menekankan bahwa aksi ini merupakan momen penting dalam sejarah diplomasi kemanusiaan di tingkat global. “Setelah suara dari lautan, kini tanah pun bersuara,” jelasnya, menegaskan bahwa perjuangan ini tidak akan terhenti sampai Palestina merdeka (Republika.co.id, 16/06/2025).
Ungkapan dukungan masyarakat terhadap Palestina masih tampak dalam pelaksanaan aksi solidaritas gerakan Global March to Gaza di area Bundaran Hotel Indonesia, jalan MH Thamrin, Jakarta. (Liputan6.com, 15/06/2025)
Gerakan Global March To Gaza (GMTA) menggambarkan sikap kemarahan yang luar biasa dari masyarakat. Ini menunjukkan bahwa harapan kepada lembaga internasional dan para pemimpin saat ini sudah tidak ada lagi. Ketidakmampuan mereka untuk melintasi batas Raffah justru mempertegas bahwa tindakan kemanusiaan apapun takkan mampu memecahkan persoalan Gaza, karena ada penghalang utama yang telah dibangun oleh penjajah di negara-negara Muslim, yaitu nasionalisme dan pemikiran tentang negara bangsa.
Pemahaman ini telah mematikan nurani para pemimpin Muslim dan angkatan bersenjata mereka, sehingga rela membiarkan sesama mereka dibunuh di depan mata sendiri bahkan ikut melindungi kepentingan para pelaku pembantaian hanya untuk memperoleh ridha dari negara superpower yang menjadi sandaran kekuasaan mereka, yaitu Amerika. Kaum Muslim perlu menyadari seberapa mengerikannya ide nasionalisme dan model negara bangsa, baik dari pembahasan maupun histori yang ada. Kedua paham itu justru dimanfaatkan oleh musuh-musuh Islam untuk menghancurkan khilafah dan meneruskan penjajahan di wilayah-wilayah Islam.
Umat Muslim perlu menyadari bahwa gerakan mereka dalam menyelesaikan masalah Palestina harus bersifat politik, yang artinya mereka harus menitikberatkan pada penghapusan batas negara bangsa dan membangun satu kepemimpinan politik Islam seluruh dunia. Oleh karena itu, sangat penting untuk mendukung serta berpartisipasi dalam gerakan politik yang ideologis yang berjuang tanpa batas dan telah terbukti konsisten dalam memperjuangkan tegaknya kepemimpinan politik Islam di berbagai wilayah. []
Oleh: Salma Atika Desri
(Aktivis Muslimah)