TintaSiyasi.id -- Masyarakat dikejutkan oleh polemik pengalihan empat pulau dari Provinsi Aceh ke Sumatera Utara. Pasalnya, selama ini pulau-pulau tersebut diyakini sebagai bagian dari wilayah Aceh. Mengutip laporan CNN Indonesia (15 Juni 2025), pengalihan ini memunculkan kecurigaan adanya kepentingan tersembunyi, terutama terkait potensi sumber daya alam seperti migas yang diduga terkandung di kawasan itu.
Dalam sistem Otonomi Daerah (OTDA), setiap daerah diberi kewenangan luas untuk mengelola pemerintahannya, termasuk sumber daya alam dan pendapatannya. Tujuannya memang terdengar indah: pembangunan merata, pelayanan publik cepat, masyarakat lokal berdaya. Namun realitas tidak sesederhana itu.
Masalahnya bukan hanya pada pelaksanaan, tapi pada fondasi sistem itu sendiri. Ketika masing-masing daerah berlomba untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), maka potensi kekayaan alam menjadi diperebutkan. Logika kapitalisme perlahan menyusup ke dalam relasi antarwilayah: siapa yang punya tambang, punya kuasa; siapa miskin dia tertinggal.
Maka yang terjadi bukan kolaborasi pembangunan, tapi perlombaan ego sektoral. Banyak kepala daerah terjebak dalam politik identitas lokal dan lupa bahwa mereka bagian dari satu tubuh bernama Indonesia.
Pertanyaannya, mengapa sebuah wilayah bisa berpindah hanya lewat keputusan menteri? Bagaimana mungkin masyarakat yang secara historis dan sosial merasa sebagai bagian dari Aceh bisa begitu saja kehilangan tanah air mereka? Di sinilah terlihat cacat logika sistem: pendekatan teknokratik dan administratif ternyata tidak cukup jika mengabaikan rasa keadilan rakyat.
Inilah wajah asli sistem OTDA yang diadopsi dari kerangka demokrasi liberal-sekuler. Negara bukan lagi pengatur penuh urusan rakyat, melainkan sekadar fasilitator, “wasit” dalam pertarungan antar kepentingan. Negara tak lagi hadir melayani rakyat, tapi sekadar menjaga agar roda sistem tetap berputar, meski roda itu menggilas sebagian rakyatnya.
OTDA lahir dalam semangat kapitalistik ini. Daerah diminta mengurus diri sendiri, dari anggaran, proyek, hingga sumber daya alam. Negara pusat seakan berkata, “Silakan bersaing, yang kuat akan sejahtera.” Maka tak heran bila potensi SDA menjadi rebutan. Yang kuat menang, yang lemah tertinggal.
Sebaliknya, dalam sistem Islam, negara adalah raain wa junnah (pengurus dan pelindung). Penguasa bertanggung jawab penuh atas rakyatnya, dan setiap amanah akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT.
Islam mengatur bahwa kekayaan alam adalah milik umum yang harus dikelola negara pusat untuk kesejahteraan seluruh rakyat. Tidak dijumpai dikotomi “daerah kaya” dan “daerah miskin”. Hasil bumi Aceh adalah hak rakyat di Papua, begitu juga sebaliknya. Keadilan dijamin, bukan dipertaruhkan dalam persaingan.
Kasus sengketa empat pulau ini sudah seharusnya menyadarkan kita bahwa sistem hari ini begitu membebani rakyat untuk mengurus dirinya sendiri, sementara negara hanya diam menjadi penonton. Sudah saatnya kita bertanya lebih jauh: apakah sistem ini masih layak dipertahankan? Wallahu a’lam bish-shawab.
Oleh: Gesti Haeriah
Pegiat Opini Publik