Tintasiyasi.id.com -- Baru-baru ini, dunia dikejutkan dengan tindakan duabelas aktivis solidaritas Palestina, yang bertekad mengirimkan bantuan ke Gaza menggunakan kapal Madleen.
Seharusnya kapal Madleen berlabuh di Gaza pada Senin dini hari, sebelum Ahad malam dilaporkan dari Yonhap bahwa pelayaran kapan Madleen dinyatakan hilang kontak setelah tujuh hari berlayar. (Antara, Senin (9/6/2025)
Aksi solidaritas ini, menjadi pemantik dunia internasional untuk melakukan aksi nyata keberpihakan pada Palestina. Pasalnya, pada 15 Juni 2025, ribuan aktivis dari berbagai negara melakukan long march global menuju gerbang Raffah.
Pertama dalam catatan sejarah internasional, ribuan manusia mewakili lintas ras, suku, agama, dan negara hadir atas dasar rasa kemanusiaan untuk membela Palestina. Namun, apakah langkah ini cukup efektif?
Menelisik lebih dalam, jika aksi demonstrasi bukan kali pertama dilakukan, melainkan berkali-kali. Ironi, perjuangan melelahkan hanya menambah deretan penderitaan. Hal ini terjadi karena pergerakan dilakukan bukan berasal dari merespons akar masalah.
Artinya, meluapkan emosional melalui aksi demo tidak menyelesaikan persoalan secara tuntas, justru hanya akan mencederai perjuangan.
Memahami Akar Masalah
Seharusnya, setiap elemen masyarakat sadar dan paham jika akar masalah di Gaza adalah penjajahan yang disebabkan diterapkan sistem warisan penjajah.
Sistem yang eksis memimpin dunia adalah Kapitalisme, seluruh penganutnya dikuasai rasa serakah dan hampa moralitas. Hal ini terjadi karena kerakusan atas harta telah menjadikan darah bangsa-bangsa tertindas sebagai komoditas.
Apabila mempelajari sejarah peradaban Islam, runtuhnya sistem pemerintah Islam Turki Ustmani ditandai dengan wilayah negara Islam dipecah belah diberi kekuasaan, hingga melahirkan skat nasionalisme tiap-tiap wilayah. Bergeser dari memikirkan kepentingan wilayah Islam global menjadi mencukupkan kepentingan politik wilayah nasional.
Deretan penderitaan ini berawal dari ditinggalkannya peran Islam untuk mengatur negara dan kehidupan. Berujung pada versi kebenaran setiap pencetus peraturan, hingga akhirnya kebenaran menjadi relatif dan tergantung sudut pandang memandang.
Solusi Tuntas
Menarik benang merah dari rangkaian panjang penderitaan, tentu solusinya sudah dibuktikan melalui sejarah peradaban Islam. Ketika Rasulullah Muhammad menyiapkan para sahabat sebagai pembebas Baitul Maqdis dengan pembekalan geografi daerah konflik, kemahiran penggunaan senjata, dan logistik.
Rasulullah dan para sahabat mempersiapkan diri sebaik mungkin, tentu standarnya Islam. Ketika Allah menurunkan wahyu surat At-Tin, bagaimana romantisnya Allah memerintahkan Rasulullah untuk memperhatikan Baitul Maqdis.
Menariknya, Dr. Fattah El-Uwaisi menyampaikan kontribusi saudara Indonesia untuk Palestina adalah menyuarakan kebenaran. Terkesan sepele tapi sering dilupakan, karena tidak semua orang punya nyali untuk bersuara. Terlebih bersuara menentang kemungkaran dengan dentum suara nyaring menolak padam.
Tong kosong berbunyi nyaring, pepatah yang sangat relevan untuk manusia yang berpihak hanya berdasar emosional semata, rawan luntur dan musiman. Hanya akan bergejolak Ketika ada titik didih semata.
Jadi, solusi tuntas penjajahan Palestina adalah hijrah dari sistem togut ke sistem Islam, kemudian belajar sejarah Palestina-Israel agar menambah spirit juang kita. Perjalanan panjang ini butuh circle yang mendukung dan mensuasanakan pada perjuangan bernuansa ketaatan, sebab jika perjuangan sendirian rawan mundur dan gugur. Wallahu'alam Bishshawwab.[]
Oleh: Novita Ratnasari, S. Ak.
(Aktivis Muslimah)