TintaSiyasi.id -- Pengalihan empat pulau kecil dari Provinsi Aceh ke Sumatera Utara baru-baru ini menguak polemik yang lebih dalam ketimbang sekadar administrasi batas wilayah. Publik mempertanyakan motif yang melatarinya, terutama ketika terungkap bahwa wilayah tersebut diduga menyimpan potensi sumber daya migas yang besar.
Anggota DPR RI pun angkat bicara, menilai ada kepentingan ekonomi di balik perubahan batas administratif tersebut. Namun yang lebih penting untuk dicermati bukan hanya persoalan geografis dan ekonomi semata, melainkan akar struktural dari sengketa ini—yakni sistem otonomi daerah (Otda) yang diterapkan di Indonesia. Otda, yang sejatinya merupakan produk demokrasi sekuler-kapitalis, telah menciptakan ketimpangan, kecemburuan, bahkan benih disintegrasi dalam tubuh bangsa.
Polemik pulau ini menjadi potret nyata betapa sistem tersebut tidak mampu menjamin keadilan tata kelola dan distribusi kekayaan antar wilayah.
Otonomi daerah di Indonesia diterapkan dengan semangat desentralisasi, yaitu memberikan kewenangan besar kepada pemerintah daerah untuk mengurus sendiri urusan pemerintahan, termasuk pengelolaan kekayaan alam dan pendapatan asli daerah (PAD). Di atas kertas, otonomi bertujuan mempercepat pembangunan daerah dan mendekatkan pelayanan publik kepada rakyat. Namun dalam praktiknya, otonomi daerah justru membuka ruang rivalitas antarwilayah, terlebih ketika potensi ekonomi diperebutkan.
Ketika informasi soal potensi migas di wilayah empat pulau yang disengketakan muncul ke publik, reaksi keras dari Aceh menjadi tak terhindarkan. Aceh merasa dirugikan atas pergeseran batas wilayah tersebut, mengingat sejarah dan kedekatan geografis pulau-pulau itu lebih dekat ke Aceh. Sementara itu, pemerintah pusat melalui Kemendagri berdalih bahwa penetapan batas wilayah telah sesuai aturan administrasi dan hasil pemetaan Badan Informasi Geospasial. Namun, transparansi serta partisipasi publik dalam proses ini justru dipertanyakan.
Apalagi Aceh selama ini memiliki kekhususan dalam otonomi, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam. Sengketa ini mengancam harmoni yang selama ini dijaga pascakonflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Otonomi daerah yang seharusnya menjawab masalah pembangunan justru menimbulkan ketimpangan fiskal dan sosial. Daerah yang kaya sumber daya alam memiliki PAD yang tinggi, sementara daerah miskin harus bergantung pada dana transfer pusat. Alhasil, kompetisi tidak sehat antarwilayah muncul, memicu potensi konflik horizontal maupun vertikal.
Pemerintah daerah saling berlomba “memperjuangkan” wilayah yang berpotensi menghasilkan pendapatan besar. Kasus empat pulau ini menunjukkan bagaimana sengketa administratif diselimuti motif ekonomi. Hal ini wajar dalam kerangka otonomi daerah yang menjadikan PAD sebagai indikator utama keberhasilan. Lebih jauh, kecemburuan antardaerah juga mencuat, mengingat tidak semua provinsi memiliki sumber daya alam melimpah. Ketika satu daerah merasa dirampas potensi kekayaannya, seperti yang dirasakan sebagian masyarakat Aceh, maka rasa keadilan pun tercederai. Padahal, dalam negara yang berasaskan keadilan sosial, ketimpangan semacam ini seharusnya tidak terjadi.
Ironisnya, semangat otonomi daerah lahir dari bingkai nasionalisme yang ingin memperkuat identitas dan kemandirian daerah. Namun dalam praktiknya, justru memperlemah kohesi nasional. Sengketa batas wilayah, persaingan pendapatan daerah, hingga kebijakan eksklusif daerah menjadi tanda-tanda retaknya fondasi persatuan yang dibangun sejak kemerdekaan.
Konsep negara-bangsa yang menekankan batas wilayah administratif telah menjadikan umat Islam di Indonesia terfragmentasi. Alih-alih mempersatukan, sistem ini menumbuhkan identitas kedaerahan yang menguat, bahkan dalam beberapa kasus lebih dominan daripada identitas kebangsaan atau keummatan. Akibatnya, solidaritas nasional maupun keislaman terkikis demi kepentingan fiskal dan politik lokal.
Islam sebagai sistem hidup yang sempurna memiliki pandangan tegas dalam hal pengelolaan wilayah dan sumber daya. Negara dalam Islam tidak membagi wilayah berdasarkan potensi ekonomi, tetapi sebagai satu kesatuan dalam naungan kepemimpinan tunggal. Khilafah Islam, sebagaimana dicontohkan Rasulullah ﷺ dan para khalifah setelahnya, memerintah dengan sentralistik, namun bukan dalam artian otoriter, melainkan berdasarkan hukum syariah yang adil.
Dalam sistem Islam, tidak ada istilah daerah kaya dan miskin yang diperlakukan berbeda. Semua kekayaan alam adalah milik umum yang dikelola negara untuk kemaslahatan seluruh umat, tanpa diskriminasi wilayah. Negara tidak membagi anggaran berdasarkan besarnya kontribusi PAD suatu daerah, tetapi berdasarkan kebutuhan masyarakatnya.
Sumber daya seperti migas, air, tambang, dan hasil bumi lainnya dikelola langsung oleh negara, dan hasilnya dikembalikan ke rakyat dalam bentuk pelayanan publik seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan jaminan sosial. Dengan sistem ini, tidak akan ada daerah yang merasa dianaktirikan, karena distribusi kekayaan tidak berbasis wilayah administratif, melainkan kebutuhan dan keadilan substantif.
Dalam Islam, penguasa adalah ra’in (penggembala) dan junnah (perisai) bagi rakyatnya. Seorang penguasa tidak boleh menzalimi satu wilayah demi kepentingan wilayah lain, atau tunduk pada tekanan politik dan ekonomi tertentu. Semua wilayah dan rakyat harus diperlakukan dengan keadilan yang merata, karena kelak mereka akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah.
Khilafah bukan hanya sistem pemerintahan formal, tetapi juga sistem pertanggungjawaban spiritual. Seorang khalifah tidak bisa seenaknya mengalihkan suatu wilayah atau sumber daya demi kepentingan politik atau ekonomi jangka pendek. Ia akan mempertimbangkan maslahat seluruh umat dan tidak akan membiarkan satu daerah tertindas atau merasa dirugikan.
Polemik empat pulau Aceh-Sumut ini menunjukkan betapa sistem demokrasi sekuler dan otonomi daerah tidak mampu menjadi solusi jangka panjang bagi keadilan dan kesejahteraan wilayah. Ketika setiap wilayah berjuang sendiri demi mempertahankan atau merebut sumber daya, maka benih disintegrasi akan terus tumbuh.
Sudah saatnya umat Islam mempertimbangkan kembali sistem alternatif yang telah terbukti secara historis mampu menjamin keadilan dan kesatuan umat—yakni sistem Islam kaffah dalam bentuk pemerintahan sentralistik Islam. Dalam sistem ini, tidak ada lagi rebutan wilayah karena semua dikelola atas dasar syariah dan tanggung jawab akidah, bukan kepentingan ekonomi semata.
Oleh: Prayudisti Shinta Pandanwangi
Aktivis Muslimah