Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Raja Ampat Terjerat Oligarki

Rabu, 18 Juni 2025 | 08:48 WIB Last Updated 2025-06-18T01:48:59Z

TintaSiyasi.id -- Tagar #SaveRajaAmpat ramai berseliweran di media sosial beberapa minggu terakhir. Hal ini dipicu karena ditemukannya fakta yang cukup mengejutkan terkait penambangan nikel di kawasan pariwisata tersebut. Bagaimana tidak? Kawasan di Papua Barat Daya yang dijuluki ‘The Last Paradise on Earth’ merupakan kawasan geopark, pusat keragaman hayati baik darat dan laut, serta jantung dari segitiga terumbu karang. Bahkan wilayah ini ditetapkan menjadi situs warisan yang diakui UNESCO. 

Penambangan nikel yang dilakukan oleh beberapa perusahaan swasta membuat publik menjadi geram karena dikhawatirkan akan merusak keindahan alam dan fungsi ekologis Raja Ampat bagi lingkungan. Hilirisasi nikel yang digadang sebagai jalan menuju transisi energi bersih, ironisnya telah meninggalkan jejak kehancuran lingkungan di berbagai tempat dari Sulawesi hingga Maluku, dan kini mengancam Raja Ampat. Hal ini menjadi bukti bahwa pemerintah kita lebih condong untuk mengejar kebermanfaatan dan keuntungan ekonomi semata tanpa mempertimbangkan kepentingan warga sekitar dan lingkungan yang terdampak.


Oligarki Merusak Lingkungan

Desakan dari berbagai kalangan masyarakat, akhirnya membuat pemerintah mencabut 4 dari 5 Izin Usaha Pertambangan (IUP) perusahaan tambang nikel di Raja Ampat. Apakah hal ini lantas membuktikan bahwa pemerintah mendengar rakyat dan peduli pada kerusakan lingkungan? Ternyata salah besar. Dalam laporan berjudul “Surga yang Hilang? Bagaimana Pertambangan Nikel Mengancam Masa Depan Salah Satu Kawasan Konservasi Paling Penting di Dunia”, Greenpeace membeberkan bahwa ternyata ada 16 izin pertambangan nikel di Raja Ampat, meliputi lima izin aktif dan 11 izin yang sebelumnya pernah diterbitkan tetapi sudah dibatalkan atau kadaluwarsa. Sebanyak 12 dari 16 izin yang ditemukan tersebut berada dalam kawasan Geopark Global UNESCO. (greenpeace.org, 12-6-2025).

Sumber daya alam di dalam sistem kapitalisme akan dipandang sebagai komoditas ekonomi. Pemerintah akan memberikan izin eksploitasi atas nama investasi dan pembangunan, padahal keuntungan yang didapat hanya dinikmati oleh segelintir orang saja yang tidak lain adalah para oligarki bukan rakyat. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pengelolaan sumber daya alam di sistem kapitalisme pasti mengorbankan kesejahteraan masyarakat lokal dan kelestarian lingkungan.


Kacamata Islam dalam Mengelola SDA

Berbeda halnya dengan sistem Islam. Pengelolaan sumber daya alam sepenuhnya dikembalikan sesuai syariat. Dalam Islam, ada tiga bentuk kepemilikan, yaitu kepemilikan umum, negara, dan individu. Dalam sistem Islam, tambang besar seperti nikel ini adalah kepemilikan umum. Hal ini berdasarkan pada hadits “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad). Perserikatan di situ bermakna perserikatan dalam pemanfaatan. Dalam arti, semua boleh memanfaatkannya dan tidak boleh dikuasai oleh seseorang atau sebagian saja. Oleh karenanya, tambang harus dikelola oleh negara untuk dikembalikan lagi manfaatnya kepada masyarakat atau umum. Bukan malah dikelola dan dimiliki oleh korporasi atau individu. 

Sudah banyak alam Indonesia yang rusak karena adanya privatisasi sumber daya alam, mulai dari deforestasi hutan, pencemaran air laut, eksploitasi besar-besaran bahan tambang, dan masih banyak lagi. Padahal Allah swt berfirman dalam surat Asy-Syu'ara ayat 183: “Dan janganlah kamu merugikan manusia dengan mengurangi hak-haknya dan janganlah membuat kerusakan di bumi”. Oleh karena itu, mustahil berharap pada sistem kapitalisme jika kita ingin alam kita tetap lestari. Hanya dengan sistem Islam, kebijakan pembangunan dilakukan dengan tetap mengutamakan kemaslahatan rakyat tanpa merusak fungsi ekologis lingkungan. Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Rizky Dewi Iswari, S.Pd., M.Si.
Aktivis Muslimah

Opini

×
Berita Terbaru Update