TintaSiyasi.id -- Ketika Raja Ampat disebut, dunia membayangkan surga tersembunyi yang menakjubkan: gugusan pulau-pulau karang yang memeluk laut biru, rumah bagi ribuan spesies endemik, dan warisan ekologis yang tak ternilai. Tapi kini, bayangan itu terancam kabur oleh debu tambang nikel yang mencemari laut, tanah, dan udara. Di balik janji pembangunan dan devisa, tersingkap watak sistem yang tak pernah berpihak pada rakyat—apalagi pada alam.
Pemerintah akhirnya menghentikan sementara aktivitas tambang nikel di wilayah tersebut setelah publik geger melihat dampaknya. Tapi ini bukan bentuk kesadaran, melainkan respons reaktif atas sorotan yang membara. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengungkapkan adanya pelanggaran serius, termasuk pembabatan hutan dan pencemaran wilayah pesisir. Bahkan, BBC Indonesia melaporkan indikasi kerusakan masif yang mengancam keberlanjutan kawasan konservasi laut kelas dunia itu.
Kapitalisme: Mesin Perusak Alam yang Dilegalkan
Dalam kasus Raja Ampat, wilayah lindung dan zona konservasi bisa saja berubah status hanya demi menuruti kepentingan korporasi tambang. Menurut Dr. Chalid Muhammad, mantan Direktur Eksekutif Walhi, “Setiap aktivitas ekstraktif di kawasan bernilai ekologis tinggi seperti Raja Ampat adalah tindakan sembrono yang berisiko tinggi, bukan hanya secara lingkungan tapi juga secara sosial.” Ia menambahkan bahwa pemerintah seharusnya lebih dahulu menegakkan prinsip kehati-hatian (precautionary principle), bukan baru bergerak setelah publik ribut.
Laporan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) juga menegaskan bahwa kegiatan tambang di kawasan seperti Raja Ampat tidak bisa dilepaskan dari pelanggaran sistemik yang melibatkan korporasi besar dan lemahnya penegakan hukum. "Sektor pertambangan di Indonesia adalah cermin dari kompromi negara terhadap kehancuran ekologis," ujar Merah Johansyah, Koordinator Nasional Jatam.
Kita harus menyebut akar persoalannya dengan jujur: kapitalisme. Sistem yang memberi tempat tertinggi pada keuntungan, sementara rakyat, lingkungan, dan bahkan undang-undang hanya jadi pelengkap. Fakta bahwa perusahaan tambang bisa beroperasi di wilayah konservasi laut dan kawasan adat yang jelas-jelas dilindungi undang-undang menunjukkan satu hal—pengusaha lebih berkuasa daripada hukum.
Inilah wujud nyata corporate capture, ketika kebijakan negara dibajak oleh kepentingan segelintir pemilik modal. Regulasi bukan menjadi tameng rakyat, melainkan alat legitimasi bagi eksploitasi yang rakus dan membabi buta. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup jelas mengatur larangan eksplorasi yang mengancam ekosistem. Tapi, nyatanya, perusahaan tetap bisa masuk. Apa artinya undang-undang jika ia hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas?
SDA dalam Islam: Milik Umum, Bukan Komoditas
Islam tidak tinggal diam dalam soal pengelolaan sumber daya alam (SDA). Dalam sistem Islam, SDA seperti tambang besar (air, minyak, gas, emas, nikel) dikategorikan sebagai milkiyyah 'ammah—milik umum yang haram dikuasai oleh individu atau korporasi. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara: padang rumput, air, dan api (energi).” (HR. Abu Dawud).
Artinya, hasil pengelolaan SDA ini wajib dikembalikan sepenuhnya untuk kemaslahatan rakyat, bukan dijual murah pada korporasi asing dan lokal, apalagi dengan imbalan kerusakan ekologis.
Islam juga memiliki konsep ḥimā—kawasan lindung yang tak boleh dieksploitasi sembarangan. Khalifah Umar bin Khattab pernah menetapkan kawasan ḥimā untuk menjaga keseimbangan ekosistem padang gembala dan hutan.
Dalam Islam, keseimbangan alam bukan sekadar jargon aktivisme, tapi bagian dari hukum syariat. Apa yang dilakukan Khalifah Umar ini sejalan dengan prinsip konservasi modern. Prof. Emil Salim, pakar lingkungan hidup Indonesia, pernah mengatakan: “Keseimbangan ekologis bukan sekadar narasi, tapi prasyarat eksistensial sebuah bangsa. Jika tidak menjaga ekosistem, kita sedang menggali lubang kematian sendiri.” Maka dalam konteks ini, sistem Islam terbukti relevan bahkan secara saintifik.
"Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya." (TQS. Al-A’raf: 56).
Pemimpin dalam sistem Islam, yakni khalifah, bukan sekadar regulator, tapi rā’in (pengurus urusan umat) yang bertanggung jawab langsung menjaga alam, memastikan distribusi kekayaan adil, dan menjauhkan rakyat dari kehancuran akibat kerakusan korporasi.
Solusi: Keluar dari Jerat Sistem Sekuler
Selama paradigma pengelolaan SDA masih tunduk pada kapitalisme, kita tak akan pernah keluar dari lingkaran perampasan dan kerusakan. Selama hukum didefinisikan oleh kepentingan ekonomi, selama negara hanya bertindak setelah tekanan publik, dan selama syariat Islam dijauhkan dari kebijakan, maka Raja Ampat hanya satu dari sekian banyak korban berikutnya.
Perlu ditegaskan, solusi bukan sekadar meninjau ulang izin tambang, atau menyalahkan satu-dua pejabat. Solusinya adalah mencabut akar masalah—yaitu sistem ekonomi dan hukum sekuler yang menyerahkan urusan publik pada logika pasar. Islam hadir membawa sistem alternatif yang adil, berkeadilan ekologis, dan berketundukan penuh pada kehendak Ilahi. Dalam sistem Islam, SDA bukan sumber kerusakan, melainkan sumber keberkahan
Sudah saatnya kita bertanya, sampai kapan kita membiarkan bumi dirusak atas nama kemajuan? Dan sampai kapan hukum Allah kita jadikan pilihan terakhir, bukan pijakan utama? []
Oleh: Apreal Rhamadhany
Pemerhati Generasi dan Founder Islamic Motherhood Community Jember