TintaSiyasi.id — Palestina kian memanas, entitas Zionis semakin membabi buta melakukan genosida, menjadikan kelaparan sebagai senjata dan memblokade masuknya bantuan kemanusiaan. Membiarkan rakyat Gaza mati kelaparan secara perlahan. Menteri Keuangan Zionis, Bezalel Smotrich, menyatakan, “Bahwa membiarkan warga Gaza mati kelaparan adalah tindakan yang adil dan bermoral.”
Sedangkan Menteri Keamanan Nasional Zionis, Itamar Ben-Gvir, mengungkapkan, “Selama para sandera belum dibebaskan, musuh tidak boleh menerima makanan, listrik, atau bantuan apa pun.” (muslimahnews.net, 16/6/2025).
Entitas Zionis terus melancarkan serangan. Pada saat rakyat Gaza merayakan Iduladha, Zionis melancarkan serangan udara dan penembakan. Militer Zionis menyerang tenda-tenda pengungsi di berbagai wilayah di Gaza.
Namun, apa yang terjadi? Para penguasa negeri-negeri Muslim memilih mematikan rasa kemanusiaan dan duduk nyaman menjadi penonton. Mereka hanya mengaum seperti singa saat di mimbar—lantang bersuara, tapi nyatanya hanya omong kosong—bahkan menyalahkan para pejuang Palestina. Padahal, para pemimpin Muslim mampu untuk melindungi dan membebaskan Palestina dengan mengirimkan pasukan militer. Terkoyak sudah rasa kemanusiaan, padahal rasa itu adalah fitrah sebagai seorang manusia untuk membantu sesamanya, terutama bagi yang lemah tak berdaya.
Kekejaman Zionis yang tiada henti kepada rakyat Gaza sangat menyayat hati, namun tak mampu menyentuh dan mengusik hati nurani para pemimpin Muslim. Sekat-sekat nasionalisme menjadi penyebab dan penghalang untuk bersatunya umat. Nasionalisme menuntut loyalitas penuh hanya pada bangsa, tanah air, dan negaranya saja. Nasionalisme ditegakkan di atas reruntuhan Khilafah Islamiyah pada 3 Maret 1924. Sejak saat itu, umat Islam terpecah belah menjadi lebih dari 50 negara yang dibalut oleh Perjanjian Sykes-Picot, yang menyebabkan terpisah secara politis dan emosional.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Siapa saja yang menyaksikan seorang mukmin dihinakan di hadapannya, sementara dia mampu menolong mukmin tersebut, tetapi dia tidak menolong dirinya, maka Allah akan menghinakan dia di hadapan seluruh makhluk-Nya pada hari kiamat.” (HR al-Hakim dan ath-Thabarani)
Para pemimpin negeri-negeri Muslim, tidak ada ghirah di hatinya untuk mengirimkan pasukan militer, untuk mengusir dan menghapus para penjajah Zionis. Meskipun jihad sudah menggema di penjuru dunia, hati pemimpin Muslim tetap tertutup. Jihad tidak akan terwujud tanpa adanya daulah sebagai wadah, dan jihad akan terlaksana di bawah komando sang Khalifah (pemimpin).
Tegaknya Khilafah tidak akan terwujud jika masih hidup dalam sistem kapitalisme-sekularisme, di mana tolak ukur kehidupan hanya materi, menjadi sikap individualis terhadap sesama, agama hanya sebatas ibadah spiritual (mahdhah) saja, aturan-Nya diabaikan. Untuk itu, dibutuhkan kepemimpinan jamaah ideologis yang konsisten menyerukan tegaknya Khilafah ala minhaj an-nubuwwah. Jamaah ini akan membangun dan membangkitkan kesadaran umat, dan menunjukkan jalan kenabian kepada umat.
Umat seharusnya menjawab seruan jamaah dakwah ini dan ikut berjuang bersama menjemput nasrullah, karena solusi hakiki bukan sekadar bantuan kemanusiaan dan lainnya.
Tapi menghilangkan rasa ashabiyah dan nation-state di hati umat Islam, dan berjuang bersama menegakkan Khilafah ala minhaj an-nubuwwah, yang akan mengonsolidasikan seluruh kekuatan dalam satu kepemimpinan yang benar-benar akan membela agama dan umat, khususnya saudara-saudara kita di Palestina yang sudah lama tertindas.
Yang menjadi pertanyaan, masih adakah rasa keimanan dan satu tubuh dalam hati umat ini? Ataukah nation-state masih sangat mengakar di hati umat Muslim, hingga mengabaikan saudara seiman yang terzalimi? Apakah hanya karena mereka bukan bagian dari negara kita?
Wallahu a‘lam bish-shawab.
Oleh: Kartika Putri, S.Sos.
Aktivis Muslimah