TintaSiyasi.id -- Di tengah gegap gempita pembangunan infrastruktur dan janji pertumbuhan ekonomi, ada satu pertanyaan mendasar yang harus terus diajukan oleh nurani rakyat: untuk siapa semua ini dibangun? Apakah untuk rakyat Indonesia yang menjadi pemilik sah tanah air ini, ataukah hanya untuk memenuhi hasrat dan keuntungan segelintir elite serta kepentingan modal asing?
Negara, sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945, dibentuk untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta untuk memajukan kesejahteraan umum. Kalimat ini bukan sekadar proklamasi retoris, tetapi merupakan kontrak agung antara negara dan rakyatnya—kontrak yang harus dijaga dengan integritas, bukan dikotori dengan kepentingan jangka pendek dan pragmatisme ekonomi yang menggadaikan kedaulatan.
Realitas yang Membuka Luka Bangsa
Namun, realitas hari ini sering kali menyuguhkan ironi yang menyakitkan. Kita melihat tanah-tanah subur yang diwariskan nenek moyang dijual murah kepada perusahaan asing. Gunung-gunung dikeruk, hutan-hutan dibabat, laut dikuasai oleh korporasi luar negeri, dan tambang emas, nikel, batu bara—semua dikuasai oleh pemodal asing dengan iming-iming "investasi dan lapangan kerja."
Padahal, lapangan kerja yang dijanjikan sering kali bersifat eksploitatif, dengan upah minimum dan hak buruh yang terabaikan. Sementara nilai tambah ekonomi justru lari keluar negeri. Rakyat hanya mendapat remah-remah, sementara kekayaan negeri ini dijual murah bagaikan makelar yang mendapat komisi sesaat.
Lebih parah lagi, kebijakan ekonomi negara tak jarang dibuat untuk menyenangkan investor, bukan untuk memberdayakan rakyat. Demi mendatangkan modal, berbagai regulasi dipermudah tanpa mempertimbangkan dampak sosial dan ekologis yang panjang. Kita menyaksikan bagaimana omnibus law disahkan dengan tergesa-gesa, dan pengusaha kecil serta buruh menjadi korban atas nama "daya saing nasional."
Kritik sebagai Cinta: Negara Harus Menjadi Pelindung, Bukan Penjual
Kritik ini bukan kebencian terhadap pembangunan, tetapi cinta terhadap bangsa dan masa depan anak cucu kita. Negara yang benar bukan yang memperdagangkan kekayaan bangsanya, melainkan yang mampu mengembangkan ekonomi mandiri, memperkuat petani dan nelayan, memperluas lapangan kerja berbasis sumber daya lokal, dan mencetak generasi unggul yang tidak menjadi buruh di negeri sendiri.
Negara yang berdaulat adalah negara yang:
Memastikan rakyatnya memiliki akses terhadap pendidikan dan pelatihan kerja.
Membangun industri berbasis sumber daya dalam negeri, bukan hanya jadi ekspor bahan mentah.
Memberikan insentif dan proteksi kepada UMKM, bukan hanya kepada investor asing.
Mengutamakan ketahanan pangan dan energi nasional, bukan ketergantungan impor.
Kita butuh pemimpin dan negarawan yang berpihak pada rakyat, bukan penguasa yang menjadi juru bicara korporasi global.
Islam dan Keadilan Sosial: Pelita Perjuangan
Dalam Islam, kepemimpinan adalah amanah yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda:
> "Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Seorang pemimpin yang menggadaikan bangsanya demi investasi asing, yang membiarkan rakyatnya miskin di negeri yang kaya, adalah pengkhianat terhadap amanah Ilahi. Islam menuntun kita untuk menegakkan keadilan, bukan hanya dalam ibadah, tetapi juga dalam sistem ekonomi dan kebijakan publik.
Oleh karena itu, kita perlu membangkitkan kesadaran umat agar tidak diam menyaksikan negerinya dijadikan pasar, kekayaannya dijual, dan anak-anaknya dibiarkan menjadi pengangguran. Umat harus bersuara, berdaya, dan bersatu dalam menuntut hadirnya negara yang benar-benar berpihak kepada rakyat.
Penutup: Menuju Negeri Berdaulat dan Bermartabat
Pembangunan yang sejati bukanlah angka-angka pertumbuhan ekonomi yang dikutip dari laporan lembaga asing, melainkan senyum petani yang makmur, sejahtera nelayan di pesisir, bangkitnya industri lokal, dan lapangan kerja yang luas untuk semua anak bangsa. Negara harus kembali kepada jati dirinya: sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan rakyat—bukan menjadi makelar kepentingan asing.
Sudah saatnya kita bangkit.
Sudah saatnya umat mencerdaskan diri dan bersatu memperjuangkan kedaulatan.
Dan sudah saatnya kita menegaskan: Negara bukan milik elite, tapi milik seluruh rakyat.
Oleh: Dr. Nasrul Syarif, M.Si.
(Sekjen Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa)