TintaSiyasi.id -- Presiden Prabowo Subianto mengambil keputusan mengejutkan dalam kebijakannya menaikkan gaji para hakim hingga 280 persen (setgab.go.id, 12/06/2025). Tujuannya, kata pemerintah, demi memperkuat integritas dan mencegah suap di lembaga peradilan. Tak sedikit yang memuji langkah ini sebagai sinyal keseriusan dalam memberantas korupsi. Tapi benarkah gaji tinggi menjadi kunci bersihnya hukum di negeri ini?
Sepintas, logika itu tampak masuk akal. Ketika penghasilan mencukupi, dorongan untuk menerima suap seharusnya berkurang. Namun, realitas menunjukkan hal sebaliknya. Banyak pejabat yang telah menikmati gaji besar, tetap terseret kasus suap, gratifikasi, dan manipulasi hukum. Dari menteri hingga hakim agung, korupsi terus bergulir, bahkan semakin canggih modusnya.
Artinya, masalah korupsi tidak bisa semata disederhanakan sebagai soal kesejahteraan. Korupsi merupakan persoalan yang lebih kompleks baik menyangkut sistem, budaya hukum maupun standar moral dalam masyarakat. Di sinilah celah besar dari sistem sekuler yang kini menjadi pangkal masalah korupsi.
Sistem sekuler menanggalkan peran agama dari kehidupan publik. Hukum tidak lagi bersumber dari wahyu, melainkan dari akal manusia dan kesepakatan elite politik. Dalam sistem ini, kebenaran menjadi relatif. Hukum bisa dinegosiasikan, dipelintir, atau dimanfaatkan demi kepentingan tertentu. Selama tidak melanggar prosedur tertulis, maka tindakan apapun dianggap sah. Inilah kondisi yang membuat korupsi sulit diberantas meski berkali-kali reformasi dilakukan.
Dalam Islam, korupsi tidak dipandang sebagai pelanggaran administratif semata, melainkan dosa besar. Rasulullah SAW bersabda: “Laknat Allah terhadap penyuap, penerima suap, dan perantaranya.” (HR. Abu Dawud). Karena itu, penyelesaiannya tidak cukup dengan menaikkan gaji atau memperketat regulasi teknis. Islam memberikan pendekatan menyeluruh yang menyentuh akar persoalan mulai keimanan individu, kontrol masyarakat, dan sistem hukum negara.
Dalam Khilafah Islamiyah, sistem peradilan dibangun atas dasar akidah Islam. Negara memastikan para qadhi (hakim) hidup layak dengan gaji dari Baitul Mal, bukan untuk memperkaya diri, melainkan agar mereka bebas dari tekanan. Namun itu belum cukup. Islam mewajibkan audit kekayaan pejabat secara berkala. Jika ada selisih tak wajar, negara berhak menyita dan mengadilinya. Selain itu, hukum diterapkan secara terbuka dan cepat, tanpa pengaruh eksekutif atau intervensi politik.
Yang membedakan khilafah dari sistem hari ini adalah sumber hukumnya. Dalam khilafah, semua hukum bersumber dari wahyu Allah. Tidak ada peluang suap, titipan jabatan, atau celah legal untuk korupsi karena hukum bersifat tetap dan tidak bisa dinegosiasikan. Keimanan menjadi benteng utama, dan sistem syariat menjadi pagar kokoh yang mengawal keadilan.
Jadi, menaikkan gaji hakim dalam sistem sekuler hanyalah upaya tambal sulam. Selama hukum dibuat dan ditegakkan berdasarkan kepentingan, maka korupsi akan terus mencari celah. Hari ini hakim, besok jaksa, lusa pengusaha.
Umat Islam harus menyadari bahwa akar dari semua ini adalah sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Jika kita sungguh menginginkan keadilan dan pemerintahan bersih, maka solusinya bukan reformasi birokrasi, melainkan transformasi sistem dengan meninggalkan sistem sekuler dan kembali kepada sistem Islam yang menerapkan syariat secara kaffah.
Sistem Islam bukan khayalan. Ia telah terbukti membawa keadilan dan keberkahan selama lebih dari 13 abad dalam sejarah umat Islam. Kini, saatnya kita memperjuangkannya kembali agar negeri ini tak hanya bersih dari korupsi, tapi juga dipenuhi rahmat dan keadilan dari Allah SWT. []
Oleh: La Ode Mahmud
Aktivis Dakwah Islam