Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Global March To Gaza: Speak Up, Jangan Hanya Diam

Sabtu, 21 Juni 2025 | 18:51 WIB Last Updated 2025-06-21T11:53:21Z

TintaSiyasi.id -- Penderitaan kaum Muslim di Gaza Palestina masih belum berakhir. Kondisi kaum Muslim Gaza hinga hari ini menjadi korban kebiadaban negara Zionis Israel. Gaza hari ini masih berdarah-darah, penduduknya terusir, kelaparan, dan kehilangan rumah. Seluruh inprastuktur yang ada di Gaza Palestina telah dihancurkan. Bangunan seperti rumah sakit, gedung pemerintahan, perkantoran, dan gedung pendidikan, -- bahkan sarana ibadah seperti masjid dan gereja – juga hancur. Kaum Muslim Gaza kini hidup terlunta, entah meminta tolong kepada siapa lagi. Kepada saudaranya yang Muslim, mereka hanya diam, sibuk dengan dirinya masing-masing. Meminta tolong kepada para penguasa Muslim, mereka juga diam, hanya bisa mengutuk tanpa melakukan aksi tindakan untuk menolong saudara Muslim di Palestina. 

Dari puncak penderitaan itu, yang tidak tahu kapan berakhir. Maka gelombang unjuk rasa diberbagai negara hampir seluruh dunia kembali berkobar. Mereka para aktivis kemanusiaan kembali turun ke jalan untuk melakukan aksi solidaritas kemanusiaan untuk Gaza. Kemudian mereka melakukan long march, menyeru kepada pemimpin dunia, agar segera menolong kaum Muslim Gaza yang tertindas oleh kebiadaban Israel. Lebih dari 50 ribu orang tewas sebagian besar anak-anak dan wanita. Aksi solidaritas tersebut diikuti tidak kurang dari 50 negara, untuk mengikuti Global March To Gaza. Rencana aksi sendiri dipusatkan di perbatasan Mesir – Palestina yaitu kota Raffah 15 Juni 2025.


Global March To Gaza

Sebelumnya, aksi kemanusiaan terhadap penderitaan kaum Muslim di Gaza juga dilakukan oleh kelompok aktivis kemanusiaan. Di antaranya ada aktivis muda berasal dari Swedia Greta Storenberg berusia 22 tahun, yang berusara lantang untuk kemanusiaan agar segala penindasan dan pembunuhan oleh Israel segera dihentikan. Aksi biadab Israel bukan lagi sebatas penindasan dan pembunuhan tetapi sudah pada tindakan genocide. Aksi solidaritas kemanusiaan ini, mencoba menembus Gaza lewat jalur laut. Aksi mereka adalah aksi kemanusiaan yang damai untuk membawa bantuan dan tidak membawa persenjataan. Tapi Israel langsung menahan mereka dan kemudian memprosesnya, sehingga akhirnya di antara mereka ada yang langsung di deportasi termasuk Greta Stornberg dari Swedia.

Meskipun berhasil dihadang, kemudian ditangkap lalu dideportasi ke negaranya masng-masing. Efek domino dari kejadian tersebut memicu gelombang aksi kemanusiaan yang lebih besar lagi. Sehingga aksi solidaritas atas nama kemanusiaan, kembali terjadi diberbagai negara yang mengutuk kebiadan Israel atas matinya nalar kemanusiaan. Aksi ini bukan simbol perlawanan saja, tapi merupakan simbol dari rasa frustasi atas matinya kemanusiaan. Mereka adalah non-Muslim, tapi berani berkorban segalanya bahkan untuk nyawa mereka pun siap dikorbankan. Perjalanan dengan membawa bala bantuan kemanusiaan dengan menggunakan kapal laut Madelin, melalui aksi Fredom Frotila agar dapat tembus blokade Gaza. 

Berkembangnya aksi solidaritas kemanusiaan atas Gaza, sampai pada puncaknya adalah menjadi aksi Global March To Gaza. Mereka melakukan long march dari Kairo menuju perbatasan Raffah sejauh 50 Km, sambil membawa poster , bendera dan semangat soldritas tanpa batas negara.

Dalam aksi Global March To Gaza tidak kurang dari perwakilan 50 negara yang ikut. Jumlah peserta mencapai dua puluh ribuan orang dari relawan kemanusiaan yang ikut long march. Mereka menyampaikan pesan bahwa dunia tidak diam terhadap genocide yang dilakukan Israel terhadap kaum Muslim Gaza di Palestina.


Terhadang Pemerintah Mesir

Dua puluh ribuan aktivis pro Palestina dari 50 negara yang tergabung salam Global March To Gaza membludak menuju gerbang Rafah lewat Mesir untuk bantu Gaza via jalur darat. Tapi Langkah mereka justru dihadang militer Mesir. Aksi solidaritas berubah jadi bentrokan, karena tentara Mesir tidak mau bernegosiasi dengan rombongan aksi Global March To Gaza yang akan membawa bantuan kemanusiaan untuk membuka blokade Rafah, agar kelaparan dan penderitaan bisa tertolong.

Pemerintah Mesir dalam hal ini rezim al-Sisi, dikenal sangat tiran terhadap rakyatnya. Selain menerapkan sistem kapitalis sekuler, rezim al-Sisi juga telah banyak melakukan pembungkaman, pemenjaraan bahkan pembunuhan terhadap aktivis Islam seperti kelompok Ikhwanul Muslimin dan lainnya. Bahkan sejak berhasil mengkudeta kepemimpinan Presiden Mursi yang berasal dari Ikhwanul Muslimin dan masih menjalankan sistem demokrasi. Presiden al-Sisi, berkat dukungan Amerika Serikat dan Israel juga berhasil menghukum mantan Presiden Mursi yang di Kudeta dengan hukuman mati.

Oleh sebab itu, pemerintah Mesir sangat ingin menjaga hubungan dengan Israel dan Amerika, walaupun pemerintahannya mendapatkan hujatan dari masyarakat dunia karena blokadenya atas Rafah. Para aktivis solidaritas kemanusiaan ini, tidak sedikit yang ditangkap, bahkan ada yang cidera karena perlakukan petugas keamanan Mesir. Dari mereka banyak di deportase ke negaranya masing-masing. Termasuk perwakilan dari Indonesia terdiri dari aktivis, artis dan public figure.

Mereka sudah berupaya menunjukkan kepeduliannya, perhatiannya atas penderitaaan kaum Muslim di Gaza akibat genocide yang dilakukan Israel. Sampai saat ini jumlah korban yang telah terbunuh sudah di atas 50.000 jiwa, sebagian besar anak-anak dan wanita. Upaya dan ikhtiar mereka harus terhadang oleh kebengisan petugas keamanan Mesir. Tetapi petugas keamanan Mesir, sepertinya tidak berperikemanusiaan untuk menolong sesama saudara Muslimnya di Gaza. Dalam hal ini betapa lemahnya pemerintahan Mesir di hadapan Zionis Israel dan Amerika. Penguasa Mesir tidak ubahnya seperti antek-antek Yahudi – bahkan seperti anjing penjaga – bagi Israel yang didukung Amerika.

Sebagai Muslim seharusnya kita malu, saat Dien-Nya bukan lagi jadi kode pemersatu. Mereka para aktivis yang sebagian non-Muslim menuju Gaza berjalan, tapi nurani yang beraksi. Negara-negara yang mestinya “ bersaudara“, diam di singgasana, padahal darah bukan tumpah di tanah mereka. Tapi mulut dikunci, berpagar betis melindungi demi rapat tangan dengan penindas dan penjajah.

Suatu hari nanti kejadian ini, akan tercatat dalam sejarah. Mungkin akan digambar dalam manuskrip masa depan, saat kata “Islam“ bukan lagi jadi pemersatu bagi seorang Muslim. Di saat pemimpin yang semestinya amanah justru sebaliknya menindas dan tidak menjalankan syariah. Pemimpin yang khianat, yang menjadi antek Yahudi dan Amerika. Kekuasaannya hanya untuk menyakiti rakyatnya bukan menjadi pelayan. Tetapi sebaliknya kekuasaannya hanya menjadikannya lemah di mata penguasa kafir penjajah.


Speak up, “Jangan Hanya Diam“

Umat Islam adalah umat yang terbaik, yang dipersatukan oleh akidah dan syariah. Umat yang dipersatukan oleh pemikiran yang satu, perasaan yang satu dan peraturan yang satu yaitu Islam. Sebagai umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia menyuruh berbuat makruf dan mencegah dari yang mungkar. Maka tidak bisa tidak, umat harus bersuara terhadap kezaliman yang tampak di depan mata. Umat harus melakukan amar makruf nahi mungkar, sebagai bentuk kepedulian terhadap sesama saudaranya. Umat Islam harus kuat untuk speak up dalam menyatakan kebenaran dan jangan berdiam diri seperti setan yang bisu.

Apalagi dalam kondisi saat ini, di mana kaum Muslim di Gaza Palestina sudah tidak berdaya menghadapi gempuran Zionis Yahudi Israel. Selain berbagai infrasturktur yang sudah hancur, begitu juga rumah mereka yang telah rata dengan tanah. Harapan terbesarnya hanya berlindung kepada Allah SWT. 

Harapan terhadap saudaranya sesama Muslim, agar mau menolong mereka masih sangatlah kecil. Kaum Muslim saat ini terjebak pada kepentingannya sendiri-sendiri. Mereka menjadi individualistik, ketika ada saudaranya Muslim Palestina, sedikit sekali yang tergerak membantu mereka. Ada yang sibuk dengan pekerjaan, sibuk dengan pendidikannya, ada pula sibuk dengan hartanya, serta jabatanya. Bahkan para penguasanya sibuk melayani kepentingan negara kafir penjajah, takut kedudukannya jatuh jika tidak melayani mereka.

Sungguh hal ini sangat memalukan, karena di tengah gegap gempita orang-orang yang berusaha untuk menolong kaum Muslim di Gaza, agar keluar dari blokade penjajah Israel dan dibuka pintu perbatasan Raffah menuju Mesir. Mereka itu bergerak karena faktor kemanusiaan, keadilan dan kebebasan atas jiwa manusia yang terancam. Meski keyakinan dan agama mereka berbeda, tapi pengorbanannya luar biasa, bahkan rela mengorbankan nyawanya. 

Lalu di mana peran kaum Muslim yang katanya umat terbaik. Jangankan tergerak untuk menolong saudara mereka di Palestina, sekadar bersuara saja tidak mau. Mereka takut jiwanya terancam, takut karirnya terhambat, takut pendidikan terhenti, takut akan kemiskinan dan takut akan kematian.

Seharusnya sikap yang dimiliki kaum Muslim, menjaga kemuliaan sebagai umat terbaik. Peradaban Islam yang pernah menjadi mercusuar dunia, memberikan kedamaian kepada umat manusia, sehingga pantaslah pada saat itu, umat Islam dikatakan umat terbaik, karena menjadi peradaban yang membawa rahmat bagi seluruh alam. Bukan peradaban yang rusak seperti saat ini terjadi dengan peradaban kapitalisme. Dengan sistem Islam yang tegak selama hampir 1.350 tahun, khilafah menjadi negara adidaya yang tak tertandingi oleh negara mana pun saat itu. 

"Kamu adalah umat Yang terbaik yang dilahirkan  untuk manusia, manyuruh kepada yang makruf  dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah" (Ali Imran, 110). 

Tetapi faktanya saat ini, kaum Muslim mengalami kemunduran luar biasa, tidak lagi memimpin peradaban yang agung. Melainkan umat yang terpuruk dalam segala hal, karena tidak lagi bersandar pada syariat Islam. Sehingga kaum Muslim lebih cinta pada dirinya, pada keluarganya, dan pada harta bendanya. Kaum Muslim saat ini lebih takut, jika dunianya hilang. Kaum Muslim lebih takut kepada kematian dan lebih mencintai kehidupan dunia.

Maka, benarlah apa yang disabdakan oleh Nabi Muhammad ﷺ dalam sabdanya yang shahih, dari Tsauban, ia berkata,
“Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Hampir-hampir umat-umat (kafir) menyeru untuk menguasai kalian (umat Islam) sebagaimana mereka memperebutkan makanan yang berada di dalam piring’. Seorang laki-laki berkata, ‘Apakah kami waktu itu berjumlah sedikit?’ Beliau menjawab, ‘Bahkan jumlah kalian pada waktu itu sangat banyak, namun kalian seperti buih di lautan. Sungguh, benar-benar Allah akan mencabut rasa takut dari dada musuh kalian, dan akan menanamkan ke dalam hati kalian al-wahn’. Seseorang lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, apa itu al-wahn?’ Beliau menjawab, ‘Cinta dunia dan takut mati.” (HR. Abu Daud).

Ditegaskan pula, agar kaum Muslim bersikap tegas terhadap segala kemungkinan. Jadi bersuaralah (speak up), dan jangan berdiam diri atas segala kemungkaran yang terjadi. Hal tersebut akan dipertanggungjawabkan di akhirat, apabila berdiam diri maka berdosa.


Kesimpulan

Puluhan ribu relawan kemanusiaan melakukan long march, sekitar 50 negara menjadi perwakilan, sedang bergerak menuju Rafah. Aksi ini mesti terhalang kebijakan Pemerintah Mesir, sehingga tidak mencapai perbatasan Rafah, -- bahkan untuk membuka blokade jalur bantuan ke Rafah -- tidak berhasil. Meski langkah-langkah kecil mereka, tidak sampai ke perbatasan Mesir - Rafah. Tapi efek domino dari aksi itu punya pengaruh yang luar biasa. Aksi ini memiliki makna, bahwa faktor kemanusiaan, akan dimiliki semua orang. Di mana perasaan yang tumbuh menjadi suara yang cukup besar. Maka bersuaralah untuk Gaza dan jangan diam. Jika kita sebagai Muslim, teruslah berisik dan jangan lupa selipkan doa untuk mereka di setiap shalat.

Aksi solidaritas kemanusiaan untuk Gaza hanya untuk membangkitkan perasaan manusia yang fitrahnya tidak suka dengan kezaliman dan penindasan. Islam juga menjadi solusi atas segala permasalahan kemanusiaan termasuk yang terjadi pada Muslim Gaza. Beberapa aspek yang dapat membangkitkan selain perasaan adalah pemikiran Islam dan diterapkan aturan Islam.

Ketiga aspek inilah perasaan, pemikiran, dan peraturan yang ada dalam Islam akan membantu proses terjadinya persatuan kaum Muslim global. Ketika institusi ini tegak, maka terbentuklah sistem pemerintahan Islam dipimpin oleh khalifah yang akan mengurusi segala permasalahan umat. Segala bentuk penindasan terhadap kaum Muslim baik di Palestina, Kashmir, Rohingya, Uighur, dan lain sebagainya bisa diselesaikan dengan adanya khalifah. Komando khalifah akan memimpin pasukan perang untuk membebaskan negeri-negeri kaum Muslim yang ditindas oleh negara kafir. 

Keberadaan sistem khilafah akan menegasikan bahwa negara-negara kafir harbi, tidaklah bisa semena-mena menindas keberadaan kaum Muslim. Jadi sangat penting saat ini, berjuang untuk tegaknya negara khilafah sebagai wujud ketinggian dan kemuliaan kaum Muslim. Serta akan dibebaskan negeri-negeri kaum Muslim lainnya yang mengalami penindasan negara kafir penjajah. Semoga, tegaknya khilafah tidak lama lagi, seperti mata terpejam, ketika membuka mata akan terbit khilafah. Wallahu a'lam bishshawab. []


Kasid Taryo
Pemerhati Masalah Politik Internasional

Opini

×
Berita Terbaru Update