TintaSiyasi.id -- "Setiap tarikan nafas adalah nikmat yang terus diperbaharui dari Allah, yang wajib disyukuri oleh hamba-Nya."
(Imam Al-Ghazali)
Dalam kesibukan dunia yang semakin hiruk pikuk, manusia sering kali terjebak dalam kebiasaan melupakan. Melupakan bahwa hidup ini bukan sekadar rutinitas makan, bekerja, bersosial, lalu tidur. Melupakan bahwa dalam setiap detik yang berlalu, Allah SWT sedang menganugerahkan nikmat yang tidak ternilai—nafas. Ya, sesuatu yang kita lakukan tanpa sadar, tapi menjadi kunci dari seluruh hidup kita: bernafas.
Nafas: Nikmat yang Tak Terhitung
Manusia rata-rata bernafas sekitar 20.000–25.000 kali per hari. Setiap kali udara masuk ke paru-paru, ada kehidupan yang diperpanjang. Ada peluang yang diperbaharui. Ada harapan yang dihidupkan. Tapi berapa kali kita menyadari itu sebagai nikmat? Bahkan, berapa kali kita mengucapkan alhamdulillah hanya karena masih bisa bernafas?
Imam Al-Ghazali mengajarkan bahwa nafas adalah bentuk nikmat paling halus dan paling sering terlupakan. Mengapa? Karena ia hadir dalam keheningan. Ia tidak membunyikan lonceng saat datang, tidak menyalakan alarm saat pergi. Tapi ketika ia berhenti, segalanya berhenti. Dunia berhenti. Waktu kita di dunia pun selesai.
Syukur: Lebih dari Sekadar Ucapan
Syukur bukanlah sebatas mengatakan “terima kasih” atau “alhamdulillah” di bibir. Syukur adalah kesadaran yang hadir dalam hati, diwujudkan dalam amal dan ketaatan. Al-Ghazali menyebut syukur sebagai buah dari ma'rifat, yakni pengenalan yang dalam terhadap Allah. Hanya mereka yang mengenal Allah dengan hati yang jernih, yang mampu menyadari bahwa setiap hela nafas adalah hadiah dari Sang Pencipta.
Maka, orang yang bersyukur bukan hanya mengucap, tetapi juga menggunakan nikmat itu untuk mendekatkan diri kepada Allah. Nafas yang disyukuri akan digunakan untuk dzikir, shalat, belajar, menasihati, membina keluarga, dan membangun kebaikan sosial.
Saatnya Menjadi Hamba yang Sadar
Umat Islam hari ini membutuhkan kesadaran spiritual yang mendalam, bukan sekadar ritual. Banyak orang shalat lima waktu, tetapi masih gelisah. Banyak yang membaca Al-Qur'an, tetapi jiwanya kosong. Itu karena kesadaran belum menyatu dengan ibadah. Kita masih menjalani ibadah sebagai kewajiban, bukan sebagai kehausan ruhani.
Renungkan: bagaimana mungkin kita meremehkan waktu, padahal setiap menit adalah nafas yang bisa jadi terakhir? Bagaimana mungkin kita menunda taubat, padahal setiap detik adalah pinjaman yang bisa dicabut tanpa pemberitahuan?
Tiga Langkah Syukur Nafas
Agar kita tidak menjadi hamba yang lalai, Imam Al-Ghazali mengajarkan tiga langkah syukur terhadap nafas:
1. Mengenal Nikmat
Sadari bahwa setiap hembusan nafas adalah karunia, bukan kepastian. Kita tidak berhak atas hidup ini. Semua hanya karena rahmat Allah.
2. Menyandarkan Nikmat kepada Allah
Jangan pernah merasa bahwa hidup ini hasil usaha kita. Nafas kita bukan hasil kerja paru-paru semata, tapi hasil kasih sayang Allah.
3. Menggunakan Nikmat untuk Ketaatan
Jadikan setiap nafas sebagai kendaraan menuju Allah. Jangan habiskan dalam kelalaian, kemaksiatan, dan kesia-siaan.
Nafas Terakhir: Penentu Abadi
Ingatlah, akan ada satu nafas terakhir dalam hidup kita. Satu tarikan nafas yang menjadi perpisahan dari dunia ini. Maka bijaklah menggunakan setiap nafas sebelum itu tiba.
Bayangkan jika kita mampu memaknai setiap nafas sebagai kesempatan untuk memperbaiki diri. Betapa beruntungnya hidup ini. Betapa ringannya langkah kita menuju akhirat.
Penutup: Hidup adalah Nafas Bernilai
Saudaraku, dalam dunia yang semakin riuh dan cepat ini, berhentilah sejenak. Dengarkan nafasmu. Rasakan hembusannya. Itu adalah pesan lembut dari Allah bahwa hidupmu masih berarti. Maka jangan tunggu sampai nafas berhenti untuk menyadari bahwa hidup adalah nikmat.
Gunakan nafasmu untuk sesuatu yang abadi. Karena nafas hari ini, bisa jadi adalah surat terakhir dari Allah untukmu.
"Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya."
(QS. Ibrahim: 34)
( Penulis Buku dan Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo )