TintaSiyasi.id -- Merespons adanya tambang batu gamping di Banggai Kepulauan, Analis Senior Pusat Kajian dan Analisa Data PKAD Ustaz Fajar Kurniawan mengatakan, Perda no 16 tahun 2019 tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem karst ada, namun izin-izin tambang terus diberikan.
"Banggai Kepulauan telah memiliki peraturan daerah no 16 tahun 2019 tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem karst yang seharusnya menjadi payung hukum untuk melindungi wilayah ini dari eksploitasi yang berlebihan, namun kenyataannya izin-izin tambang terus diberikan," ungkapnya di akun TikTok fajar.pkad, Rabu (25/6/2025).
Bayangkan 90 persen ekosistem karst di Banggai Kepulauan yang menyimpan air bersih, menopang pertanian dan menjadi rumah bagi spesies langka terancam oleh tambang batu gamping. Ia lengungkapkan, sebanyak 28 perusahaan telah mengajukan permohonan konsesi tambang batu gamping seluas 3395 hektar yang tersebar di 6 kecamatan dan 19 desa.
"Aktivitas penambangan berpotensi merusak struktur karst, menghilangkan sumber air dan mengganggu keseimbangan ekosistem yang telah terjaga sekian ratus tahun," terangnya.
Ia menjelaskan, dampaknya tidak hanya ekologis tetapi juga sosial dan budaya, masyarakat adat terutama perempuan yang menggantungkan hidup pada pertanian, perikanan, dan hutan akan kehilangan sumber penghidupan mereka, tradisi dan budaya lokal pasti terancam punah digantungkan oleh aktivitas industri yang tidak berkelanjutan.
"Banggai Kepulauan di Sulawesi Tengah bukan sekadar gugusan pulau yang indah, wilayah ini adalah rumah bagi ekosistem karst yang mencakup 95 persen daratannya, menyimpan 124 mata air, 103 sungai permukaan dan 5 danau termasuk Danau Paisu Pok Luk Panenteng yang terkenal itu. Ekosistem ini menjadi penopang utama kehidupan masyarakat lokal, menyediakan air bersih, lahan pertanian, dan habitat bagi spesies langka seperti Banggai Cardinal Fish dan Gagak Banggai," jelasnya.
Sehingga, menurut ia, ini bukan tentang Banggai Kepulauan ini tentu tentang bagaimana masyarakat memandang pembangunan dan keberlanjutan Indonesia ini.
"Apa kita terus mengejar keuntungan jangka pendek dengan mengorbankan lingkungan dan masyarakat atau kita memilih jalan yang menghargai alam dan budaya lokal. Saatnya kita bersuara dan menuntut kebijakan yang berpihak pada keberlanjutan dan keadilan lingkungan," pungkasnya.[] Alfia Purwanti