TintaSiyasi.id -- Setelah empat kali amandemen UUD 1945, istilah rechtsstaat tidak lagi tercantum secara eksplisit. Sebelumnya, istilah ini muncul dua kali dalam penjelasan umum UUD 1945 sebagai dasar bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat), bukan machtsstaat. Namun, setelah amandemen menghapus bagian penjelasan dan memasukkan norma langsung ke dalam pasal-pasal, istilah tersebut ikut ditiadakan. Pada perubahan ketiga (2001), prinsip negara hukum ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) dengan frasa netral: “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Menurut Mahfud MD (2012), meskipun rechtsstaat dan the rule of law sama-sama diterjemahkan sebagai "negara hukum", keduanya berbeda. Rechtsstaat bercorak administrative (tertulis), sedangkan the rule of law bersifat yudisial.
Tradisi hukum the rule of law berkembang, dianut dan dikembangkan oleh negara-negara Anglo Saxon seperti: Amerika Serikat, Inggris, Australia, sebagian besar negara persemakmuran (negara-negara kolonialisasi Inggris).
Sistem ini mula mula berasal dari Inggris, kekuasaan menonjol Raja adalah memutuskan perkara yang kemudian di kembangkan menjadi system peradilan. Raja mendelegasikan kekuasaannya kepada Hakim untuk mengadili dan menerima delegasi itu, akan tetapi dalam bertugas mengadili ia (hakim) bukan melaksanan kehendak Raja. Ketika itu di Inggris Hakim tidak mengadili berdasarkan Dekrit tentang peraturan seperti yang terjadi di Romawi, melainkan mengadili berdasar The Common Custom Of England.
Pada Civil Law System dianut prinsip rechtsstaat yang bersumber dari tradisi hukum negara-negara Eropa Kontinental (Eropa daratan) dan legisme yang menganggap hukum adalah hukum tertulis. Kebenaran hukum dan keadilan terletak pada ketentuan bahkan pembuktian tertulis.
Dilatarbelakangi oleh kekuasaan raja pada zaman Romawi yang ketika itu mempunyai kekuasaan menonjol dalam membuat peraturan peraturan melalui berbagai dekrit. Raja kemudian mendelagasikan kekuasaan tersebut kepada pejabat pejabat administratif untuk membuat pengarahan tertulis kepada Hakim tentang cara memutus perkara.
Indonesia Belum Merdeka dari Sistem Hukum
Kalau kita perhatikan penerapan sistem hukum di Indonesia saat ini, walaupun telah diamandemen sebanyak 4 (empat) kali, juga tidak disebutkan secara langsung dalam pembukaan, batang tubuh dan penjelasaan UUD NRI 1945, perihal negara hukum seperti apa, sebagaimana sebelum amandemen disebutkan secara lansung dalam pasal dan penjelasan umum UUD 1945 bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat), bukan machtsstaat (kekuasaan), namun dapat dinalar bahwa sebenarnya Indonenesia masih dan sedang mempraktekkan sistem hukum rechtsstaat dengan ciri khas hukumnya adalah hukum tertulis (positisme hukum).
Lagi pula bahwa sistem hukum rechtsstaat ini, bersumber dari tradisi hukum negara-negara Eropa Kontinental atau eropa daratan yang salah satunya adalah Belanda, pernah menjajah Indonesia cukup lama, sehingga tidak bisa dinafikan secara historis hubungan antara Indonesia dan Belanda yang mempengaruhi ndonesia masih mempraktekkan tradisi sistem hukum rechtsstaat (hukum tertulis) sampai saat ini.
Artinya Indonesia masih mewarisi sistem hukum penjajah (Belanda), hanya pelakunya yang berbeda. Dulu sebelum Indonesia merdeka dari pendudukan kolonial penjajah Belanda, sistem hukum ini dijalankan oleh Belanda langsung, namun setelah penjajah kolonial Belanda meninggalkan Indonesia digantikan oleh orang-orang Indonesia dengan sistem hukum yang sama, yaitu sistem hukum penjajah. Termasuk produk hukumnya yang masih eksis dan diterapkan saat ini adalah KUHP Pidana, KUHP Perdata, KUHD Dagang. Indonesia memang secara bertahap mengganti produk hukum kolonial dengan peraturan nasional, namun prosesnya masih sering kali merujuk, menyempurnakan, atau bahkan tetap mengacu pada hukum warisan Belanda tersebut.
Benar bahwa kita telah Merdeka dari pendudukan langsung penjajah kolonial Belanda, akan tetapi kita belum Merdeka dari penerapan sistem hukum feodalisme penjajah kolonial Belanda.
NKRI Tidak Harga Mati
Mereka yang sering meneriakkan "NKRI Harga Mati" lupa bahwa UUD 1945 telah diamandemen empat kali, membuktikan bahwa NKRI bukanlah sesuatu yang absolut. Bahkan Timor Timur, dahulu bagian dari Indonesia, resmi memisahkan diri melalui referendum PBB pada Oktober 1999, dengan mayoritas memilih merdeka.
Perubahan adalah keniscayaan. Seandainya seluruh wilayah kaum Muslim, dari Merauke hingga Maroko, kembali bersatu di bawah satu kepemimpinan Khalifah seperti masa Khilafah Islamiyah—yang berdiri sejak 622 M hingga dibubarkan pada 1924 M oleh Mustafa Kemal atas konspirasi Inggris dan sekutunya—maka persatuan umat akan kembali nyata. Pasca kehancuran Khilafah, dunia Islam terpecah menjadi lebih dari 50 negara bangsa dan masih mewarisi produk-produk hukum kolonial. Hanya sebagian kecil negeri Islam, seperti beberapa negara di Jazirah Arab, kecuali yang tidak dijajah dengan pendudukan lansung, namun penguasanya tetap dikontrol oleh penjajah, sehingga akan kita lihat di negara tersebut masih eksis hukum-hukum Islam. dan masih mempertahankan sebagian hukum Islam.
Spirit Hukum Kolonial Penjajah Adalah Sekularisme Kapitalisme
Sekularisme lahir dari konflik panjang antara rakyat dan penguasa agama serta kaisar tiran di Eropa, yang berujung pada pemisahan agama dari kehidupan dan negara. Barat pun membangun peradaban dengan menyingkirkan agama dari ruang publik. Hukum, politik, ekonomi, pendidikan, dan layanan sosial diserahkan sepenuhnya kepada manusia. Demokrasi dijadikan sistem politik, kapitalisme sebagai sistem ekonomi, dan pergaulan bebas tanpa batas menjadi norma sosial.
Saat Barat menjajah negeri-negeri Islam, terutama sejak 1916 pasca Perang Dunia I, mereka membawa serta ide sekularisme ke dunia Islam. Sekularisme pun menyebar luas bak virus yang merusak tubuh umat hingga tak lagi mengenali jati dirinya. Ia menjalar ke seluruh aspek kehidupan, membuat umat tak sadar bahwa agama telah kehilangan perannya sebagai sumber hukum.
Dengan disingkirkannya agama dari kehidupan, manusia menjadikan dirinya sebagai sumber hukum dan standar moral, bukan lagi Allah SWT. Akibatnya, kemuliaan diukur dari kekayaan, jabatan, dan popularitas, meski diraih dengan cara haram. Padahal dalam Islam, kemuliaan ditentukan oleh ketakwaan, bukan pencapaian duniawi.
Islam menegaskan bahwa hukum harus bersumber dari wahyu, bukan hawa nafsu manusia, sebagaimana perintah Allah dalam QS. Al-Maidah: 48 dan An-Nisa: 59. Ketika agama tidak dijadikan rujukan, manusia cenderung menghalalkan segala cara demi kemuliaan duniawi, termasuk korupsi dan kezaliman lainnya.
Allah SWT, menegaskan bahwa yang paling mulia di sisi-Nya adalah yang paling bertakwa (QS. Al-Hujurat: 13). Imam Ath-Thobari menjelaskan bahwa kemuliaan bukanlah dari harta atau keturunan, tetapi ketaatan kepada Allah.
Islam sejatinya telah menyediakan solusi atas seluruh persoalan hidup (QS. An-Nahl: 89) dan merupakan satu-satunya sistem terbaik (QS. Al-Maidah: 50). Dengan menerapkan Islam secara menyeluruh, umat akan keluar dari kegelapan menuju cahaya, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Baqarah: 257 dan 208. []
Syamsir
Pemerhati Islam Ideologis