TintaSiyasi.id -- PR Dihapus, Pendidikan Diperbaiki?
Isu penghapusan pekerjaan rumah (PR) bagi siswa kembali mencuat sebagai bagian dari wacana perbaikan sistem pendidikan nasional. Sebagian orang tua dan pemerhati pendidikan menyambutnya sebagai kabar baik yang memberi ruang relaksasi dan kesehatan mental bagi anak. Namun tak sedikit pula yang khawatir: akankah ini menurunkan kualitas akademik dan daya saing generasi?
Pertanyaan yang lebih mendasar adalah: apakah PR selama ini benar-benar mendidik, atau justru hanya menjadi beban mekanistik tanpa makna?
1. Antara PR dan Aktivitas Rumah: Apa Masih Bisa Mendidik?
Secara konvensional, aktivitas seperti mencuci piring, mengepel lantai, atau membantu orang tua di rumah memang tidak tampak mendukung langsung aspek literasi, numerasi, atau nalar ilmiah siswa. Namun dalam pendekatan pembelajaran modern—khususnya life-based learning—semua aktivitas bisa menjadi wahana pendidikan, asalkan dirancang dengan pedagogi yang tepat.
Misalnya:
Siswa mencatat waktu mencuci piring setiap hari → numerasi dan manajemen waktu,
Menulis refleksi harian aktivitas rumah → literasi dan jurnalistik sederhana,
Menganalisis efisiensi kerja harian → daya nalar ilmiah dan problem-solving.
Lebih dari itu, tugas-tugas rumah tangga juga menanamkan karakter luhur, seperti tanggung jawab, empati terhadap orang tua, kemandirian, dan disiplin.
Artinya, bukan PR-nya yang esensial, tetapi nilai dan pengalaman belajar yang dibangun melalui aktivitas kontekstual. Maka guru harus didorong untuk kreatif mendesain pembelajaran berbasis kehidupan nyata (real-life project).
2. Apakah Tingkat Stres Pelajar Berkurang Jika PR Dihapus?
Data dan pengalaman menunjukkan bahwa beban PR berlebih berkontribusi pada peningkatan stres, cemas, bahkan gejala depresi pada pelajar—terutama:
Anak dari keluarga miskin yang tidak punya akses les privat atau gadget untuk mencari jawaban PR,
Siswa di perkotaan yang orang tuanya sibuk dan tidak mampu mendampingi anak belajar,
Remaja yang setiap hari dijejali tugas tanpa waktu bermain, refleksi, atau olahraga.
Dengan meniadakan atau menyederhanakan PR, siswa berpeluang:
Mengembangkan kebiasaan membaca karena kesadaran, bukan paksaan,
Terlibat dalam aktivitas keluarga dan sosial yang menyehatkan mental,
Mengisi waktu luang dengan eksplorasi bakat atau kegiatan keagamaan.
Namun tentu saja, PR yang hilang harus digantikan dengan pembelajaran bermakna di sekolah—bukan dibiarkan kosong dan akhirnya diisi konten digital yang dangkal dan berbahaya.
3. Bagaimana Guru Menilai Aktivitas Rumah Siswa?
Inilah tantangan terbesar dalam pembelajaran kontekstual: penilaian bersifat subjektif dan naratif. Namun hal ini bisa disiasati dengan berbagai pendekatan modern, seperti:
Portofolio kegiatan: siswa membuat jurnal atau video reflektif atas aktivitas rumahnya.
Self-assessment dan peer review dengan panduan rubrik sederhana.
Presentasi informal di kelas tentang pengalaman dan pelajaran yang didapat.
Guru tidak lagi sekadar menilai angka, tapi mengamati perubahan sikap, karakter, dan pemahaman siswa secara holistik.
Namun tantangan teknis tentu ada: guru perlu pelatihan dalam membuat asesmen otentik, serta butuh dukungan sistem digital yang memudahkan dokumentasi, bukan menambah beban administratif.
4. Apakah Ini Sejalan dengan Visi Pendidikan Nasional?
Jika kita merujuk pada semangat Merdeka Belajar, maka penghapusan PR bisa sangat relevan. PR yang selama ini hanya menjadi rutinitas hafalan dan salin-menyalin memang layak diganti dengan:
Pembelajaran aktif dan kolaboratif,
Tugas berbasis proyek kehidupan nyata,
Aktivitas yang menumbuhkan daya pikir kritis dan empati sosial.
Namun jika penghapusan PR tidak diiringi perbaikan kualitas pembelajaran di sekolah, maka:
Waktu belajar siswa akan berkurang drastis,
Potensi degradasi mutu pendidikan akan terjadi,
Anak justru lebih banyak terpapar distraksi digital daripada pembelajaran.
Kuncinya bukan sekadar hapus atau tidak hapus PR, tapi bagaimana reformasi pendidikan secara menyeluruh dikerjakan: dari metode mengajar, sistem asesmen, hingga visi guru sebagai pendidik yang inspiratif.
5. Apa Akar Masalah Pendidikan Kita? (Sebuah Tafakur Islam)
Dari perspektif Islam, problem utama pendidikan bukanlah soal teknis seperti PR atau kurikulum, melainkan krisis arah dan makna pendidikan.
a. Krisis Tujuan Pendidikan
Pendidikan sering terjebak dalam angka, ijazah, dan ranking. Padahal Islam mengajarkan bahwa ilmu adalah jalan menuju taqwa dan adab, bukan sekadar prestasi dunia.
"Tujuan ilmu adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk berdebat dan berbangga diri."
— Imam Al-Ghazali
b. Ketidakhadiran Keteladanan
Pendidikan kehilangan sosok guru sebagai murabbi (pendidik ruhani), bukan sekadar mu’allim (pengajar materi). Rasulullah SAW adalah pendidik par excellence yang bukan hanya menyampaikan ilmu, tapi membentuk karakter umat.
c. Minimnya Integrasi Iman dan Sains
Islam tidak memisahkan ilmu dengan akhlak. Sains dan iman, akal dan ruh, pendidikan dan ibadah harus berjalan seiring.
Pendidikan ideal melahirkan insan:
Yang berpikir tajam sekaligus berperilaku santun,
Yang tahu banyak tapi tetap rendah hati,
Yang berkarya di dunia tapi hati terpaut pada akhirat.
Penutup Reflektif
Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah para ulama."
(QS. Fathir: 28)
PR boleh dihapus, boleh juga tetap ada. Tapi tujuan pendidikan tak boleh dilupakan: membentuk insan yang beriman, berilmu, dan beradab.
Inilah cita-cita pendidikan Islam yang holistik dan transformatif—yang bukan hanya mencetak lulusan, tapi melahirkan pemikul amanah peradaban.
Dr. Nasrul Syarif, M.Si. (Pemerhati Pendidikan dan Motivator Pendidikan Islam Integratif)