TintaSiyasi.id -- Pernahkah Anda bertanya-tanya, mengapa di era yang serba digital dan penuh kemajuan ini, jurang antara yang kaya dan yang miskin justru semakin menganga? Di saat segelintir elit berendam dalam kemewahan, jutaan saudara kita masih berjuang melawan kemiskinan dan kebodohan.
Ini bukan sekadar data statistik belaka. Ini adalah realitas kasat mata yang menusuk kalbu, yang setiap hari kita saksikan di layar kaca maupun di sudut-sudut kota. Ini juga bukan kebetulan. Lebih dari itu, kemiskinan dan kelangkaan yang kita alami bersama ini adalah sebuah konstruksi yang nampaknya sengaja untuk diciptakan.
Pernahkah terbayang, mengapa kita tak pernah merasakan hidup berkecukupan? Mengapa ada saja "kebutuhan baru" yang mendesak untuk terus kita penuhi, kita cari, dan wajib kita konsumsi? Jawabannya sederhana namun begitu kuat. Yaitu agar kita mudah untuk dikontrol dan dikendalikan.
Mari kita pikirkan. Jika semua orang tercukupi kebutuhannya, jika setiap individu mandiri dan berdaya, bukankah mereka akan jauh lebih sulit untuk diatur? Itulah mengapa para penguasa, melalui sistem yang disebut Kapitalisme, terus-menerus menciptakan kebutuhan artifisial.
Mereka memproduksi barang dan jasa yang kadang tak benar-benar kita butuhkan, lalu mendorong kita untuk mengejarnya dan memilikinya, bahkan dengan cara mengundi nasib serta pinjaman riba. Mereka menjadikan akses terhadap "kebahagiaan" dan "kesuksesan" seolah hanya bisa didapatkan melalui jalur yang mereka kendalikan.
Kapitalisme adalah sebuah siklus tak berujung yang dimulai dari produksi massal, iklan yang viral, konsumsi diluar batas akal, yang berujung pada akumulasi kekayaan yang terus berputar hanya pada tangan segelintir orang saja.
Di tengah inflasi yang mencekik, harga kebutuhan pokok yang melambung, dan krisis moral yang nyata, sistem ini seolah membisikkan sesuatu pada telinga kita, bahwa ini sebuah : "kewajaran". Sehingga kita harus selalu mengejar, meskipun hati kecil kita berkata bahwa : "Ini tidak benar!".
Ketika Distribusi Adalah Solusi
Lantas, adakah jalan keluar dari lingkaran setan ini? Adakah sistem yang benar-benar berpihak pada kesejahteraan manusia bukan segelintir kaum elit saja? Bagaimana cara untuk keluar dari tipuan judi dan jeratan riba?
Jawabannya, ada. Dan ia telah terbukti selama berabad-abad lamanya. Berbeda dengan Kapitalisme yang fokus pada akumulasi modal dan konsentrasi kekayaan, Islam menempatkan distribusi sebagai jantung ekonominya. Islam memahami bahwa harta adalah amanah, dan kemakmuran harus dirasakan oleh semua bukan hanya pada segelintir orang kaya.
Melalui pengembalian kepemilikan pada pihak yang dibenarkan oleh Syariat, kemakmuran dan keberkahan harta bisa dirasakan bersama. Melalui mekanisme seperti zakat, infak, sedekah, dan syirkah, Islam secara aktif mencegah penumpukan kekayaan.
Pelarangan kanzul maal (penumpukan harta), serta ihtikar (penimbunan barang), sistem Islam menciptakan aliran harta yang terus bergerak dari yang berkecukupan kepada yang membutuhkan. Berbagai kemaksiatan yang terjadi pada pengelolaan harta bisa diminimalisir karena adanya qadhi yang bertugas mengawasinya.
Bayangkan, di tengah isu kelangkaan pangan dan kesenjangan ekonomi global, sistem ini menawarkan solusi konkret. Ia membangun jaring pengaman sosial yang kokoh, memastikan setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk memenuhi kebutuhannya, tanpa terjerat hutang riba, judi online yang didorong oleh masifnya iklan dan keserakahan pasar.
Panggilan untuk Kembali kepada Syariat Islam
Melihat realitas ini, di tengah segala disrupsi dan ketidakpastian global yang kita alami saat ini, sudah saatnya kita bertanya pada diri sendiri, sistem hidup mana yang benar-benar selaras dengan fitrah penciptaan manusia? Apakah sistem yang melahirkan kegelisahan dan ketidakadilan, ataukah sistem yang menjamin ketenangan dan kesejahteraan bagi setiap jiwa manusia?
Ini bukan sekadar ide atau teori yang tertulis didalam buku sekolah. Sistem Islam justru berakar pada akidah serta mu'alajah musykilah sebagai solusinya. Oleh karena itu, sistem ini memuaskan akal, menentramkan hati dan sesuai dengan fitrah penciptaan manusia.
Kembali pada Islam adalah panggilan yang mendesak untuk mengembalikan kita sebagai manusia seutuhnya. Kehidupan yang memastikan setiap kebutuhan manusia terpenuhi, baik kebutuhan asasiyah seperti : pangan, sandang, papan yang layak serta rasa aman, bahkan kebutuhan intelektual dan spiritual kita semua bisa terpenuhi secara seimbang tanpa melanggar aturan Tuhan.
Ketika kita kembali pada fitrah ini, kita tidak hanya menemukan solusi untuk masalah kemiskinan dan kebodohan. Lebih dari itu, kita akan menemukan kedamaian dan kebahagiaan hakiki yang selama ini kita cari dalam hiruk pikuk dunia yang diatur dengan sistem buatan manusia.
Bukankah ini yang sesungguhnya kita dambakan selama ini? Wallahu a'lam bishshawab. []
Trisyuono D.
(Aktivis Muslim)