Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Korupsi Tak Pernah Mati, Cacat Moral atau Sistem?

Selasa, 10 Juni 2025 | 11:18 WIB Last Updated 2025-06-10T04:18:16Z

TintaSiyasi.id -- Ibarat virus, korupsi tak pernah hilang dari tubuh negeri ini. Dari tahun 2024 hingga awal 2025, sekitar 300 pejabat dari berbagai tingkatan mulai dari kepala daerah hingga anggota DPR dan DPRD telah terjerat kasus korupsi (News.detik.com, 21/5/2025). Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang gencar melakukan Operasi tangkap tangan (OTT) pun seolah hanya mengobati gejala, bukan akar penyakit. Para pelaku korupsi kerap kali bebas dengan hukuman yang minim dan masih memiliki kebebasan untuk kembali mengakses kekuasaan. Dilansir dari catatan ICW bahwa sekitar 59 terdakwa korupsi divonis di bawah 4 tahun penjara, malah ada yang divonis bebas (Tempo.co, 14/10/2024). Yang lebih miris ada pelaku korupsi yang divonis ringan dengan alasan sikap sopan dan tanggungan keluarga (Liputan6.com, 24/12/2024). Pertanyaannya apakah ini cermin kegagalan moral, atau bukti bahwa sistem yang cacat sejak awal?

Jika yang kita salahkan hanya individu yang korup, maka sebenarnya kita sedang menutup mata terhadap masalah yang lebih besar. Korupsi bukan hanya masalah etika personal, tapi sebuah sistem yang memberi ruang bagi pelaku untuk memperkaya diri tanpa takut konsekuensi serius. Kelemahan dan kelambanan sistem hukum Indonesia membebaskan koruptor untuk terus beraksi tanpa hambatan. Politik transaksional yang menjadikan jabatan sebagai barang jual beli turut memperburuk keadaan. Dalam sistem kapitalisme yang diterapkan bangsa ini, orientasi keuntungan finansial di atas segala-galanya membuat konsep halal dan haram jadi semata pilihan pribadi, bukan hukum yang adil untuk semua pihak. Selain itu, sekularisme yang memisahkan agama dari urusan negara menjadikan nilai-nilai agama kehilangan tempat dalam pengambilan keputusan hukum. Dampaknya, korupsi tidak dipandang sebagai sebuah dosa berat, melainkan hanya sebagai risiko kecil yang dianggap lumrah.

Di sisi lain, Islam datang menawarkan solusi yang tidak hanya berbeda tapi juga menyentuh akar masalah secara menyeluruh. Dalam Islam, korupsi adalah bentuk penghianatan serius terhadap amanah umat yang tidak bisa ditoleransi. Pemimpin dalam Islam diangkat bukan sebagai penguasa yang berkuasa untuk diri sendiri, melainkan sebagai pelayan umat yang bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya. Hukum Islam sangat tegas bagi para koruptor, bahkan dalam sejarahnya para pemimpin yang melakukan penyelewengan dihukum berat dan diganti secara cepat.

Dalam hukum Islam, pelaku korupsi wajib mengembalikan seluruh harta yang dikorupsi dan dapat dijatuhi hukuman takzir, yakni hukuman yang ditentukan oleh hakim sesuai tingkat kejahatan dan dampaknya. Hukuman ini bisa berupa penjara, denda atau sanksi sosial, bahkan yang paling berat yaitu hukuman mati. Jenis hukuman mati yang diberikan kepada pelaku korupsi bisa berupa hukuman gantung atau hukuman pancung, tergantung dari berat atau ringannya kejahatan yang dilakukan (Abdurrahman al-Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 78—89).

Sementara itu, dalam sistem ekonomi, Islam juga melarang praktik riba, suap, dan monopoli yang selama ini menjadi akar masalah korupsi dan ketimpangan ekonomi. Lebih dari itu, Islam mengenal sistem pengawasan masyarakat melalui mekanisme amar makruf nahi mungkar (menyuruh kebaikan dan mencegah kemungkaran), yang memastikan pejabat tidak bisa leluasa menjalankan korupsi tanpa pengawasan ketat dari masyarakat.

Ketakwaan individu juga menjadi hal yang disuburkan dalam sistem Islam. Oleh karena itu, proses penetapan hukum bagi pelaku akan berjalan dengan mudah. Sebab pelaku dengan ketakwaannya akan menyadari bahwa hukum di akhirat akan jauh lebih berat, sehingga pelaku akan ridha dengan sanksi yang diberikan. 

Operasi tangkap tangan memang memberi secercah harapan, namun itu belum menyentuh akar masalah. Ibarat memangkas ranting dari pohon yang akarnya telah membusuk, tindakan itu tak akan menghentikan kerusakan yang terus menjalar. Selama sistem yang cacat dan budaya permisif terhadap penyimpangan tetap dibiarkan, korupsi akan terus tumbuh, menggerogoti negeri ini. Sampai kapan kita rela terjebak dalam siklus ini? Sudah saatnya kita membuka mata pada solusi hakiki: penerapan syariat Islam secara kaffah, bukan hanya sebagai jawaban moral dan spiritual, tetapi sebagai solusi sistemik yang mampu membasmi kezaliman dari akarnya dan menghadirkan keberkahan sejati bagi negeri ini. Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Ridwan Saleh Muthalib
Praktisi Pendidikan

Opini

×
Berita Terbaru Update