Tintasiyasi.ID -- Perhimpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI) mengatakan bahwa di dalam konflik yang terjadi antara Israel dan Iran, posisi Israel lebih diuntungkan lantaran memiliki beberapa mitra utama di Timur Tengah.
"Posisi Israel lebih diuntungkan daripada Iran.
Israel telah memiliki beberapa mitra utama di Timur Tengah termasuk Mesir,
Yordania, Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Maroko," ucapnya dalam Intelektual
Opinian yang diterima TintaSiyasi.ID, Senin (16/06/2025).
Lanjutnya, dalam konteks lain negara-negara Arab juga
lebih memilih berdiri di sisi menghadapi Iran dibanding bersama Iran yang
selama ini dianggap ancaman oleh Arab karena mazhab Syiahnya dan
kelompok-kelompok proksinya di Timur Tengah.
"Keuntungan Israel berikutnya adalah dukungan
kuat dari negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa.
Israel adalah penerima bantuan militer terbesar dari AS sebanyak USD3,8 miliar
per tahun, dengan dukungan diplomatik aktif di PBB dan perlindungan dari sanksi
internasional," ungkapnya menjelaskan.
Alhasil, HILMI menilai jika perang berlanjut, AS dan
sekutunya bisa terlibat langsung atau tak langsung membantu Israel. “Hal ini
kontras dengan posisi Iran yang kerap terisolasi secara politik dan ekonomi
akibat sanksi internasional atas program nuklirnya, dan dikaitkan dengan
kelompok-kelompok milisi bersenjata seperti Hizbullah, Hamas, dan Houthi,” bebernya.
"Selama ini yang berpotensi menopang Iran
hanyalah Rusia atau China yang juga banyak berseberangan dengan AS,"
ujarnya.
Adapun, HILMI meyakini kondisi ekonomi dan politik
domestik Iran serta peta aliansi politik regional dan global, akan memaksa Iran
membatasi skala perang. “Sebaliknya, dampak perang dua tahun terakhir secara
ekonomi, politik, sosial, dan militer membuat Israel berpikir panjang untuk
membuka fron perang baru apalagi yang skalanya antar negara,” ujarnya
menganalisis.
"Dalam konteks internal Iran, ekonomi negara
sedang buruk karena Inflasi tinggi, menurunnya nilai tukar rial, ekspor minyak
turun, termasuk krisis energi dalam negeri menyebabkan pemadaman listrik harian
dan kelangkaan bahan bakar. Situasi ini diperparah oleh krisis pangan dan air
yang meluas yang memicu kritik dan protes besar di masyarakat," terangnya.
Namun, HILMI melihat di sisi lain Israel juga
menghadapi tekanan ekonomi akibat perang Gaza dan konflik penyertanya. “Ekonomi
Israel berkontraksi hingga -19 persen pada akhir 2023, dengan konsumsi rumah
tangga turun drastis dan sektor konstruksi serta pariwisata nyaris lumpuh.
"Mobilisasi 300 hingga 360 ribu reserve
menimbulkan kekosongan tenaga kerja. Secara umum, perang Gaza diperkirakan akan
merugikan Israel sekitar 255 miliar shekel atau sekitar US$70,3 miliar
hingga akhir 2025," bebernya.
Terlebih, HILMI menilai sejak Oktober 2023, warga
Israel juga mengalami efek psikologis mendalam akibat perang. “Berdasarkan data
dari Haifa University 60 persen warga dewasa yang tak langsung terdampak
konflik mengalami gejala stres berat atau awal post-traumatic stress
disorder (PTSD),” ungkapnya.
"Menurut data State Comptroller, sekitar 3
juta orang dewasa (38 persen populasi) menunjukkan depresi, kecemasan, atau
PTSD pada level sedang hingga parah dalam 580.000 kasus yang parah. Puluhan
ribu tentara IDF terkena stress dan sekitar 100.000 yang terluka,"
tandasnya.
"Data Central Bureau of Statistics
menunjukkan bahwa 550.000 warga Israel meninggalkan negara ini dalam 6 bulan
pertama perang, 82.700 memutuskan pindah pada 2024, dan hanya 23.800 orang yang
kembali. Tekanan politik internal menuntut perang berakhir, adili Netanyahu,
dan pembebasan tahanan," pungkasnya.[] Taufan