Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Global March to Gaza: Bukti Terbaru Gagalnya Nasionalisme dan Seruan Kembali pada Sistem Islam

Sabtu, 21 Juni 2025 | 16:33 WIB Last Updated 2025-06-21T09:33:53Z

Tintasiyasi.id.com -- Sejak gelombang agresi besar-besaran oleh Israel ke Gaza dimulai pada Oktober 2023, kawasan tersebut telah menjadi saksi tragedi kemanusiaan yang mengguncang nurani dunia.

Lebih dari 50.000 warga sipil—termasuk anak-anak, perempuan, dan lanjut usia—telah tewas; rumah-rumah, rumah sakit, dan infrastruktur vital hancur; bantuan medis dan logistik nyaris tidak dapat menembus blokade Israel. 

PBB memperingatkan kemungkinan krisis kelaparan, sementara WHO mencatat populasi yang mengungsi melampaui 50 persen. Namun dunia internasional, termasuk negara-negara Muslim, hanya mampu bersikap pasif: 

bersuara melalui resolusi, dorongan diplomatik, atau sekadar mengirim bantuan simbolik, tanpa ada sistem politis yang menyentuh akar permasalahan.

Dalam konteks itu muncul gerakan “Global March to Gaza” (GMtG)—sebuah konvoi darat internasional yang direncanakan melewati Tunisia, Libya, Mesir, lalu menuju perbatasan Rafah pada pertengahan Juni 2025.

Ribuan orang dari puluhan negara berkumpul, sebagian tiba di Kairo atau Al-Arish, sebagian naik bus dari Tunis melintasi gurun Libya, keteguhan mereka bukan karena ambisi politik, tetapi karena kemanusiaan telah kehilangan harapan terhadap solusi nyata.

Mereka adalah guru, mahasiswa, jurnalis, petani, dan aktivis kemanusiaan—bukan milisi, bukan diplomat. Namun pada 12–13 Juni, kehadiran mereka dibendung oleh diktum negara-bangsa:

Di checkpoint Ismailia, kapal bis terhenti, paspor disita, ratusan peserta ditahan dan dideportasi—lebih dari 200 di Bandara Kairo, 88 lainnya melalui jalur darat; banyak yang akhirnya dilempar pulang ke Istanbul atau negara asal mereka.

Kejadian ini mencerminkan paradoks tragis: negara-negara mayoritas Muslim yang seharusnya menjadi koridor solidaritas, malah menjadi penghalang. Mesir, sebagai penjaga Rafah, menggunakan alasan keamanan dan prosedur administratif untuk menolak akses; Libya ikut menghalangi agar konvoi yang datang dari Tunis tidak sampai menerobos ke Sinai.

Reaksi lokal pun keras—warga dan aparat keamanan menangkis demonstran secara fisik, beberapa menghujani mereka dengan botol dan cambuk.

Akibatnya, GMtG tidak mampu mencapai Rafah. Mereka berhasil mengumpulkan publisitas dan simpati dunia, namun gagal memecah blokade sistemik. Aksi ini sejatinya menunjukkan dua hal sekaligus: betapa besar kemarahan umat terhadap dosa global yang tengah berlangsung, dan betapa rapuhnya gerakan kemanusiaan yang berhadapan dengan sekat negara-bangsa dan kepentingan geopolitik.

Dalam dimensi moral, penahanan terhadap mereka yang membawa air, obat, dan energi kemanusiaan menegaskan suara Ali Amril dari Aliansi Kemanusiaan Indonesia yang mengungkapkan, “Jika mereka yang membawa air dan obat saja diusir, lalu apalagi yang tersisa dari nilai kemanusiaan kita?”. Namun di balik retorika nilai, terdapat hambatan struktural: nasionalisme negara, ketergantungan rezim terhadap aliansi militer, dan solidaritas simbolis yang dikalahkan oleh tekanan politik—itulah kenyataan pahit yang perlu disadari.

Sejarah memiliki janji pahit untuk nasionalisme modern. Konsep negara-bangsa lahir dari dekonstruksi wilayah kekhilafahan—sistem politik Islam universal yang tumbuh sepanjang sejarah muslim selama lebih dari 1.300 tahun.

Penegakan khilafah diserang dan digantikan oleh sekularisme modern, nasionalisme, serta etnisasi politik atas nama kedaerahan dan identitas se-teritorial. Hasilnya, umat muslim tercerai berai: Indonesia dengan Pancasila, Mesir dengan otoritarianismenya, Suriah, Irak, semua makin terisolasi dalam bangunan sekular politik yang terikat ikatan kewarganegaraan, bukan ummat.

Akibat sistem tersebut: saat Gaza dibombardir dan seluruh dunia menyaksikan, para tentara negara-bangsa dan pemerintahan Muslim tetap memilih diam. Mereka mendukung pandangan global: menjaga stabilitas, mengikuti jalur diplomatik, mempertahankan aliansi militer.

Rakyat sipil Palestina dibiarkan oleh negara sendiri, sedangkan pembantaian tetap berlangsung—sebuah ketidakadilan yang terbentuk bukan karena kurangnya kemanusiaan, tetapi karena sistem politik umat yang haus legitimasi Barat.

Apakah lalu solusi hanya berupa amplop bantuan dan aksi simbolis? Dunia sadar akan Gaza, namun tidak bisa memasuki Gaza. GMtG membuktikan bahwa tanpa kepemimpinan politik yang nyata, bantuan pun tak bisa dipaksakan. Lembaga internasional, PBB, maupun organisasi kemanusiaan global hanya bisa memberikan tekanan moral, tapi tidak bisa menembus tembok geopolitik yang dibangun.

Dalam situasi seperti ini, keberadaan khilafah—sistem pemerintahan Islam ala Rasulullah ﷺ—menjadi relevan secara mendasar. Berbeda dari nasionalisme, khilafah adalah institusi politik yang dibangun dari akidah; ia memandang umat Islam sebagai satu tubuh yang saling terikat keimanan dan kewajiban; sistem ini menjalankan Syariah, melindungi seluruh wilayah kaum muslimin tanpa melihat batas negara; menerapkan keadilan universal; dan menegakkan persatuan sejati.

Sejarah mencatat: Piagam Madinah sebagai blueprint tata kelola multikultural sejati dalam satu negara; khilafah selama Dinasti Umayyah, Abbasiyah, Utsmaniyah berhasil menyejahterakan, melindungi, menuntun umat sejahtera. Negara-bangsa modern dibangun agar Barat bisa menguasai sumber daya tanpa perlawanan ideologis dari kekuatan politik Islam. Akibatnya, Islam kafah digantikan kapitalisme dan sekularisme—lalu negara dibatasi oleh aliansi luar, dan masyarakat dibatasi oleh etnis dan wilayah politik.

Islam kaffah implikasinya bukan hanya ibadah ritual, tapi sebuah tata kelola total: hukum syariah, ekonomi Islami, militer defensif, pita politik global. Di bawahnya, bantuan tidak perlu izin internasional; tentara tidak menembak rakyat mereka sendiri; negara tidak memilih untuk diam ketika saudara mereka dibantai; dan suara umat Islam terorganisir dalam satu sistem politik yang mampu menekan Israel atau penjajah lainnya melalui diplomasi dan kekuatan legal-politik internasional.

GMtG adalah simbol keberanian moral—tubuh-tubuh yang melawan panas dan sekat—namun gagal menerobos mafhum sistem negatif dunia hari ini. Ia membuka perdebatan: bahwa solusi sejati bukan pada tenda pengungsian, bukan pada rapat PBB, bukan pada resolusi atau sanksi parsial.

Solusi berada pada perpolitikan Islam kaffah: membangun institusi yang konsisten memperjuangkan tegaknya khilafah sebagai realitas politik internasional.
Kini umat Islam dihadapkan pada dua jalan: terus berproduksi dukungan moral dan simbol, atau mengorganisir kekuatan politik ideologis—yaitu mendirikan dan mendukung partai politik yang menempatkan institusi khilafah sebagai visi akhir, jalan utama, dan strategi permanen.

Partai seperti ini tidak berbasis kekuasaan lokal atau etnis, melainkan pada akidah global, visi Islam kaffah, dan komitmen nyata untuk melepaskan diri dari sistem negara-bangsa.

Dalam konteks modern, partai semacam ini melibatkan aspek berikut:

Membentuk agenda politik umat, hubungan internasional berbasis akidah Islam, dan kebijakan luar negeri mandiri.

Mendorong peraturan dalam negeri yang menyelaraskan kebijakan negara dengan prinsip-prinsip Islam kaffah.

Membangun sistem ekonomi mandiri, tidak bergantung Barat, agar bantuan dan dukungan kemanusiaan dari dalam dan antar wilayah umat bisa diorganisir tanpa batas politik.

Menyiapkan institusi pemerintahan global yang mampu berfungsi saat krisis—memfasilitasi alur logistik, perlindungan hukum, dan lobi global umat. Melalui cara tersebut, gerakan moral seperti GMtG tidak lagi menjadi simbolisme kosong, tetapi mampu mengubah diplomasi global dan membuka akses ke jalur kemanusiaan yang nyata. 

Gaza tidak akan selalu menanti selimut bantuan: dengan institusi khilafah yang tegas terhadap penjajah, blokade akan runtuh, aksesistensi bantuan akan menjadi hak, bukan permintaan.
Saatnya umat Islam kembali kepada hakikat dan komitmen akidah: Islam kaffah sebagai jalan hidup total. Khilafah bukan imajinasi kosong, melainkan sistem politik yang memiliki fondasi spiritual, legal, dan historis. 

Ia bukan gerakan tertentu, melainkan lini tubuh pemerintahan yang bersatu atas hukum Tuhan.
Global March to Gaza bukan akhir, melainkan semangat awal kebangkitan politik umat. Saatnya mengakhiri era di mana negara-bangsa memisahkan, dan meneruskan era di mana institusi Islam kaffah mendobrak sekat, mempersatukan umat, menghapus national borders, dan menegakkan keadilan sejati.

Mari bersama membangun kekuatan politik ideologis yang kembali memperjuangkan tegaknya institusi khilafah—agar umat kembali berada dalam satu tubuh yang bekerjasama menjawab tantangan global, membela saudara, dan menegakkan kemanusiaan sejati atas dasar iman.

Semoga dengan langkah ini, dunia menyaksikan bahwa umat Islam tidak hanya mampu merasa, tetapi juga mampu berkuasa, bertindak, dan melindungi—karena Allah bersama orang-orang yang istiqomah dalam menegakkan kebenaran.[]

Oleh: Prayudisti S. P.
(Aktivis Muslimah)

Opini

×
Berita Terbaru Update