Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Enggano Bukan Pulau Kosong: Potret Buram Kapitalisme

Jumat, 27 Juni 2025 | 21:37 WIB Last Updated 2025-06-27T14:37:08Z
TintaSiyasi.di -- “Mungkin karena pisang tak semahal nikel, pulau ini jadi dilupakan.”

Pernyataan ini bukan sekadar sindiran. Ini potret nyata bagaimana negara yang dikendalikan logika kapitalisme bisa begitu tega membiarkan Pulau Enggano terisolasi selama berbulan-bulan, seolah tak ada nyawa dan hak hidup di sana. Apa yang lebih menjijikkan daripada sebuah sistem yang mengukur kepentingan warga berdasarkan untung-rugi?

Kapitalisme telah mengajarkan bahwa yang layak diprioritaskan adalah wilayah yang menguntungkan secara ekonomi. Kalau Enggano menyimpan emas, nikel, atau punya potensi tambang strategis, niscaya pemerintah akan lebih sigap. Tapi karena hanya hasil bumi rakyat kecil yang dihasilkan, seperti pisang, kelapa, dan hasil kebun, maka suaranya dikecilkan, keberadaannya diabaikan.

Inilah wajah keji kapitalisme, kebijakan dibangun dari meja-meja birokrat yang menghitung ROI (return of investment), bukan dari nurani kemanusiaan. Kapitalisme dibangun diatas sekulerisme yang memandang bahwa segala sesuatu diukur dari "manfaat" nya belaka. Manfaat untuk siapa? Jelas para pemilik modal. Para oligark yang haus akan uang dan kekayaan yang bersembunyi dibalik slogan "kebebasan" terus mengeruk kekayaan rakyat, memeras keringat mereka hingga titik datang penghabisan.
Sampai empat bulan sejak kapal transportasi terakhir berlayar dari Pelabuhan Pulau Baai Bengkulu akibat pendangkalan alur, belum ada solusi konkret dari pemerintah daerah maupun pusat. Dampaknya, hasil panen warga seperti pisang membusuk di tempat, menyebabkan kerugian hingga Rp 2 miliar per bulan (kompas.com, 24/06).

Bukankah ironis? Negeri ini begitu bangga menggelontorkan triliunan rupiah untuk infrastruktur ibu kota baru, tapi tak mampu menyewa satu kapal yang bisa menjangkau rakyatnya sendiri. Sungguh sebuah ironi!

Nyawa Dipertaruhkan, Negara Absen

Lebih dari 4.000 warga Pulau Enggano kini hidup seperti terbuang dari peta Indonesia. Anak-anak terancam putus sekolah, karena kiriman hasil bumi tak bisa dijual untuk membiayai pendidikan mereka. Bahkan dalam keadaan darurat medis, pasien harus menunggu 8–12 jam untuk evakuasi laut karena terbatasnya armada yang tersedia (kompas.com, 24/06).

Yang lebih menyakitkan, hingga saat ini belum ada kapal alternatif yang disiapkan oleh pemerintah, padahal masyarakat telah berulang kali menyampaikan keluhan bahkan melakukan aksi unjuk rasa (cnnindonesia.com, 05/06). Masyarakat adat, mahasiswa, dan aktivis pun turun ke jalan menggelar aksi bertajuk #EngganoBukanPulauKosong sebagai bentuk protes.

Ini bukan sekadar keterlambatan logistik—ini adalah pengabaian hak hidup warga negara. Ini adalah kejahatan struktural yang dilahirkan oleh sistem kapitalisme yang menjadikan rakyat kecil sebagai korban permanen.

Islam: Negara Pelayan, Bukan Pedagang

Dalam sistem Islam, negara bukanlah korporasi. Negara adalah pelayan umat. Pemimpin dalam Islam adalah raa’in (pengurus umat), bukan manajer bisnis. Rasulullah SAW bersabda:

"Imam (khalifah) adalah pemelihara dan penanggung jawab rakyatnya." (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Transportasi ke wilayah terpencil adalah hak dasar yang dijamin negara, karena menyangkut kebutuhan pokok, keamanan, dan kesehatan. Khalifah akan langsung mengutus armada darat atau laut sejak hari pertama, sebab keselamatan nyawa rakyat adalah amanah, bukan angka di laporan keuangan. Setiap wilayah memiliki wali atau amil, yang diberi wewenang penuh untuk menyelesaikan krisis tanpa harus menunggu birokrasi pusat yang lamban. Allah SWT berfirman:

Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sesungguhnya mereka itu menelan api ke dalam perut mereka dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala.” (QS. An-Nisa: 10)

Ayat ini memberi peringatan keras pada penguasa yang menelantarkan urusan umat. Karena menelantarkan warga—hingga mereka kehilangan akses pangan, pendidikan, dan kesehatan—adalah bentuk kezhaliman besar.

Dalam sejarah Khilafah Utsmaniyah, tercatat bagaimana negara mendistribusikan logistik, tenaga medis, hingga armada ke desa-desa terpencil tanpa harus viral di media. Sistem Islam berlandaskan ketakwaan dan tanggung jawab, bukan untung-rugi ala kapitalisme.
 #EngganoBukanPulauKosong, Tapi Negeri yang Dikosongkan oleh Sistem

Slogan #EngganoBukanPulauKosong adalah jeritan rakyat yang selama ini dipinggirkan. Mereka bukan kosong, bukan tak penting, tapi dikosongkan dari perhatian karena sistem yang tak peduli kecuali pada kapital.

Sudah saatnya kita berhenti berharap pada sistem kapitalisme yang hanya tahu menindas dan melupakan. Yang kita butuhkan bukan sekadar pengganti kapal—tetapi pengganti sistem yang rusak hingga ke akar.

Satu-satunya solusi sejati adalah kembali pada sistem Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Bukan sistem tambal sulam, tapi sistem yang menjadikan rakyat sebagai tujuan utama pemerintahan.

"Kemuliaan sebuah umat hanya akan tercapai jika hukum Allah ditegakkan, dan kepemimpinan dijalankan dengan amanah.” (Ibn Taimiyah, As-Siyasah Asy-Syar’iyyah)

Oleh: Shita Istiyanti 
Aktivis Muslimah

Opini

×
Berita Terbaru Update