TintaSiyasi.id -- Kedatangan Presiden Prancis Emmanuel Macron ke Indonesia Mei 2025 lalu disambut hangat oleh pemerintah Indonesia. Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menyebut kunjungan ini sebagai “kehangatan hubungan historis antara Indonesia dan Prancis” (KOMPAS, 28/5/2025). Kerja sama pun disepakati dan ditandatangani, mulai dari pertahanan hingga sektor sapi dan sawit (BeritaSatu, 30/5/2025).
Seperti yang diketahui Prancis termasuk negara yang secara terbuka dan sistemik menebar kebijakan Islamofobik. Pemerintahnya melarang hijab di sekolah, membatasi simbol keagamaan di ruang publik, hingga membela media yang menghina Nabi Muhammad SAW atas nama kebebasan berekspresi dan semua ini terjadi di bawah kepemimpinan Macron (SindoNews, 13/3/2024). Lalu benarkah sikap negeri muslim terbesar menyambut hingga menjalin kerja sama dengan negara yang menyebar Islamofobia?
Perkara Serius !!!
Islam bukanlah sekedar agama tapi Islam adalah ideologi yang dipakai dan di sebar luaskan untuk seluruh umat manusia. Dimana dalam hal ini relasi internasional seharusnya tidak dibangun atas asas manfaat semata yang mencerminkan ideologi lain bukan islam yaitu sekuler-kapitalistik. Disini negara seperti Prancis yang sudah terlihat jelas secara konsisten menyerang simbol, ajaran, dan umat Islam seharusnya menjadi negara yang harus diwaspadai dan tidak boleh dijadikan patner kerja sama dalam relasi.
Sebagaiman Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan mereka sebagai teman setia yang memerangimu karena agama..." (QS. Al-Mumtahanah: 9)
Maka penghormatan dan kerja sama yang diberikan kepada pemimpin negara semacam ini, adalah bentuk pengabaian terhadap kehormatan Islam dan umatnya.
Negara mayoritas Muslim seperti Indonesia yang dikenal keramahannya juga memberikan itu kepada Macron. Ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak sedang menggunakan Islam sebagai ideologi melainkan hanya sebatas agama yang diprivatisasi dan ini menampakkan bahwa umat muslim di negeri ini sedang berada dalam jeratan ideologi/sistem politik sekuler yang menafikan peran agama dalam urusan kenegaraan dan keputusan politik luar negeri disini ditentukan oleh keuntungan ekonomi dan politik pragmatis, bukan dari pertimbangan halal-haram, kawan-lawan ideologis, apalagi pembelaan dan pertahanan terhadap Islam (loyalitas terhadap umat dan akidah Islam).
Hal ini tidak bisa disepelekan karna mayoritas muslim sedang dijajah dan untuk mengubah realitas ini, semua harus mengambil peran yaitu:
Bangun Kesadaran Ideologis Individu
Meninggalkan cara berpikir pragmatis dan sekuler, pahami Islam sebagai ideologi, bukan sekadar agama ritual. Kesadaran ini akan mendorong diri untuk tidak diam saat Islam dihina dan tidak rela jika negaranya tunduk pada musuh Islam. Serta sadar bahwa Islam memiliki solusi politik dan sistem pemerintahan yang khas.
Pengontrolan Masyarakat
Kesatuan opini umum yang didasarkan pada Islam dengan standar syariat, sehingga masyarakat bisa menjadi pengingat penguasa, menolak diplomasi yang merugikan umat, serta mengarahkan kebijakan politik luar negeri agar sejalan dengan syariat Islam. Ini adalah bentuk amar ma’ruf nahi mungkar yang berskala sosial-politik.
Kepemimpinan Negara dengan Syariat
Kesadaran individu dan gerakan masyarakat ini tidak akan cukup jika tidak bermuara pada institusi negara yang benar-benar menerapkan syariat Islam secara total. Negara yang berbasis Islam-lah yang akan menetapkan kebijakan Islamofobik dibalas tegas, bukan disambut dengan kerja sama. Dimana martabat umat Islam akan dikembalikan dalam konstelasi dunia, sebagaimana pada masa Khalifah Harun ar-Rasyid yang berkata kepada Raja Romawi, “Kepada anjing-anjing kalian saja aku tak akan mengizinkan penghinaan terhadap Rasulku!” Dan ketika Spanyol, Inggris, atau Prancis menjajah negeri Muslim, Negara Islam-lah yang melawan dan mengusir mereka.
Bukan Sekadar Harapan, Tapi Ini Kebutuhan
Umat sudah sangat lama menderita akibat dominasi asing, kolonialisme gaya baru, dan penguasa yang lebih tunduk kepada Barat ketimbang syariat Allah. Selama sistem saat ini sekularisme masih menjadi dasar berpikir dan bertindak, maka hinaan seperti ini terhadap Islam akan terus dibiarkan, dan kerja sama dengan negara penjajah akan terus dirayakan.
Pertanyaan “Mengapa Macron disambut?” harus diubah menjadi “Mengapa kita belum memiliki pemimpin yang membela Islam secara ideologis?” karna, kita belum memiliki negara Islam, sekarang sudah saatnya kita memperjuangkan kembali tegaknya Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah sebagai negara Islam yang bukan hanya menjaga umat, tapi juga memimpin dunia dalam keadilan dan kemuliaan umat.
Oleh: Rika Vebrian
(Aktivis Muslimah)