Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Janji-Janji Palsu Inggris: Menabur Bara di Jantung Timur Tengah

Rabu, 11 Juni 2025 | 09:25 WIB Last Updated 2025-06-11T02:25:11Z

TintaSiyasi.id -- Sebuah panggung raksasa bernama Timur Tengah, di mana setiap sudutnya menyimpan cerita, kekayaan, dan juga air mata.

Tahukah Anda, di balik gejolak yang tak kunjung usai, ada satu nama yang terus disebut-sebut sebagai biang keladinya? Ya, Inggris. Bukan sekadar tuduhan tanpa alasan, tapi jejak yang tertulis jelas dalam sejarah.


Ketika Harapan Bangsa Arab Dibeli dengan Janji

Saat Turki Utsmani sibuk dalam Perang Dunia I dan menelantarkan dunia Arab, Inggris tampil sebagai pahlawan. Mereka mendekati Syarif Hussein bin Ali, penguasa Mekah, dengan sebuah penawaran yang begitu menggiurkan, yaitu dukungan penuh untuk kemerdekaan bangsa Arab. 

Melalui Korespondensi McMahon-Hussein, Inggris menjanjikan sebuah negara Arab yang besar dan berdaulat, mencakup sebagian besar wilayah yang kita kenal sebagai Syam (Levant).

Bayangkan saja, janji kemerdekaan! Sebuah kalimat yang mampu membakar semangat dan menyalakan api perjuangan dalam dada bangsa Arab yang merasa ditelantarkan oleh Kekhalifahan Turki Utsmani. 

Sebuah mata air harapan di tengah tandusnya gurun perhatian dan kepengurusan Daulah Islam. Bukankah wajar jika mereka mempercayai janji Inggris yang manis itu? 


Tikaman dari Belakang: Perjanjian Membelah Syam

Namun, di balik senyum manis Inggris, sebuah rencana busuk tengah dirajut. Bahkan sebelum tinta Korespondensi McMahon-Hussein mengering, Inggris diam-diam bersalaman dengan Prancis.

Lahirlah Perjanjian Sykes-Picot. Sebuah kesepakatan rahasia yang ironisnya justru membagi-bagi wilayah Utsmani termasuk Syam, layaknya properti pribadi.

Syam, yang dijanjikan untuk bangsa Arab yang baru merdeka, kini dicincang menjadi dua. Sebagian besar Lebanon dan Suriah Utara jatuh ke tangan Prancis, sementara Yordania, Irak selatan, dan Haifa di Palestina menjadi "milik" Inggris.

Rasakan pahitnya pengkhianatan ini. Betapa hancur hati bangsa Arab yang telah menumpahkan darah saudara mereka sendiri demi kemerdekaan mereka. Kini mereka melihat tanah air yang telah dijanjikan, dibagi-bagi begitu saja.


Janji Ketiga: Bom Waktu Bernama Palestina

Ketika luka penghianatan belum juga mengering, Inggris kembali menunjukkan bahwa mereka adalah doktor dalam hal penghianatan. Kali ini dengan janji yang lebih manis kepada Zionis, yaitu Deklarasi Balfour (1917). 

Arthur Balfour, Menteri Luar Negeri Inggris, secara terbuka menyatakan dukungan pemerintahannya untuk pembentukan "rumah nasional bagi rakyat Yahudi" di Palestina. Padahal Inggris masih memiliki hutang bagi pembentukan "rumah nasional bagi bangsa Arab"? 

Palestina, tanah milik umat Islam di wilayah Syam. Wilayah yang sudah dijanjikan kepada bangsa Arab. Wilayah yang juga menjadi bagian dari perjanjian rahasia dengan Prancis. Kini, ada janji baru untuk pihak ketiga, yaitu Zionis. 

Dapatkah Anda membayangkan betapa kusutnya benang-benang ini? Sebuah janji yang sengaja dibuat Inggris demi menciptakan konflik kepentingan pada semua pihak. Sebuah bom waktu yang siap meledak antara pihak Arab dan Zionis.


Jejak Kelicikan Tak Terhapuskan

Jadi, apa yang bisa kita simpulkan dari rangkaian peristiwa ini?

Inggris, dengan segala kelicikannya, memainkan permainan ganda, bahkan rangkap tiga! Mereka memanfaatkan setiap ambisi : kemerdekaan Arab, pengaruh Prancis, impian tanah air Zionis. Semua itu demi kepentingan strategis mereka sendiri di wilayah yang kaya sumber daya dan posisi geopolitik strategis ini.

Janji-janji yang saling bertentangan itu, yang dilemparkan tanpa memikirkan konsekuensi jangka panjang, pada akhirnya menabur benih ketidakpercayaan yang mendalam. Persaingan wilayah, dan konflik identitas terus membakar Syam dan seluruh Timur Tengah hingga detik ini.

Inilah mengapa, ketika saat ini anda melihat berita tentang gejolak di sana, jangan terkejut! Itu bukan kondisi tiba-tiba. Itu adalah warisan dari kelicikan masa lalu, yang ditinggalkan oleh doktor atas kelicikan dan penghianatan, yaitu : Inggris.

Di sisi lain, umat Islam tidak memiliki visi kepemimpinan global lagi. Mereka lebih nyaman dengan perjuangan murahan atas dasar fanatisme golongan yang rawan untuk dimanfaatkan. Akibatnya mereka terjebak kepada tipuan demi tipuan yang dilakukan oleh pihak luar. 

Bukankah sudah saatnya kita melihat akar permasalahnya, agar kita bisa benar-benar mendapatkan solusi yang Syar'i untuk perdamaian di Timur Tengah, terutama wilayah Syam? 


Khatimah 

Solusi dua negara bukanlah solusi Syar'i. Ini adalah penipuan dan pengkhianatan seperti yang telah mereka lakukan berkali-kali. Penguasa negeri Muslim yang menyerukan hal ini, tidak lain hanyalah "proxy" yang dibayar dengan harta dan kedudukan yang entah kapan akan mereka minta kembali. 

Tidakkah kita mau belajar dari kelicikan Inggris yang saat ini dimainkan pula oleh Amerika dan negara-negara Adikuasa lainnya? Wallahu a'lam bishshawab. []


Trisyuono D.
(Aktivis Muslim)

Opini

×
Berita Terbaru Update