Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Selamatkan Raja Ampat dari Kerusakan Alam dan Kerakusan Kapitalisme Pemerintah

Rabu, 11 Juni 2025 | 20:29 WIB Last Updated 2025-06-11T13:30:02Z
TintaSiyasi.id -- Raja Ampat, gugusan surga kecil di ujung timur Indonesia, telah lama dikenal sebagai salah satu pusat keanekaragaman hayati laut terbesar di dunia. Dengan lebih dari 1.500 pulau kecil yang membentang di Provinsi Papua Barat Daya, kawasan ini bukan hanya rumah bagi ribuan spesies laut, tetapi juga menjadi simbol kekayaan alam Nusantara yang tak ternilai harganya.

Namun, kekayaan ini kini berada di ambang kehancuran. Di balik narasi “pembangunan” dan “investasi demi kemajuan”, tersembunyi praktik eksploitasi yang mengancam kelestarian alam dan hak hidup masyarakat adat. Pembangunan resort eksklusif, izin tambang, reklamasi, hingga aktivitas kapal-kapal industri yang merusak terumbu karang, semua menyatu dalam satu kata kunci: kerakusan kapitalisme.

Kapitalisme Berkedok Pembangunan

Pemerintah, baik pusat maupun daerah, sering kali menjual narasi pembangunan berkelanjutan sambil membuka pintu lebar-lebar bagi investor asing dan lokal untuk “mengembangkan” Raja Ampat. Padahal, yang terjadi di lapangan justru sebaliknya. Tanah-tanah adat diambil alih, akses masyarakat lokal dibatasi, dan ekosistem laut yang rapuh dirusak demi membangun resort mewah yang hanya bisa diakses segelintir orang.

Alih-alih memajukan masyarakat lokal, model pembangunan seperti ini justru menciptakan ketimpangan dan pemiskinan struktural. Masyarakat adat yang telah menjaga alam selama ratusan tahun disingkirkan, dianggap penghambat “kemajuan”.

Krisis Ekologi dan Ketidakadilan Struktural

Kerusakan lingkungan di Raja Ampat bukan hanya persoalan ekologis, tetapi juga merupakan bentuk ketidakadilan struktural. Ketika hutan mangrove ditebang, terumbu karang dihancurkan oleh jangkar kapal pesiar, dan limbah hotel mencemari laut, bukan hanya ikan yang punah—tapi juga warisan budaya dan identitas masyarakat lokal yang tergerus.

Ironisnya, semua ini dilegalkan dengan dalih "izin resmi" dari pemerintah. Di sinilah wajah asli kapitalisme neoliberal menampakkan dirinya: menjadikan alam sebagai komoditas dan menjual masa depan demi keuntungan jangka pendek.

Suara Rakyat, Bukan Suara Investor

Sudah saatnya kita bersuara. Menyelamatkan Raja Ampat bukan hanya tugas para aktivis lingkungan, tapi panggilan nurani semua anak bangsa. Pemerintah harus berhenti menjadi perpanjangan tangan korporasi. Kebijakan yang berpihak kepada masyarakat adat dan kelestarian alam harus dikedepankan.

Kita butuh model pembangunan yang bukan hanya "ramah lingkungan" secara jargon, tetapi sungguh-sungguh berakar pada kearifan lokal, keadilan sosial, dan keberlanjutan ekologis.

Penutup: Jangan Biarkan Surga Ini Menjadi Neraka

Raja Ampat bukan hanya aset pariwisata. Ia adalah simbol dari relasi harmonis antara manusia dan alam. Jika kita terus membiarkan kerakusan kapitalisme menghancurkan tempat ini, maka kita bukan hanya kehilangan surga dunia—kita sedang menggali kubur peradaban sendiri.

Mari bersatu, bersuara, dan bertindak: Selamatkan Raja Ampat, selamatkan masa depan Indonesia.

Oleh. Dr. Nasrul Syarif, M.Si. (Sekjen Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa)

Opini

×
Berita Terbaru Update