TintaSiyasi.id -- Ketua Himpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI) Julian Sigit, memaparkan perbedaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di sistem Islam (khilafah), kapitalisme, dan sosialisme.
"Pertama, sumber pemasukan. Dalam konteks khilafah, yang menjadi sumber pemasukan adalah zakat, kharja, jizyah, fai, ghanimah, kepemilikan umum yang ini jumlahnya sangat-sangat besar," ungkapnya di kanal YouTube Mercusuar Ummat, Senin (17/3/2025), Bedah Khilafah - Gambaran APBN Negara Khilafah.
Sementara dalam perspektif kapitalisme, lanjut dia, yang menjadi sumber pemasukkan dari APBN didasarkan pada pajak, riba, atau bunga serta adanya pemasukan dari utang luar negeri. Ini berbanding juga dengan perspektif sosialisme yang dia mengandalkan pajak yang sangat tinggi, kemudian kepemilikan negara atas semua aset, artinya individu tidak diperkenankan untuk memiliki barang-barang sifatnya produktif.
Kedua, tujuan APBN. Tujuan APBN dalam khilafah digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat dan tentunya menjadi catatan adalah harus sesuai dengan syariat. Artinya APBN yang diambil atau sumber-sumber pendapatan tadi itu betul-betul dioptimalkan dibelanjakan digunakan untuk kepentingan rakyat. Dengan patokan harus sesuai dengan syariat.
"Kalau kita melihat perbandingan kapitalisme, tujuan APBN untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, ekonomi yang individu, ekonomi yang ditopang oleh individu-individu, sementara dalam konteks sosialisme itu adalah pemerataan ekonomi yang secara dipaksakan oleh negara," sambungnya.
Ketiga, pengelolaan sumber daya alam. Dalam konteks APBN khilafah, maka segala macam yang menjadi kepemilikan umum betul-betul dikelola oleh negara, tentunya untuk kepentingan rakyat.
"Kita tahu negeri Muslim adalah negeri-negeri yang Allah berikan kelebihan dalam konteks pertambangan, sumber daya alam yang melimpah. Tetapi nyatanya hal itu tidak menjadikan negeri-negeri Muslim termasuk Indonesia itu menjadi lebih sejahtera. Faktanya kalau kita melihat justru banyak rakyatnya itu masih hidup di bawah garis kemiskinan, ini tentu menjadi catatan," jelasnya.
"Dalam konteks kapitalisme, memandang bahwa pengelolaan sumber daya itu siapapun boleh dimiliki termasuk korporasi atau individu ataupun swasta. Selama dia memiliki modal (uang), dia boleh untuk mengelola kepemilikan umum tadi, dan tentunya kalau itu menghasilkan kalau menguntungkan maka hasil dan keuntungannya itu lari ke kantong-kantong individu atau swasta tadi. Begitupun dalam konteks sosialisme, kalau sosialisme itu adalah antitesa dari kapitalisme yakni sumber daya alam itu dikelola atau dikuasai sepenuhnya secara total oleh negara, artinya individu tidak boleh sama sekali menguasai sumber-sumber daya alam," terangnya.
Keempat, berkaitan dengan pendidikan dan kesehatan. "Jadi berbicara dalam konteks APBN khilafah maka pendidikan, kesehatan, keamanan itu menjadi tanggung jawab negara, dari mana itu biayanya yakni dari APBN, negara betul-betul memperoleh dana itu dari sumber-sumber yang halal, yang sesuai dengan syariah, kemudian didistribusikan satunya untuk pendidikan, kesehatan, infrastruktur termasuk keamanan ya Ini suatu hal yang luar biasa," jelasnya.
Sementara, ia menjelaskan dalam konteks kapitalisme, pendidikan dan kesehatan berbayar. "Sudahlah berbayar itu sangat mahal, bahkan cenderung pendidikan dan kesehatan itu termasuk bisnis yang paling menjanjikan, dan paling menguntungkan, adapun dalam konteks sosial itu gratis tetapi pada tataran pelaksanaannya itu kurang efektif," ungkapnya.
Kelima, sistem pajak. "Dalam konteks APBN khilafah pajak itu sesuatu yang sangat dihindari, kebijakan yang paling akhir diambil oleh negara, ketika negara sudah mentok tidak ada lagi sumber pemasukan, sementara dia (negara) dihadapkan dengan pengeluaran atau pendanaan yang sangat mendesak, dan itu pun sekali lagi hanya berlaku bagi muslim yang kaya, kemudian itu sifatnya tentatif atau temporal, jadi pajak itu bukan menjadi sesuatu yang menjadi pemasukan utama," urainya.
"Sementara dalam konteks kapitalis di manapun itu negaranya, baik di negara yang muslimnya mayoritas, ataupun minoritas maka pajak itu menjadi tumpuan ekonomi suatu negara, pajaknya yang tinggi kemudian terus bertahap, meningkat, progresif dan sebagainya dalam konteks yang lain sosialisme pun sama pajak tinggi dan itu menjadikan atau rakyat makin tertekan," pungkasnya. [] Alfia Purwanti