TintaSiyasi.id -- Setiap tahun, jutaan Muslim dari berbagai penjuru dunia memenuhi panggilan suci untuk berhaji. Mereka datang dari berbagai negara dengan perbedaan bahasa, warna kulit, dan budaya. Namun, ketika mengenakan pakaian ihram dan bersama-sama mengumandangkan talbiyah, semua perbedaan itu melebur. Dunia menyaksikan potret agung tentang persatuan umat Islam yang menembus batas-batas kebangsaan dan rasialitas.
Yang menyatukan mereka bukan nasionalisme, bukan pula budaya. Mereka disatukan oleh akidah Islam, keyakinan yang menempatkan Allah sebagai satu-satunya yang disembah dan ditaati. Dalam Islam, kemuliaan seseorang tidak terletak pada sukunya, bahasanya, atau negaranya, melainkan pada ketakwaannya kepada Allah SWT.
"Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa." (TQS. Al-Hujurat: 13)
Umat Islam yang kini berjumlah hampir dua miliar sejatinya memiliki potensi besar untuk menjadi kekuatan global yang disegani. Namun kenyataan berkata lain. Potensi itu tak kunjung menjadi kenyataan karena umat ini hidup dalam keterpecahan yang mendalam. Terpisah oleh sekat-sekat imajiner dalam lebih dari 50 negara, masing-masing menjaga kepentingan nasionalnya, bukan kepentingan umat.
Pemandangan persatuan saat Iduladha sering kali hanya bersifat sementara. Setelah gema takbir mereda dan hewan qurban disembelih, umat kembali ke dalam kotak-kotak sekat bangsa, mazhab, dan golongan. Bahkan tidak sedikit yang saling bermusuhan hanya karena perbedaan pandangan politik. Di saat yang sama, penderitaan saudara muslim di Palestina, Suriah, Rohingya, Uighur, dan berbagai wilayah lain terlupakan begitu saja, seolah bukan bagian dari tubuh yang sama.
Padahal Rasulullah ﷺ bersabda: "Perumpamaan kaum Mukmin dalam hal saling mencintai, menyayangi, dan saling mengasihi, bagaikan satu tubuh. Jika satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuh akan merasakan demam dan tidak bisa tidur." (HR. Muslim)
Realitas menyakitkan ini menunjukkan bahwa persatuan sejati tidak cukup dengan seruan ukhuwah atau doa lintas negeri. Ia membutuhkan sistem yang menyatukan umat dalam bingkai nyata. Dalam sejarah Islam, persatuan itu pernah diwujudkan melalui institusi khilafah—satu kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim yang menerapkan syariat secara total dan melindungi umat dari musuh-musuhnya.
Khilafah bukan sekadar bentuk pemerintahan; ia adalah representasi dari ketaatan kolektif umat terhadap perintah Allah. Melalui khilafah, umat memiliki satu pemimpin yang bertanggung jawab atas seluruh wilayah kaum Muslim, tanpa batas negara-bangsa. Tidak ada paspor, tidak ada duta besar antar negeri Islam, karena semuanya satu tubuh di bawah satu pemimpin. Di sinilah ukhuwah islamiyah menemukan bentuk institusionalnya.
Pelajaran terbesar dari Iduladha adalah ketaatan total Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ‘alaihimassalaam kepada perintah Allah. Ketaatan itu bukan sekadar simbolik dalam penyembelihan hewan, tapi juga menjadi pesan kuat bahwa Islam menuntut totalitas dalam menjalankan perintah Allah—bukan hanya dalam ibadah ritual, tetapi juga dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam urusan pemerintahan, ekonomi, dan hukum.
Sudah saatnya umat Islam mengambil makna yang lebih dalam dari setiap momentum ibadah, termasuk Iduladha. Jangan sampai ibadah besar ini hanya menjadi rutinitas tahunan tanpa membawa perubahan hakiki dalam cara pandang dan arah perjuangan umat. Iduladha semestinya menjadi momentum untuk menyadarkan kembali umat akan pentingnya hidup dalam naungan sistem Islam yang kaffah.
Bayangkan jika dua miliar muslim bersatu di bawah satu kepemimpinan yang menerapkan syariat Allah secara menyeluruh. Bayangkan jika umat ini kembali menjadi satu umat yang kuat, mandiri, dan disegani, bukan terhina dan terpecah. Maka, seperti halnya Nabi Ibrahim rela berkorban demi menjalankan perintah Rabb-nya, kita pun harus siap berkorban untuk mewujudkan kehidupan Islam yang hakiki di bawah naungan Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Mahrita Julia Hapsari
Aktivis Muslimah Banua