Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Haji dalam Cengkeraman Sistem Sekuler: Umat Dibebani, Negara Menghindar

Selasa, 17 Juni 2025 | 05:13 WIB Last Updated 2025-06-16T22:13:41Z

TintaSiyasi.id -- Kisruh penyelenggaraan ibadah haji tahun 2025 menjadi tamparan keras bagi pemerintah Indonesia. Laporan demi laporan menunjukkan banyaknya masalah, mulai dari pembatalan visa secara sepihak, penangkapan jemaah ilegal, hingga kekacauan logistik di Armuzna. Salah satu kasus yang menyayat hati adalah kisah Heri, seorang jemaah asal Indonesia yang harus pulang hanya dengan mengenakan kain ihram, setelah visanya dibatalkan secara sepihak. Lalu, di mana tanggung jawab negara?


Lebih dari Sekadar Masalah Teknis

Seringkali, kegagalan pelayanan haji dianggap semata-mata sebagai masalah teknis atau imbas dari kebijakan pemerintah Arab Saudi. Namun, penyebabnya jauh lebih dalam: paradigma yang keliru dalam pengelolaan ibadah haji. Negara seolah lepas tangan, menyerahkan urusan yang sakral ini kepada logika bisnis dan tata kelola kapitalistik. Haji, yang merupakan rukun Islam, telah dikapitalisasi menjadi komoditas.

Padahal, dalam Islam, penyelenggaraan ibadah haji bukan hanya soal teknis keberangkatan atau akomodasi. Haji adalah ibadah yang seharusnya diurus sepenuh hati oleh negara. Negara adalah raain—pengurus rakyat—yang wajib menjamin setiap Muslim mampu menjalankan ibadahnya dengan tenang, aman, dan layak. Ketika negara gagal hadir, maka yang terjadi adalah kekacauan seperti yang kita saksikan tahun ini.


Kapitalisasi Ibadah: Akar dari Segala Masalah

Kapitalisasi ibadah haji tampak dari banyaknya biro perjalanan yang beroperasi dengan kepentingan profit, serta birokrasi pengurusan visa dan administrasi yang rumit, mahal, dan sering kali tidak transparan. Bahkan, masalah logistik di Armuzna—mulai dari tenda sempit, kekurangan makanan, hingga keterlambatan transportasi—menjadi bukti buruknya manajemen yang berorientasi untung rugi.

Ini adalah dampak sistemis dari sistem sekuler yang memisahkan agama dari urusan negara. Dalam sistem ini, ibadah tidak dianggap sebagai kewajiban negara, tetapi sebagai urusan pribadi atau peluang ekonomi. Maka wajar jika layanan terhadap para tamu Allah pun jauh dari kata layak.


Solusi Islam: Negara sebagai Pelayan Ibadah

Islam memandang haji sebagai kewajiban yang harus dipermudah pelaksanaannya oleh negara. Dalam kitab Nizham al-Islam, Syeikh Taqiyyudin an-Nabhani menjelaskan bahwa negara dalam Islam memiliki tanggung jawab penuh atas pengurusan seluruh urusan rakyat, termasuk dalam penyelenggaraan haji. Negara wajib menyediakan semua sarana dan prasarana yang memungkinkan umat menunaikan rukun Islam ini dengan sempurna.

Dan Rasulullah SAW bersabda:
"Imam adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya." (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Dari sini jelas bahwa urusan ibadah, termasuk haji, berada dalam tanggung jawab negara. Dalam sejarah Islam, para khalifah mengalokasikan dana negara secara besar-besaran untuk menjamin kelancaran ibadah haji, termasuk pembangunan infrastruktur, pengamanan jalur haji, serta layanan penginapan, konsumsi, dan transportasi. Semuanya dibiayai dari Baitul Mal, bukan dari pungutan berlebihan kepada jemaah.
Seandainya seluruh negeri-negeri Muslim berada dalam satu kepemimpinan Islam, yakni khilafah, pengelolaan haji akan menjadi prioritas utama. Mekanisme pelayanan akan dikoordinasikan secara terpusat, tanpa tumpang tindih kepentingan. Kebijakan Saudi—atau negara mana pun—tidak akan menjadi faktor penghambat, karena semuanya berada dalam satu naungan pemerintahan Islam global.


Sistem Keuangan Islam: Fondasi Layanan Paripurna

Layanan haji yang paripurna hanya dapat terwujud jika negara memiliki sistem keuangan yang kuat dan amanah. Islam menyediakan itu melalui sistem keuangan dan moneter yang berbasis pada syariat, yang dijelaskan secara komprehensif oleh Syekh Taqiyyudin an-Nabhani dalam kitab Al-Amwal fi Dawlatil Khilafah. Di dalamnya, sumber-sumber pemasukan negara dijelaskan secara rinci: dari zakat, kharaj, jizyah, ghanimah, fa’i, serta pengelolaan sumber daya alam milik umum.

Dengan harta Baitul Mal yang melimpah dan pengelolaan yang jujur serta amanah, negara mampu menyediakan birokrasi terbaik, mekanisme pelayanan terbaik, serta menjadikan setiap jemaah haji benar-benar sebagai tamu Allah, bukan sekadar pelanggan dalam industri keagamaan.


Penutup

Kisruh haji 2025 bukan hanya tragedi administratif, tetapi kegagalan mendalam dalam memahami peran negara dalam mengurusi ibadah. Sudah saatnya kita mengevaluasi bukan hanya teknis pelaksanaannya, tetapi juga paradigma penyelenggaraannya. Selama ibadah dikelola dengan kacamata bisnis, maka kekacauan akan terus berulang.

Solusinya bukan sekadar reformasi birokrasi, tetapi perubahan mendasar menuju sistem Islam yang kaffah, di mana negara benar-benar menjadi pelayan umat, termasuk dalam urusan haji. Sebab hanya dalam sistem itu, setiap Muslim akan merasakan kemuliaan sebagai tamu Allah, bukan korban sistem yang abai. []


Oleh: Apreal Rhamadhany
Pemerhati Generasi dan Founder Islamic Motherhood Community Jember

Opini

×
Berita Terbaru Update