TintaSiyasi.id -- Ribuan umat dari berbagai penjuru dunia berkumpul dalam satu semangat yang sama: menembus blokade Gaza. Global March to Gaza (GMTG) bukan sekadar aksi solidaritas, melainkan jeritan nurani yang menolak tunduk pada kebungkaman dunia terhadap genosida brutal yang dilakukan entitas penjajah Israel. Namun, langkah itu terhenti di Gerbang Rafah, bukan oleh tentara Israel, tapi oleh penguasa Mesir. Negeri Muslim.
Inilah realitas tragis yang tak bisa kita abaikan: gerakan kemanusiaan, seheroik apa pun, akan selalu terbentur oleh tembok yang dibangun oleh sistem internasional hari ini — sistem yang dilandasi nasionalisme picik dan konsep negara bangsa (nation-state). Kedua ide ini, yang selama ini dianggap pilar kemerdekaan dan kebanggaan rakyat, justru menjadi penghalang utama pembebasan Palestina.
Nasionalisme: Sekat yang Membunuh Solidaritas
Ketika aktivis kemanusiaan dari berbagai negara diusir dari Mesir karena hendak menyalurkan bantuan ke Gaza, publik dunia marah. Tapi mengapa kita masih berharap pada para penguasa yang sejak lama menjadikan Palestina sebagai isu simbolik semata, bukan panggilan jihad atau tanggung jawab iman?
Nasionalisme membuat batas-batas geografis lebih penting daripada persaudaraan akidah. Dalam paradigma nation-state, rakyat Palestina bukan tanggung jawab tentara Mesir, Turki, atau Indonesia. Padahal, Rasulullah ﷺ bersabda:
"Kaum Muslim itu bagaikan satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuh turut merasakan sakitnya."
(HR. Muslim)
Namun hari ini, tubuh umat Islam tercerai-berai. Bukan karena lemahnya iman rakyatnya, tapi karena kerasnya tembok yang dibangun oleh sistem politik penjajahan: nasionalisme.
Dari Sykes-Picot ke Genosida Modern
Nasionalisme bukanlah warisan umat. Ia adalah racun yang ditanam oleh penjajah Barat melalui perjanjian Sykes-Picot 1916. Hanya dua tahun setelahnya, Khilafah Utsmaniyah runtuh. Palestina pun jatuh ke tangan Inggris, lalu dijual kepada zionis melalui Deklarasi Balfour. Sejak itu, bencana tak pernah berhenti.
Negara bangsa adalah strategi penjajah untuk membungkam kekuatan politik umat Islam. Saat umat di Indonesia sibuk dengan nasionalismenya, umat di Yaman menderita. Saat Mesir menjaga perbatasannya, Gaza dibakar. Semua tunduk pada batas imajiner yang tak pernah dikenal dalam syariat Islam.
Bahkan penjaga gerbang Rafah, hari ini, adalah sesama Muslim. Mereka memegang senjata bukan untuk melawan Israel, tapi untuk menghalangi bantuan masuk ke Gaza. Ini bukan sekadar ironi—ini adalah pengkhianatan terhadap akidah, sejarah, dan kemanusiaan.
Arah Perjuangan: Bukan Kemanusiaan, Tapi Politik
Sudah saatnya umat Islam sadar: konflik Palestina bukan sekadar tragedi kemanusiaan, tapi masalah politik global yang membutuhkan solusi politik. Aksi-aksi kemanusiaan memang menggugah hati, tapi tidak pernah menyelesaikan akar persoalan.
Selama umat masih terjebak dalam kerangka sistem internasional sekuler yang menjunjung tinggi negara bangsa, selama itulah Gaza akan terus berdarah. Umat tidak butuh simpati kosong, tapi kekuatan politik yang mampu menembus batas negara dan menumbangkan kezaliman dengan kekuatan sah: militer, hukum, dan kepemimpinan ideologis.
Solusi Hakiki: Khilafah sebagai Kepemimpinan Umat
Dalam sejarah Islam, Palestina dibebaskan bukan oleh petisi, tapi oleh pasukan. Umar bin Khattab masuk ke Yerusalem sebagai pemimpin politik Islam. Shalahuddin al-Ayyubi mengusir tentara Salib bukan dengan proposal bantuan, tapi dengan kekuatan negara Islam yang menyatukan umat dari Mesir hingga Syam.
Hari ini, tugas itu belum selesai. Maka, hanya dengan kebangkitan satu kepemimpinan politik Islam yang menghapus batas-batas nasionalisme dan mengarahkan kekuatan umat untuk berjihad di jalan Allah, Palestina akan terbebas.
Untuk itu, umat tidak cukup sekadar bersuara. Umat harus bergabung dalam gerakan politik ideologis yang konsisten, bersih, dan tak tunduk pada sistem internasional penjajah. Gerakan yang tidak menjadikan perjanjian internasional sebagai kiblat, tapi syariat Islam sebagai kompas.
Penutup
Saatnya umat bangkit, tinggalkan nasionalisme. Gerbang Rafah yang terkunci hanyalah simbol. Simbol dari sistem politik yang telah lama memborgol kekuatan umat. Simbol dari betapa nasionalisme lebih berharga daripada nyawa saudara sendiri.
Saatnya menolak nasionalisme. Saatnya menyatukan kekuatan di bawah panji tauhid. Saatnya membangun kembali perisai umat—khilafah—yang akan membebaskan Palestina dan menjaga kehormatan seluruh kaum Muslim. Karena Gaza tak akan pernah merdeka, selama umat masih tunduk pada batas-batas yang dibuat musuh. []
Apreal Rhamadhany, S.Pd.
Pemerhati Generasi dan Perempuan, Founder Islamic Motherhood Community Jember