TintaSiyasi.id -- Di setiap malam menjelang Idul Adha, langit-langit bumi Muslim bergemuruh oleh lantunan takbir. Suara yang berulang-ulang menyerukan Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa ilaaha illallaahu wallaahu Akbar, menggugah kesadaran terdalam setiap insan beriman. Takbir itu bukan hanya seruan lisan, melainkan getaran hati yang memunculkan rindu paling suci—rindu menuju Baitullah, rumah suci yang menjadi pusat kiblat dan cinta umat Islam.
Malam Penuh Cahaya, Jiwa Penuh Kerinduan
Takbir yang menggema adalah gema cinta. Ia seperti desir angin malam yang lembut menyapu daun-daun hati, membersihkan debu dunia yang menumpuk, dan menyisakan satu rasa yang sulit diungkapkan selain dengan air mata: rindu kepada Allah, rindu kepada Rumah-Nya.
Sebagian orang mungkin sedang mempersiapkan hewan kurban, sebagian lain sedang menanti shalat Idul Adha, namun dalam diam, tak sedikit hati yang mendongak ke langit seraya berbisik, “Ya Allah, undanglah aku ke Baitullah-Mu...”
Idul Adha: Simbol Kepasrahan dan Pengorbanan
Idul Adha adalah perayaan iman dan kepatuhan. Nabi Ibrahim ‘alayhis salaam memperlihatkan kepada kita bagaimana rindu kepada Allah mengalahkan rindu kepada anak, bagaimana cinta kepada Rabb harus di atas segalanya. Di saat beliau bersiap menyembelih Ismail, yang terjadi sejatinya adalah penyembelihan terhadap ego dan hawa nafsu.
Setiap gema takbir mengajak kita untuk kembali kepada makna itu: menyerahkan segalanya kepada Allah, bahkan ketika itu adalah yang paling kita cintai. Dan di malam yang sunyi, hati ini merenung, “Sudahkah aku berkurban dengan tulus? Sudahkah aku berserah seperti Ibrahim?”
Baitullah: Puncak Rindu Para Pecinta Ilahi
Kerinduan menuju Baitullah adalah fitrah ruhani yang hidup dalam dada kaum Muslimin. Setiap takbir yang dikumandangkan pada malam Idul Adha seolah membawa kita terbang secara ruhani ke Masjidil Haram, membayangkan diri menyusuri pelatarannya, mencium Hajar Aswad, thawaf di bawah naungan Ka’bah, dan bersujud dengan linangan air mata di hadapan Tuhan semesta alam.
Baitullah bukan sekadar tempat, ia adalah pusat kerinduan, pusat penyucian, dan simbol dari puncak penyerahan seorang hamba kepada Tuhannya. Maka wajar jika setiap malam Idul Adha, rindu itu kembali memuncak.
Menjaga Rindu, Menjaga Iman
Kerinduan menuju Baitullah harus dijaga seperti bara api yang disembunyikan dalam sekam. Jangan padam. Biarkan ia terus menyala, menjadi semangat untuk memperbaiki diri, membersihkan hati, dan mempererat hubungan kita dengan Allah. Karena sejatinya, perjalanan ke Baitullah bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi perjalanan iman. Ada yang sudah sampai ke sana tapi belum benar-benar “datang”. Ada pula yang belum sempat pergi, tapi setiap malam hatinya sudah thawaf di hadapan Ka’bah.
Maka siapa pun kita, di mana pun kita berada malam ini, mari hadirkan rindu itu. Jadikan gema takbir sebagai suara panggilan langit untuk menyucikan diri dan memperbarui niat hidup hanya untuk Allah.
Penutup
Malam Idul Adha bukan sekadar malam menuju hari besar, tetapi malam yang membuka gerbang jiwa menuju makna penghambaan sejati. Takbirnya membangkitkan cinta. Suasananya membangkitkan air mata. Dan rindunya, menggiring kita untuk bersujud lebih dalam—semoga suatu hari nanti, Allah benar-benar mengizinkan kita bersujud langsung di depan Ka’bah, rumah-Nya yang agung.
اللهم ارزقنا حجاً مبروراً، وذنباً مغفوراً، وسعياً مشكوراً
Ya Allah, karuniakanlah kami haji yang mabrur, dosa yang diampuni, dan usaha yang Engkau terima.
Oleh. Dr. Nasrul Syarif M.Si. (Penulis Buku Gizi Spiritual dan Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo)