Tintasiyasi.ID -- Menyikapi dinamika hubungan Iran-Israel, Direktur Forum on Islamic World Studies (FIWS) Farid Wadjdi membeberkan kontroversi hubungan Ayatullah Khoimeini dengan Amerika Serikat (AS).
“Ada tujuh kontroversi hubungan
Ayatullah Khoimeini dengan Amerika Serikat (AS),” ujarnya kepada
TintaSiyasi.ID., Jumat (27/06/2025).
Pertama, Khomeini diizinkan
tinggal di Prancis (Neauphle-le-Château). “Faktanya, sebelum revolusi, Khomeini
diasingkan dari Irak ke Prancis (Oktober 1978). Di sana, ia dapat dengan bebas
menyampaikan pesan revolusioner melalui media global,” sebutnya.
Hal tersebut mengundang tanya,
sebut Farid, mengapa negara seperti Prancis (anggota NATO) mengizinkan seorang
revolusioner radikal memimpin gerakan antisekuler dari wilayahnya, dengan akses
luas ke media internasional.
“Dugaannya, beberapa pihak
menyatakan bahwa intelijen Barat membiarkannya tampil sebagai alternatif
setelah kegagalan Shah membendung gelombang revolusi,” ulasnya.
Kedua, surat Khomeini
kepada Presiden AS (Carter). “Faktanya, arsip CIA yang dideklasifikasi pada
2016 mengungkap bahwa utusan Khomeini mengirim surat kepada pemerintah AS
(Desember 1978), meyakinkan bahwa ia bukan ancaman bagi kepentingan Amerika di
Iran,” ungkapnya.
“Surat itu menjelaskan bahwa
Islam tidak bertentangan dengan kepentingan Barat, dan Khomeini siap menjaga
stabilitas serta tidak akan memusuhi Amerika jika berhasil berkuasa,” katanya,”
ulasnya.
Ada juga sumber lain, lanjutnya, The
New York Times (2016), dengan kutipan memo CIA.
Ketiga, kejatuhan Shah
Dianggap “terlalu lancar”. “Faktanya, Amerika adalah pendukung utama Shah,
bahkan memasangnya kembali lewat kudeta CIA tahun 1953. Namun dalam revolusi
1979, AS tidak bertindak tegas mempertahankannya,” katanya.
Kejadian itu, diduga Farid, sebagian
menilai bahwa AS sudah mulai “lelah” dengan Shah yang tidak stabil, otoriter,
dan represif, serta mulai mencari alternatif yang lebih "populis"
untuk mengamankan kepentingan mereka—termasuk dengan membiarkan naiknya ulama
yang dijanjikan akan moderat.
Keempat, penghancuran posisi
sekuler-kiri oleh rezim Khomeini. “Faktanya, setelah revolusi, kelompok Marxis,
sosialis, nasionalis, dan Islamis non-Khomeinis (seperti Mujahidin Khalq dan
Tudeh) dihabisi.
Dugaannya, lanjutnya, ada yang
menilai bahwa Khomeini menjadi alat efektif untuk membasmi semua kekuatan
revolusioner selain Islamisme Syiahnya sendiri, dan ini sesuai dengan harapan
negara-negara Barat, yaitu mencegah Iran menjadi sosialis atau komunis seperti Afganistan
kala itu (1979–1980).
Kelima, peran Mehdi
Bazargan dan jalur diplomatik ke AS. “Faktanya, Perdana Menteri pertama pascarevolusi
(Bazargan) adalah sosok moderat yang menjalin komunikasi intensif dengan AS. Bahkan
terjadi pertemuan rahasia antara para pejabat Iran dengan AS di Paris dan
Aljazair,” ungkapnya.
“Ada juga kritikan yang ditujukan
kepada Bazargan dan kubunya, yaitu dituduh berusaha menjaga hubungan strategis
dengan AS, dan Khomeini awalnya tidak membatalkan kontak ini,” bebernya.
Keenam, konspirasi
“October Surprise” (1980). “Ada dugaan, yaitu teori bahwa kubu Ronald Reagan
(Republik) bersekongkol dengan elit Iran agar menunda pembebasan sandera AS
sampai setelah Pilpres AS, untuk menjatuhkan citra Carter. Sandera akhirnya
dibebaskan pada hari Reagan dilantik,” ulasnya.
Jika benar, Farid menyatakan hal
itu menunjukkan ada kanal komunikasi rahasia antara Khomeini dan kampanye
Reagan.
Ketujuh, seruan Khomeini "La
Sharqiyah wa la Gharbiyah. “Slogan ini secara formal menolak pengaruh AS dan
Uni Soviet. Namun kebijakan luar negeri Iran setelah revolusi lebih condong
anti-Soviet, dan kemudian muncul pragmatisme—seperti skandal Iran-Contra
(1986), di mana AS menjual senjata ke Iran secara rahasia,” jelasnya.
“Tidak ada bukti eksplisit bahwa
CIA mendukung Khomeini secara langsung dalam revolusi, tetapi ada banyak
indikasi bahwa AS tidak sepenuhnya menolak naiknya Khomeini, bahkan mungkin
membiarkannya sebagai jalan mengendalikan transisi pasca-Shah,” tandasnya.
Bersambung ke: Kesepahaman Khomeini-AS?
Begini Pernyataan Abolhassan Bani Sadr (Dinamika Hubungan Iran-Israel – Bagian 4)