Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Faktor Fundamental Persoalan Hukum Internasional

Sabtu, 28 Juni 2025 | 14:25 WIB Last Updated 2025-06-28T07:45:04Z

Tintasiyasi.ID -- Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum dan Masyarakat), menjelaskan, faktor fundamental persoalan hukum internasional. 

"Pertama, dari sisi substansi, soal Piagam Madinah, kalau itu dipakai Saya yakin persoalan ketidakadilan bisa diatasi, kemiskinan atau kezaliman bisa diatasi, ada 47 pasal yang semuanya mengarah pada menciptakan suatu negara yang adil, makmur, dan juga toleran," tuturnya dalam Dialog Muharram: Hijrah, Merajut Ukhuwah, Merangkai Peradaban Islam Kaffah, Sabtu (28/06/2025) di YouTube One Ummah TV.

Ia menjelaskan, di Piagam Madinah disebutkan kerjasama antara orang muslim dengan non muslim. "Kalau dikembangkan dalam dunia internasional sama sebenarnya, bagaimana seorang muslim bermuamalah dengan non muslim, bukan hanya persoalan yang muslim yang muslim saja," jelasnya.

"Nah sayang sekali, dalam piagam PBB itu memang bunyinya ya lumayan bagus, tetapi worldviewnya berbeda, kalau Piagam Madinah word viewnya persoalan akhirat, dimulai dari pengakuan terhadap keesaan Allah, nah kalau di PBB sekuler bahkan mungkin bisa atheis, bisa macam-macam ini persoalan worldview yang tidak dimiliki oleh pemimpin dunia," tambahnya.

Kemudian, ia melanjutkan, Piagam Madinah adalah konstitusi tertulis pertama kali di dunia, Amerika, Inggris sudah abad 17 sekian, umat Islam sebenarnya sudah lebih dahulu maju. Tetapi karena terpecahnya umat Islam.

Kedua, persoalan kelembagaan. "Tadi saya sebutkan PBB tidak mampu untuk mewujudkan itu (perdamaian) sehingga hukum-hukum internasional yang sudah dibuat termasuk resolusi PBB, tadi resolusi PBB lalu di veto oleh anggota dewan keamanan, terutama yang Amerika saja memveto 45 sampai 49 kali dalam rangka untuk membela Israel," terangnya.

"Jadi memang sampai kemarin kita kan saksikan bagaimana Israel itu anak emasnya Amerika, kalau tidak ada perubahan ini terutama persoalan bagaimana menggunakan hak veto, terutama hak veto itunya tidak diberlakukan tetapi cukup dengan majority, itu kalau masih mempertahankan PBB dengan dewan keamanannya," tambahnya.

Ketiga, kepatuhan hukum. "Legal opinion kepatuhan terhadap resolusi-resolusi atau hukum-hukum internasional itu juga dari negara-negara juga kurang, terutama oleh negara-negara besar yang katanya adidaya yaitu Amerika, Rusia, Cina, semua pernah menggunakan hak veto, termasuk Inggris dan juga Perancis, negara-negara ini yang kemudian membuat apa ya sudah disepakati tetapi ketika di veto ambyar, jadi legal opinion atau kepatuhan hukum internasional juga lemah," ungkapnya.

"Jadi aspek fundamentalnya di situ kalau jadi sisi substansi sudah disinggung karena memang worldview yang tidak bagaimana ke menyangkut ke persoalan eh ukhrawi (akhirat) atau bagaimana dunia itu ditata tapi dalam rangka untuk menciptakan bukan hanya kebahagiaan duniawi tapi juga kebahagiaan yang ukhawi (akhirat)," tambahnya.

Perubahan Signifikan 

Ia menjelaskan, bagaimana perubahan signifikan dari ketidakadilan hukum internasional. "Hanya bisa dicapai kalau kita bersatu dengan apa menerapkan hukum Islam secara kaffah, atau kalau saya menyebutnya sementara ini kita masih menerapkan hukum Islam yang prasmanan, jadi prasmanan itu ya yang enak ya dipakai yang enggak enak, ya kalau bicara soal apa itu jihad kemudian khilafah itu sesuatu yang kalau di negara kita yang majority Islam 87 persen penduduk Kita muslim, tetapi seolah-olah barang ini terasa asing dan memang diasingkan," paparnya.

"Di tahun 2020 Kalau nggak salah ya ketika HIP Haluan ideologi Pancasila mau dibuat menjadi undang-undang itu khilafah itu termasuk salah satu ideologi yang harus dilarang, disamakan dengan komunisme waktu itu Pak Hasto yang sekarang masih berperkara di KPK itu ya itu menyampaikan bahwa oke misalnya kami pertimbangkan soal TAP MPRS Nomor 25 tahun 66 tetapi dua ideologi lain harus termasuk di dalamnya dilarang yaitu apa radikalisme dan Khilafah sebagian diomongkan di masyarakat yang muslim, Hasto jelas bukan muslim," paparnya.

Artinya, ia menambahkan, di masyarakat yang muslim saja itu mendapat tantangan mungkinkah Islam yang sempurna syariat Islam yang sempurna itu diterima oleh orang non muslim.

"Jadi persoalan hukum tadi, saya mencoba untuk mencari-cari di internet itu ketemu dengan artikel yang judulnya Rabi Yahudi berharap Khilafah Kembali, diberitakan di bulan Januari 2025 jadi 6 bulan yang lalu, ini ada seorang Rabi Yahudi yang bernama himover, himover dia mengatakan secara singkat 'saya bukan muslim tetapi saya berharap Khilafah kembali karena sistem ini telah terbukti memberikan keadilan dan perlindungan bukan hanya untuk umat Islam tetapi juga untuk kaum minoritas', dan dia mencuplik bagaimana perkembangan ke khalifahan yang agak terakhir begitu ya terakhir di Turki Utsmani yang berlangsung 500 tahun itu bukan main dia sangat terkesan dengan itu oleh karena itu kalau kita katakan di sini sangat mungkin ya dan bahkan sudah terbukti di sini non muslim Yahudi, Nasrani dan sebagainya Itu bisa menerima Islam secara kaffah," pungkasnya.[] Alfia Purwanti

Opini

×
Berita Terbaru Update