TintaSiyasi.id -- Islam mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri, yakni berupa hukum-hukum yang terkait akhlak, pakaian, dan makanan. Demikian pula, Islam mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya melalui hukum-hukum yang terkait muamalah dan uqubat, seperti ekonomi, pemerintahan, politik, dakwah, pendidikan, perang, pidana, dan lain sebagainya (Lihat: Taqiyuddin an-Nabhani, Syakhshiyah Islamiyah, Jilid I).
Pertama, Islam menolak sekularisme, karena Islam bersifat menyeluruh (syumûliyyah) yang mengatur ketiga jenis hubungan tersebut. Ide sekularisme pada dasarnya adalah upaya pemisahan agama (Islam) dari kehidupan publik, yakni negara (fashl ad-dîn ‘an ad-daulah). Ide ini sebenarnya berakar dari peradaban Barat-Kristen yang memisahkan agama (Kristen) dari negara. Hal ini tidak sesuai dengan realitas syariah Islam.
Memang, syariah Islam yang terkait dengan pengaturan hubungan manusia dengan Tuhannya dan dengan dirinya sendiri dapat dilaksanakan oleh individu. Namun, syariah yang terkait pengaturan hubungan manusia dengan sesamanya justru sebagian besar harus dilaksanakan oleh negara sebagai institusi politik.
Misalnya, muamalah yang terkait pemerintahan, ekonomi, politik, dan keamanan membutuhkan keberadaan negara. Demikian juga masalah uqubat, seperti hukum hudûd, jinâyât, ta’zîr, dan mukhâlafât, yang mutlak harus dilaksanakan oleh negara. Bahkan, pelaksanaan oleh individu maupun ormas Islam justru dilarang.
Kedua, Islam tidak memisahkan spiritualisme dan politik, sebab keduanya diatur dalam syariah Islam. Apabila politik dijauhkan dari syariah, maka terjadilah sekularisasi dan liberalisasi politik. Akibatnya, politik sekadar identik dengan upaya perebutan kekuasaan demi meraih kepentingan pribadi dan kelompok oligarki.
Sekularisasi dan liberalisasi politik di negeri ini telah menimbulkan beragam masalah, mulai dari berbagai kasus mega korupsi hingga rusaknya hukum yang selalu berpihak pada yang punya harta dan kuasa. Situasi seperti itulah yang kemudian mendorong masyarakat untuk ramai-ramai membuat tagar #IndonesiaGelap.
Ketiga, di dalam Al-Qur’an, istilah kegelapan (dzulumat) dinyatakan dalam banyak ayat. Salah satunya adalah firman Allah SWT dalam surat Ibrahim [14]:1:
“Alif, lâm, râ. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Mahaperkasa lagi Mahaterpuji.”
Menurut Imam As-Sa‘di dalam kitab tafsirnya (Taisîr Karîmir-Rahmân fî Tafsîri Kalâmi al-Mannân), kegelapan pada ayat tersebut bermakna kebodohan, kekufuran, akhlak buruk, dan berbagai kemaksiatan. Semua kegelapan itu akan Allah SWT hilangkan dengan diturunkannya Al-Qur’an.
Yaitu dengan menerapkan hukum-hukum Allah SWT dalam Al-Qur’an (syariah) secara kâffah, mencakup ekonomi, pemerintahan, politik, dan sebagainya.
Faktanya, peradaban Islam dengan penerapan syariahnya secara kâffah telah memayungi dunia selama 1.300 tahun dengan berbagai kemuliaan dan kegemilangannya. Maka, narasi bahwa Islam adalah ancaman sebenarnya merupakan propaganda liar dan penyesatan politik oleh para agen kapitalisme, komunisme, sekularisme, dan liberalisme di negeri ini.
Oleh karena itu, hari ini dapat menjadi momentum penambah ghirah untuk mendakwahkan ajaran Islam secara kâffah. Hingga masyarakat dapat memahami bahwa akidah dan syariah Islam adalah cahaya yang akan memberikan solusi terbaik bagi negeri ini. Sementara kapitalisme, komunisme, sekularisme, dan liberalisme adalah sumber kegelapan yang akan melahirkan berbagai bencana.
Oleh: Rahma
Praktisi Pendidikan