Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Berkurban bagi yang Mampu: Syiar Cinta dan Kepatuhan kepada Allah

Senin, 02 Juni 2025 | 09:38 WIB Last Updated 2025-06-02T02:38:09Z


TintaSiyasi.id -- Mukadimah: Tetes Darah Cinta yang Mengalir ke Langit

Dalam setiap bilangan Dzulhijjah yang menyapa, aroma takbir menggema dari mushalla-mushalla kecil di pelosok desa hingga megahnya menara masjid raya di kota-kota. Suara itu bukan sekadar gema—ia adalah panggilan cinta, pengingat akan satu peristiwa agung: pengorbanan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ‘alaihimassalam. Dari kisah itulah lahir syariat berqurban: tetes darah yang mengalir bukan sekadar ritual, melainkan simbol kepatuhan, keikhlasan, dan ketundukan kepada Allah Azza wa Jalla.

Namun, bagaimana posisi qurban dalam pandangan fiqih? Apakah ia sekadar anjuran ataukah kewajiban mutlak bagi yang mampu? Lebih dari itu, bagaimana seharusnya umat Islam menyikapi ibadah ini agar tidak kehilangan ruhnya?

1. Makna Qurban: Dari Simbol ke Substansi

Secara bahasa, qurban berasal dari kata qarraba–yuqarribu–taqriban yang berarti mendekatkan. Dalam konteks ibadah, qurban berarti menyembelih hewan ternak tertentu (kambing, sapi, atau unta) pada hari Idul Adha dan hari-hari tasyriq (11–13 Dzulhijjah) sebagai bentuk pendekatan diri kepada Allah SWT.

Tetapi qurban bukan semata menyembelih. Ia adalah pengorbanan. Sebagaimana Ibrahim bersedia "menyembelih" anaknya, maka hari ini qurban mengajarkan kita menyembelih ego, keserakahan, cinta dunia, dan kebakhilan.

2. Hukum Fiqh Berqurban bagi yang Mampu

Para ulama sepakat bahwa qurban adalah ibadah yang sangat utama. Namun, mereka berbeda pendapat dalam menentukan hukumnya bagi yang mampu:

a. Mazhab Hanafi: Wajib

Mazhab Hanafi berpendapat bahwa berqurban adalah wajib bagi setiap Muslim yang:

Baligh dan berakal sehat,

Mukim (tidak sedang safar),

Mampu secara finansial (hartanya mencapai nisab, seperti zakat).

Dalil mereka antara lain:

> “Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu dan berqurbanlah.”
(QS. Al-Kautsar: 2)

Mereka memaknai perintah dalam ayat tersebut sebagai kewajiban, bukan hanya anjuran. Ditambah lagi dengan hadis:

> “Barang siapa yang memiliki kelapangan (harta) namun tidak berqurban, maka janganlah ia mendekati tempat salat kami.”
(HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

Hadis ini dipahami sebagai bentuk teguran keras yang menunjukkan wajibnya berqurban bagi yang mampu.

b. Mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hanbali: Sunnah Muakkadah

Mayoritas ulama berpendapat bahwa qurban adalah sunnah muakkadah (sangat dianjurkan), terutama bagi mereka yang memiliki kemampuan finansial.

Alasannya:

Rasulullah SAW tidak pernah mewajibkan qurban secara eksplisit kepada umatnya.

Qurban disebut sebagai ibadah yang utama tetapi tidak berdosa jika ditinggalkan, selama tidak meremehkannya.

3. Siapa yang Dianggap Mampu Berqurban?

Seseorang dianggap mampu jika memiliki harta lebih setelah memenuhi kebutuhan dasar dirinya dan keluarganya pada hari raya dan hari-hari tasyriq. Ukuran ini tidak setinggi nisab zakat, tetapi cukup untuk membeli hewan qurban tanpa menyusahkan dirinya.

Artinya: Jika seseorang bisa membeli motor, gawai mahal, atau berlibur ke luar kota, maka pada dasarnya ia mampu berqurban.

4. Ruh Berqurban: Bukan Sekadar Darah yang Tumpah

Allah tidak membutuhkan darah atau daging. Allah tidak memerlukan sembelihan. Yang Dia kehendaki adalah ketakwaan:

> “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.”
(QS. Al-Hajj: 37)

Qurban mengajarkan umat Islam untuk:

Mewujudkan rasa syukur atas nikmat yang Allah berikan.

Membersihkan harta dan jiwa dari sifat kikir.

Menumbuhkan empati sosial dengan berbagi daging kepada yang membutuhkan.

Menghidupkan syiar Islam di tengah masyarakat.

5. Qurban di Tengah Masyarakat: Antara Tradisi dan Spiritualitas

Ironi sosial terjadi: tak sedikit yang mampu berfoya-foya, namun enggan berqurban. Padahal hewan qurban tak seberapa dibanding kendaraan atau gadget yang dimiliki.

Lebih mengkhawatirkan lagi, qurban dijalankan sebagai tradisi tanpa kesadaran ruhani. Disibukkan dengan penampilan hewan, acara seremonial, dan foto dokumentasi, namun lupa menyembelih hawa nafsu dan memperbaiki hati.

Qurban bukan sekadar event tahunan. Ia adalah momentum spiritual untuk memperbarui komitmen kita kepada Allah.

6. Hikmah Sosial: Qurban sebagai Keadilan Pangan

Dalam Islam, qurban tidak hanya ibadah individual tetapi juga pilar keadilan sosial. Di negeri dengan angka kemiskinan tinggi, daging menjadi makanan mewah bagi sebagian masyarakat. Maka qurban:

Menjadi sumber protein tahunan bagi kaum dhuafa.

Meningkatkan persaudaraan umat.

Menumbuhkan solidaritas sosial dan ekonomi berbasis kasih sayang.

7. Penutup: Saatnya Kita Bangkit dalam Ketaatan

Bagi setiap Muslim yang mampu, berqurban bukanlah beban—tetapi kehormatan. Ia adalah kesempatan mempersembahkan yang terbaik untuk Allah. Di tengah godaan dunia dan semangat individualisme, qurban adalah perlawanan terhadap cinta dunia yang membutakan.

Mari kita hidupkan kembali ruh qurban: bukan hanya menyembelih hewan, tetapi juga menyembelih keserakahan, kemalasan, dan kepelitan. Jika Allah menguji Ibrahim dengan Ismail, maka Allah sedang menguji kita dengan harta. Apakah kita akan lulus?

Doa dan Harapan

> "Ya Allah, jadikanlah qurban kami sebagai bukti cinta kepada-Mu. Terimalah darah dan dagingnya, tapi lebih dari itu, terimalah ketundukan hati kami. Ampunilah dosa kami, dan limpahkan keberkahan kepada seluruh kaum Muslimin di dunia ini."
Aamiin.

(Dr. Nasrul Syarif M.Si. Penulis Buku Gizi Spiritual. Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo)

Opini

×
Berita Terbaru Update